Oleh:
Tony Rosyid
Pengamat politik dan pemerhati bangsa
KOALISI 02 bubar. Demokrat sudah lebih dulu merapat ke istana. Ada lampu hijau, kecuali PKB yang masih khawatir jatah kursi di kabinet berkurang. “Silahkan bergabung, tapi jangan ambil jatah PKB”, kata Muhaimin Iskandar.
PAN juga sudah merapat. Tapi, lampu masih kuning. Ada sejumlah pihak yang tak menerima PAN. Kabarnya, karena faktor Amien Rais yang cukup keras kritiknya kepada penguasa. Apakah PAN pada akhirnya punya peluang untuk bersama-sama ikut dalam kekuasaan? Masih belum bisa diprediksi. Pertanyaan yang perlu diajukan publik justru: “mengapa PAN bernafsu untuk ikut bergabung dalam kekuasaan Jokowi?” Apakah semata-mata untuk kekuasaan? Atau ada faktor lain, misalnya untuk mengamankan kadernya dari sebuah kasus?
Sementara Gerindra belum membuat keputusan. Kok belum? Pertama, masih ada tarik menarik dan pro kontra diantara elit Gerindra. Mereka saling adu kuat untuk mempengaruhi Prabowo. Kedua, bagi Prabowo sendiri nampaknya masih menghitung untung rugi masuk koalisi atau jadi oposisi. Untung rugi buat partai maupun tak menutup kemungkinan juga buat nasib Prabowo sendiri sebagai seorang pengusaha. Tak mudah bagi pebisnis jika berseberangan dengan penguasa. Siapapun pebisnis, terutama kelas kakap seperti Prabowo, tak mudah eksis jika berada di luar -dan berlawanan dengan- kekuasaan. Ketiga, Gerindra gagal membujuk PKS untuk bersama-sama ikut berkoalisi dengan kubu istana. Berpisah dengan partai sekutu punya risiko politik baik di parlemen, pilkada maupun pilpres kedepan.
Prabowo peragu? Pertanyaan ini mulai muncul di publik akhir-akhir ini, terutama dari para pendukungnya. Yang pasti, nampak sekali semua yang terjadi pasca pilpres tak diantisipasi dan disiapkan perencanannya secara matang. Gerindra hanya menyiapkan kemenangan. Tapi tak siap langkah antisipatif ketika kalah. Dimulai dari keputusan untuk ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Internasional terlihat gamang. Begitu juga berlarut-larutnya keputusan untuk bergabung ke istana atau memilih oposisi. Ini indikator atas ketidaksiapan itu.
Berbeda dengan tiga partai koalisi yang lain. Demokrat dan PAN sudah antisipasi jika kalah. Begitu kalah, segera merapat ke istana dan gabung dengan koalisi Jokowi. Meski secara moral publik mempertanyakan sikap politik kedua partai ini. Tapi pilihan ini setidaknya tegas dan jelas. Jelas jenis kelaminnya.
Jika Demokrat dan PAN dengan langkah mantapnya merapat ke istana, maka PKS sebaliknya. PKS memilih oposisi. Sepertinya, itu harga mati bagi PKS. Kabarnya, berbagai ajakan dan tawaran ke PKS untuk gabung ke istana ditolak. Kenapa PKS harus diajak? Karena PKS jadi kendala Gerindra untuk menerima ajakan gabung ke istana. Kenapa Gerindra diajak? Agar tak ada oposisi yang kuat dan berpotensi jadi hambatan dan gangguan bagi istana. Figur Prabowo jika gabung ke istana dianggap dapat mematahkan dan mematikan semua langkah perlawanan para pendukungnya yang terlalu kritis dan cenderung anti penguasa.
Bagi PKS, negara mesti punya oposisi. Meski tak dikenal di dalam hukum tata negara kita, tapi secara fungsional oposisi dibutuhkan untuk menjaga demokrasi agar tetap sehat. Dengan ada oposisi, maka akan ada check and balance. Pemerintah ada yang mengawasi dan mengontrolnya. Tidakkah ini salah satu tugas parlemen yang harus dijalankan?
Oposisi berfungsi pertama, menjadi alarm jika pemerintah melakukan kesalahan dan pelanggaran konstitusional. Kedua, mencegah rezim terjebak dalam sikap represif dan menjauhkan kekuasaan dikelola secara totaliter dan otoriter. Ketiga, mencegah parlemen jalanan karena ada representasi partai politik yang menampung dan menyuarakannya.
Dalam konteks ini PKS jadi pionir di saat hampir semua partai bernafsu merapat ke istana. Rakyat layak berterima kasih kepada keteguhan dan konsistensi PKS yang bertahan dalam posisinya sebagai oposisi dan tak tergoda kekuasaan. Di tengah keprihatinan rakyat atas kompleksitas problem negara akibat kebijakan pemerintah yang tak tepat dan seringkali keliru, mestinya menjadi inspirasi partai-partai politik untuk makin kuat dalam mengontrol, memperingatkan dan meluruskan pemerintah. Yang terjadi sebaliknya, partai-partai politik itu justru merapat dan mendukungnya. Ini tentu sikap yang memprihatinkan di mata rakyat.
Pilihan PKS mengambil posisi sebagai oposisi seolah menjadi telaga rakyat di tengah kekecewaan yang begitu akut selama ini. PKS-lah tumpuan terakhir bagi aspirasi rakyat yang tak tertampung, dan bahkan cenderung diabaikan oleh penguasa. Sikap PKS tepat karena masih menyiapkan ruang untuk menampung harapan dan keinginan rakyat yang kecewa terhadap pemerintah. Segala risiko yang harus diterima PKS ketika memilih oposisi, pada saatnya nanti akan membuahkan hasil tidak saja untuk bangsa, tapi juga untuk PKS sendiri. Karena sikap oposisinya, PKS berpotensi akan meraih gelombang simpati rakyat dan pada akhirnya akan menjadikannya sebagai partai terbesar sebagaimana PDIP di tahun 2004-2014 saat memilih jadi oposisi.*