Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
Ibu kota pindah? Ya! Jangan kaget. Wacana sejumlah presiden untuk memindahkan ibu kota gagal. Baru serius di era Jokowi. Serius? Betul! Sudah ditetapkan anggarannya. Lokasi pindah sudah ditentukan. Rencana pembangunan sudah dijadualkan. Anggarannya 466 triliun. Pindah di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kertanegara. Dan waktu pembangunannya dimulai tahun 2020. Serius bukan?
Ini sejarah yang harus dicatat. Jokowi bukan presiden yang suka wacana. Konkret! Ada ide, jalankan. Sudah matang atau tidak gagasan itu, sambil jalan saja. Yang penting berani. Sesuai tagline: kerja kerja dan kerja. Konkret. Indonesia butuh presiden yang kerja, bukan presiden yang berwacana. Dan itulah kelebihan Jokowi. Bagaimana dengan mobil Esemka dan puluhan janji kampanye dulu? Itu soal lain. Lupakanlah! Toh Jokowi sudah terpilih jadi presiden untuk kali kedua. Oktober akan dilantik. Artinya, rakyat telah melupakannya. Jadi, jangan ungkit-ungkit janji politik 2014. Itu masa lalu. Sudah lewat. Anda tak lagi bisa menagih, sudah kedaluwarsa. Kecuali entar di akhirat. Semoga ada malaikat yang mau membela anda.
Pindah ibu kota, itu konkret. Kenapa pindah? Karena Jakarta banjir, macet dan rawan bencana. Ibu kota bisa tenggelam kalau tetap di Jakarta. Karena alasan ini, ibu kota mesti pindah. Selain tiga faktor itu, perpindahan ibu kota juga demi alasan pemerataan.
Banjir? Tidakkah beberapa tahun ini banjir mulai bisa diatasi? Ritual banjir bandang lima tahunan sudah tak lagi terjadi. Wilayah berdampak makin berkurang. Begitu juga jumlah korban. Banjirpun tak lama seperti sebelumnya. Genangan air segera surut. Teknologi pompa makin efektif bekerja. Artinya, ada progres yang baik. Terjadi penurunan dan pengurangan yang signifikan. Belum lagi dua waduk pengendali banjir yang dibangun di Bogor akan rampung Desember ini. Masih tepatkah banjir jadi alasan?
Macet? Tidakkah setelah program ganjil genap diberlakukan, menambah jumlah dan memperbaiki pelayanan busway, beroperasinya MRT, LRT dan diterapkannya sistem transportasi Jaklingko, kemacetan di Jakarta mulai pelan-pelan bisa diatasi. Dari peringkat empat kota termacet, naik jadi peringkat ketujuh. Dari 61 persen menjadi 53 persen. Turun 8 persen. (TomTom Traffic Index). Warga yang menggunakan kendaraan umum naik. Targetnya di 2030, 75 persen warga Jakarta naik angkutan umum. Ketika Jakarta telah berbenah dalam mengatasi kemacetan, dan ternyata cukup signifikan hasilnya, kenapa jadi alasan pindah ibu kota?
Gempa? Mana ada wilayah Indonesia yang bebas gempa? Kaltim? Hasil penelitian LIPI mengungkap bahwa Kaltim juga rawan gempa. Kalau mau wilayah bebas gempa, ya Beijing. Mana itu? Ibu Kota China.
Demi pemerataan? Pertanyaannya: apakah pemerataan harus pindah ibu kota? Tidakkah pembangunan infrastruktur dan tol laut bisa jadi alternatif? Ini sudah jadi kebijakan pemerintah sekarang. Mestinya tak perlu dianulir dan disangsikan lagi. Lanjutkan dan konsisten saja. Istiqamah! Jangan bilang gagal, lalu ganti kebijakan.
Dari empat alasan ini, tentu tak ada yang urgen dan fundamental untuk pindah ibu kota. Justru sebaliknya, risiko pindah ibu kota akan jauh lebih besar, bahkan bisa berbahaya. Kok bahaya? Jika ibu kota nanti sepi seperti di Brazil dan Myanmar, para ASN pada pensiun dini karena gak mau ikut pindah, apakah mau balik lagi ke Jakarta? Lalu aset-asetnya dijual ke asing? Jadi pangkalan militer China misalnya. Kan bahaya!
Jakarta dipilih jadi ibu kota karena penduduknya multi etnis. Sebelum jadi Ibu kota, Jakarta sudah jadi tempat bagi representasi seluruh etnis dan suku bangsa. Ini yang jadi pertimbangan mengapa Soekarno memilih Jakarta jadi Ibu Kota. Bahasa Melayu yang dipilih jadi bahasa nasional, karena egaliter. Dua alasan ini cukup bagi Soekarno untuk membangun kebudayaan dan peradaban khas Indonesia yang berbasis pada kebhinekaan. Kalau pindah ibu kota, dua basis ini bisa saja tercerabut dari akarnya. Kalau kebhinekaan sampai tercerabut, tinggal tunggu Indonesia bubar.
Belum lagi aspek historis. Jakarta kaya akan heroisme dan perjuangan Indonesia, termasuk kemerdekaan. Dari mulai Fatahillah hingga proklamasi. Banyak lokasi dan gedung-gedung bersejarah. Belum lagi sejumlah prasasti telah berdiri. Semua presiden juga membangun sejarah Indonesia dari Jakarta. Jangan dilupakan kawan!
Alasan yang urgen mesti jadi pertimbangan utama untuk pindah ibu kota. Gak urgen? Jangan! Disinilah peran DPR untuk mengkaji ulang. Panggil sembilan pakar yang konon katanya sudah melakukan riset. Buka semua hasilnya ke publik. Libatkan para pakar lain untuk menguji hasil riset itu. Emang ada hasil risetnya? Emboh!
Kalau risetnya abal-abal, atau karena pesanan, DPR harus menggagalkannya. Tetap konsisten pada Undang-undang No 10/1964 bahwa Ibu kota Indonesia adalah Jakarta. Tak perlu dirubah Undang-undang itu.
Apalagi saat ini Indonesia sedang dihadapkan pada dua masalah besar. Pertama, soal ekonomi. Hutang negara makin membengkak. Sejumlah BUMN Bangkrut. Banyak aset negara sedang dalan proses penjualan. Berbagai subsidi mulai dicabutin. Dan harga-harga kebutuhan terus naik.
Kedua, masalah Papua. Kerusuhan Papua mengarah pada disintegrasi bangsa. Dua masalah ini lebih urgen untuk diatasi.
Kalau bicara manfaat, tentu pindah ibu kota juga ada manfaatnya. Apa itu? Pertama, Jokowi punya sejarah. Ini kebijakan monumental. Kelak akan diingat dan dikenang oleh anak cucu bangsa bahwa di era Jokowi ibu kota pindah. Ini sejarah yang dapat membedakan Jokowi dengan presiden-presiden sebelumnya.
Kedua, harga tanah jadi mahal. Perkampungan jadi ibu kota, otomatis NJOP naik. Bisa hingga ribuan kali lipat. Akan lahir banyak OKM (Orang Kaya Mendadak). Terutama pengusaha yang punya jutaan hektar lahan di bakal calon ibu kota baru.
Ketiga, banyak pihak swasta yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur. Dapat proyek besar. Siapa mereka? Apakah termasuk pengembang pulau reklamasi Jakarta yang gagal? Bisa aja loh.
Keempat, ada peluang investasi besar-besaran. Tentu bukan anda yang miskin dan cekak modal yang bisa terlibat investasi. Pasti pengembang besar. Sudah lihat brosur apartemen seharga 700 jutaan yang sedang dipasarkan? Hanya sehari setelah diumumkan bakal lokasi ibu kota baru.
Kelima, akan ada gubernur baru di ibu kota baru. yang jelas bukan Anies Baswedan? Boleh jadi Ahok atau yang lain. Emang ada apa dengan Anies Baswedan? Ah, kayak gak tahu aja.
Semoga bukan lima manfaat ini yang jadi alasan pindah ibu kota. Ngeri-ngeri menakutkan. [PurWD/voa-islam.com]
Jakarta, 27/8/2019