YOGYAKARTA (voa-islam.com)—Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengungkapkan bahwa Indonesia seakan-akan sedang berada dalam darurat radikal dan radikalisme.
“Dengan perhatian khusus pada radikalisme dan deradikalsme Islam melalui diksi waspada kaum “jihadis”, “khilafah”, “wahabi”, dan lain-lain. Isu tentang masjid, kampus, BUMN, majelis taklim, dan bahkan lembaga Pendidikan Usia Dini (PAUD) terpapar radikalisme demikian kuat dan menimbulkan kontroversi nasional,” jelas Haedar.
Pernyataan itu adalah bagian dari naskah pidato Haedar yang disampaikan saat dirinya dikukuhkan sebagai Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Kamis (12/12). Pidato tersebut mengambil tema Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan dengan Perspektif Sosiologi.
Menurut Haedar mengutip Taspinar (2015) konsep radikal disebut “violent movements” (gerakan kekerasan). Haedar tak mengelak ada radikalisme keagamaan.
“Maka dapat dipahami adanya radikalisme keagamaan sebagai fakta sosial yang nyata. Di tingkat global tidak terbantah adanya ISIS, Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah, Hizbut Tahrir, Taliban, dan gerakan berhaluan keras Islam lainnya. Setting sosiologis, faktor, dan relasi radikalismenya tentu kompleks, namun arus utama Islam dunia dan Indonesia menentang radikalisme-ekstrem dan segala bentuk kekerasan atas nama agama itu,” ujar Haedar.
Haedar kemudian mengutip pernyataan Esposito, “Stigma radikalisme Islam itu begitu kuat dan kadang bersentuhan dengan Islamophobia.”
Maka Haedar pun menyinggung isu radikalisme yang selalu tertuju kepada umat Islam. “Namun menjadi masalah ketika isu dan objek radikalisme hanya tertuju pada radikalisme di tubuh umat Islam. Kenapa hanya radikalisme Islam? Bagaimana dengan radikalisme lainnya?” kata Haedar.
Haedar mengungkapkan kasus penyerangan masjid di Selandia Baru, juga pembakaran masjid di Tolikara dan kasus penyerangan lainnya di Papua yang belum lama ini terjadi.
“Bagaimana di tingkat global menjelaskan tragedi teror di Masjid Christchurch Selandia Baru yang menewaskan 49 orang? Di tanah air apakah bukan tergolong radikal, esktrem, dan teror pada peristiwa pembakaran masjid di Tolikara, penyerangan kelompok bersenjata di Wamena yang menewaskan 33 korban jiwa, pembunuhan 31 pekerja di Distrik Yigi-Nduga Papua, dan gerakan separatis yang mengancam keamanan rakyat dan negara Indonesia?” ungkap Haedar.
Kemudian, fakta lainnya disebutkan Haedar saat ada ormas keagamaan yang melakukan sweeping terhadap tempat-tempat disebut radikal-ekstrem dan hal itu memang tidak benar karena mengambil otoritas kepolisian
“Namun kenapa tidak disebut radikal-esktrem ketika ada ormas lainnya melakukan sweeping terhadap kegiatan-kegiatan pengajian atau acara yang tidak sejalan dengan paham keagamaannya dan dibiarkan oleh aparat keamanan?” tanya Haedar.* [Syaf/voa-islam.com]