Oleh: Lina Revolt
Kembali duka menyelimuti dunia Islam. Derita muslim Uighur kembali menjadi perhatian pasca bocornya dokumen rahasia pemerintah China, mengenai Kamp-kamp penahanan dan bagaimana perlakuan mereka terhadap Muslim Uighur. Dokumen rahasia ini awalnya diserahkan oleh seseorang yang tidak mau disebutkan identitasnya kepada Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional (ICIJ) dan dibagikan dengan 17 mitra media lain, termasuk surat kabar Jerman Süddeutsche, The Associated Press, dan surat kabar Inggris Guardian. (BBCNewsIndonesia.com, 26/11/19).
The New York Times pun ikut menerbitkan 400 halaman dokumen Rahasia China tersebut. Dalam dokumen Tersebut sebagian besar data dari 2017 diungkapkan bahwa pemerintah China membentuk sistem kamp-kamp dengan tingkat keamanan tinggi, menampung sekitar satu juta lebih tahanan, sebagian besar orang Uighur.
Perintah utama dalam dokumen yang disebut sebagai "The China Cables" ini dirangkum oleh DW.com (25/11/19) sebagai berikut :
- Kamp-kamp tahanan menjadi tempat pusat pendidikan ulang ideologi dan perilaku secara paksa para tahanan untuk mengubah pola pikir mereka yang dijalankan dengan diam-diam.
- Pelatihan kejuruan hanya diberikan di tempat terpisah setelah tahanan dibebaskan.
- Petugas kamp tahanan diperintahkan untuk mencegah tahanan yang kabur, dengan mendirikan menara pengawas, memasang kunci pintu ganda, alarm, video pengawas, dan meningkatkan keamanan di gerbang utama.
- Kamp-kamp tersebut terkoneksi dengan infarstruktur pengawasan massal di seluruh Xinjiang dengan sistem terpusat, yang memanfaatkan kecerdasan buatan (AI), mengidentifikasi target-target yang berpotensi menjadi tahanan mereka.
- Diberikan rincian cara menjaga kerahasiaan tentang keberadaan kamp, metode indoktrinasi paksa, dan cara mengendalikan wabah penyakit.
- Para tahanan juga dinilai akan kemampuan mereka menggunakan bahasa Mandarin dan kepatuhan mereka pada aturan ketat kamp yang mengatur segala sesuatu mulai dari tempat mereka makan, melakukan tugas-tugas kamp, belajar, atau bahkan pergi ke toilet.
- Para tahanan diwajibkan berada dalam pusat pendidikan ulang tersebut minimal selama satu tahun dan dapat ditahan hingga waktu yang tidak ditentukan.
- "Siswa" dipaksa untuk benar-benar berubah, dan melakukan "pertobatan dan pengakuan."
Satu dokumen mengungkapkan bahwa pada Juni 2017 saja, dari 24.612 "orang yang dicurigai" teridentifikasi oleh sistem data, 15.683 di antaranya pergi untuk "pelatihan dan pendidikan," 706 ditahan, dan 2.096 ditempatkan sebagai tahanan rumah.
Dokumen lain menyebutkan bahwa para petugas kamp harus mengecek secara teliti para keluarga dari tahanan kelompok Uighur, dan mereka yang diinterogasi harus dipaksa untuk memberikan nama teman dan kerabat mereka. Petugas kamp juga diperintahkan untuk memperhatikan "masalah ideologi dan perubahan emosional yang muncul setelah para tahanan berkomunikasi dengan keluarganya."
Bungkamnya Dunia Islam
Tragedi Uighur bukanlah isu baru. Uighur atau Turkistan Timur adalah suatu kawasan mayoritas Muslim yang dicaplok oleh Cina sejak 1949. Dan sejak itu mereka terus mengalami diskriminasi oleh pemerintah China. (suaraIslam.id, 23/09/18).
Namun, meski isu Uighur terus bergulir dari tahun ke tahun, Negara-negara Islam seolah bungkam seribu bahasa. Kecaman terhadap kekejaman China kebanyakan datang dari negara-negara barat. Setidaknya kita bisa melihat beberapa faktor yang menyebabkan bungkamnya negara-negara Islam sebagai berikut :
Pertama, Minimnya informasi. Informasi terkait kondisi muslim Uighur memang sangat minim diakibatkan oleh ada kontrol ketat pemerintah China di Xianjiang.
Pada 2018, Foreign Correspondents' Club of China (FCCC) telah merilis laporan bertajuk Under Watch: Reporting in China Surveillance State. Dalam laporan tersebut berisi hasil Survey FCCC terhadap 204 anggotanya dan sembilan kepala biro organisasi Media Besar Pada desember 2018 hingga januari 2019. Survei tersebut menceritakan bagaimana pengalaman pekerjaan jurnalistik selama 2018 di Negeri Tirai Bambu itu.
Dari 204 koresponden hanya 109 yang berhasil menyelesaikannya. 55 persen koresponden menyatakan jika kerja jurnalistik di China mmburuk, mereka mengalami pengawasan baik oleh manusia manupun digital, 22 persen menyakini bahwa pihak berwenang China melacak keneradaan mereka. Dalam laporan FCCC, 24 dari 27 responden yang melakukan peliputan ke Xinjiang, mengaku mengalami gangguan. Sebanyak 19 responden di antaranya diminta atau dipaksa menghapus data yang telah mereka himpun selama berada di sana. (republika.co.id, 29/01/19).
Kedua, Lokalisasi Isu Uighur, China berhasil menjadikan isu Uighur sebagai urusan dalam negeri. Sekat-sekat Nasionalisme menjadikan negara islam lainnya kikuk untuk mencampuri urusan negara lain. Seolah ikatan Nasionalisme Lebih tinggi dari ikatan iman dan kemanusiaan.
Ketiga, Faktor ekonomi, banyak negara yang bergantung kepada China termasuk negeri-negeri muslim . Tidak bisa dipungkiri Saat ini China- bersama Amerika Serikat, merupakan kekuatan ekonomi terbesar di dunia dan menjadi pemberi bantuan utama bagi banyak negara.
Pakar kebijakan China Michael Clarke, dari Australian National University (ANU), mengatakan kepada ABC, kekuatan ekonomi China dan takut mendapat balasan, diduga menjadi faktor besar dalam diamnya negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Investasi China di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara dari 2005 hingga tahun 2018 telah berjumlah AU$ 144,8 miliar. Sementara di Malaysia dan Indonesia, jumlahnya AU$ 121,6 miliar dibandingkan periode yang sama, menurut lembaga think tank American Enterprise Institute, seperti dikutip dari ABC.net.au.(merdeka.com,27/12/18)
Keempat, Membungkam Ormas Islam. menurut laporan The Wall Street Journal yang ditulis Rabu (11/12), China menggelontorkan sejumlah bantuan dan donasi terhadap ormas-ormas Islam di Indonesia setelah isu Uighur kembali mencuat ke publik pada 2018. Meski akhirnya isu ini dibantah oleh NU dan Muhammadiyah.(kompasiana.com, 18/12/19).
Jika sudah begini, lalu kepada Siapa muslim Uighur berharap? Apakah kepada dunia Barat ?. Meski Saat ini Amerika Serikat begitu keras mengecam perlakuan China terhadap muslim Uighur. Bahkan DPR Amerika Serikat mengesahkan Rancangan Undang-undang Hak Asasi Manusia Uighur tahun 2019 dengan suara hampir mutlak pada Selasa malam (03/12) waktu Amerika Serikat. (BBCNews, 04/12/19).
Namun, benarkah sikap AS murni karena peduli pada Uighur?. mengingat bagaimana perlakuan AS terhadap dunia Islam selama ini, rasanya tidak masuk akal jika AS tiba-tiba berada di garda terdepan membela kepentingan umat Islam. Suara keras AS justru cenderung menyorotkan mata dunia bahwa pembelaan AS hanyalah untuk menyudutkan China dan menguatkan pengaruh AS di Asia Tenggara. Hal itu sangat mungkin terjadi. Karena saat ini Hubungan AS dan China memang sedang memanas akibat Perang dagang antar kedua negara. AS dan China adalah dua kekuatan ekonomi dunia yang sedang berebut perluasan pengaruh di asia tenggara, terutama konflik Laut China Selatan.( tirto.or.id, 10/01/19).
Duka Uighur Duka Kita
Bagi seorang muslim Duka Uighur adalah duka Umat Islam. Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Nu’man bin Basyir berbunyi:
Artinya: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam”. (HR. Muslim).
Maka sudah sewajarnya jika umat Islam harusnya merasakan kepedihan yang sama melihat saudaranya didzolimi. Umat Islam tidak boleh bungkam terhadap penderitaan umat Islam di negeri-negeri lain. Saat saudara mereka ditindas dan meminta pertolongan, kaum Muslim wajib memberikan pertolongan kepada mereka. Allah SWT berfirman:
“Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan.” (TQS al-Anfal [8]: 72).
Namun sayang saat ini umat Islam seolah lumpuh, tak mampu menolong saudaranya kecuali sekadar mengecam dan mengirim bantuan kemanusiaan. Padahal yang dibutuhkan Uighur adalah kebebasan dari penindasan.
Nestapa muslim Uighur menambah daftar panjang derita umat Islam saat ini. Uighur tak sendiri, Rohingya, Suriah, Palestina, pattani Thailand dan negeri Islam lainnya yang juga tengah dilanda nestapa. Semua penderitaan umat islam semakin menguatkan bahwa yang dibutuhkan umat Islam saat ini adalah hadirnya Junnah (perisai) yang akan membela kehormatan mereka. Dan Junnah itu hanya bisa terwujud dengan khilafah. Sebagaimana Sabda Rasulullah Saw :
“Sungguh Imam (Khalifah) itu laksana perisai. Kaum Muslim akan berperang dan berlindung di belakang dia.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Wallahu a'lam bishowab. (rf/voa-islam.com)
ILustrasi: Google