Oleh:
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
DIANTARA ciri negara demokrasi itu adanya kebebasan berpendapat. Tanpa kebebasan berpendapat, negara tak lagi layak disebut sebagai penganut demokrasi.
Bukan kebebasan tanpa batas. Ada undang-undang sebagai dasar aturan. Siapa yang buat undang-undang? Tentu anggota DPR. Soal ini, di buku SD sudah dipelajari. Hanya saja, anak-anak SD gak pernah tahu kelau “banyak oknum” anggota DPR suka terima order ketika buat undang-undang. Dari mana? Banyak pengusaha berseliweran disana.
Anak SD belum sampai kesitu otaknya. Yang mereka tahu semua anggota DPR adalah orang-orang terhormat. Baru sadar ketika anak-anak SD itu sudah berada di kampus. Kuliah maksudnya.
Tapi, ketika sudah jadi mahasiswa, mereka harus berhadapan dengan rektor. Saat ini, rektor sudah “semacam” jadi titipan dan tangan panjang pemerintah. Para rektor dipilih oleh menteri. Dan menteri adalah pembantu presiden.
Berani macam-macam, rektor bisa ambil tindakan terhadap mahasiswa. Demokrasi di kampus juga akhirnya terkubur. Sejauh menteri pilih rektor, rektor pilih dekan, dan dekan bersama rektor awasi mahasiswa, maka demokrasi out dari kampus.
Tersisa pers. Tapi, media milik para pengusaha. Soal pajak, banyak yang bermasalah. Berani macam-macam, pasal tentang manipulasi dan tunggakan pajak bisa jadi petaka. Nurut lebih selamat.
Rakyat tanpa identitas, mereka lebih berani melakukan kritik. Tapi ingat, ada banyak pasal yang mengintai. Kepeleset dikit, anda akan bernasib seperti Jonru dan Ahmad Dani cs. Masuk sel. Jangan ceroboh!
Tidak mudah hidup dalam situasi dimana demokrasi sedang banyak masalah. Silahkan kritik, tapi harus waspada. Anda paham maksud saya? Jangan asal menyerang tanpa menghitung pertahanan. Jangan pakai emosi, tapi gunakan akal sehat. Dan tetap mengutamakan obyektifitas.
Lihat kasus Said Didu. Minta maaf, atau proses hukum? Said Didu pilih hadapi proses hukum. Wajah tegak berdiri karena merasa benar. Gentel!
Hukum harus ditegakkan, sepakat! Tapi, jangan sampai atas nama penegakan hukum, martabat dan keadilan diabaikan. Atas nama hukum atau kekuasaan? Tanya publik.
Martabat? Iya! Seorang pejabat mesti bermartabat. Diantara ciri pejabat yang bermartabat adalah tahan kritik. Anies Baswedan adalah contoh seorang pejabat bermartabat. Kritik, fitnah, bullyan dan caci maki, semua dilewatinya dengan senyum. Terus bekerja dan menatap masa depan.
Jika di otak seorang pemimpin berisi tentang nasib rakyat, maka tak ada tempat yang tersisa di kepala untuk mengurusi cacian dan hinaan terhadap dirinya. Begitu kata pepatah.
Saya tak khawatir dibully. Medsos umurnya pendek. Hari ini dicaci, besok sudah berganti. Tapi saya takut berbuat salah, karena akan dicatat oleh sejarah dan dibaca oleh generasi bangsa. Begitu kata Anies.
Sebagai pejabat publik, bersiaplah untuk dikritik. Bahkan siap pula difitnah. Fitnah tak akan menjatuhkan anda jika anda punya data untuk klarifikasi. Beres! Publik akan menaruh simpati dan mengapresiasi anda.
Reaksi berlebihan terhadap kritik hanya akan menghancurkan martabat seorang pejabat. Anda kehilangan martabat bukan karena kritik dan fitnah. Tapi anda akan kehilangan martabat jika anda berlebihan merespon kritik dan fitnah itu.
Sekali anda laporkan pengkritik itu, rakyat akan berada di belakang dan membela sang pengkritik. Saat itulah anda akan kehilangan martabat dan simpati dari rakyat.
Ketika Risma melalui Biro Hukumnya melaporkan seorang ibu dari Bogor yang “diduga” menghinanya, saat itu pula nama Risma tenggelam. Rakyat balik menghukumnya.
Nama yang baik saja bisa hancur jika rapuh terhadap kritik. Apalagi mereka yang dikenal tak punya nama baik. Akan makin berantakan.
Saya tidak kasihan sama Said Didu. Mantan sekmen BUMN ini. Ia sadar risiko perkataan dan sikapnya. Apalagi rakyat memberinya dukungan. Jalani saja…
Rasa kasihan justru layak ditujukan kepada pihak pelapor. Di mata publik, martabatnya akan dipertaruhkan. Lebih kasihan lagi jika ia pun tak peduli soal martabat itu.
Ada cara yang lebih bijak dan bermartabat. Pertama, klarifikasi. Kalau anda punya data, cukup klarifikasi. Clear. Masalah selesai, dan anda bisa tersenyum karena dapat simpati. Dan ini yang terus berulang dilakukan Anies Baswedan. Banjir simpati.
Kepada para pejabat, belajarlah terhadap Anies jika ingin punya karir yang lebih baik kedepan. Bagi seorang pejabat, dibutuhkan kematangan dalam bersikap.
Kedua, memaafkan. Ini cara yang paling diapresiasi oleh publik. Siapapun senang melihat seorang tokoh punya kematangan seperti ini. Lapang dada untuk setiap kritik terhadapnya.
Jangan karena ada undang-undang kita bisa tuntut “siapa saja yang lemah” tanpa memikirkan bagaimana nasib demokrasi di negeri ini. Kalau semua pejabat terlalu tipis telinga, maka satu persatu orang-orang yang kritis akan tumbang. Rakyat tidak hanya takut, tapi akan kehilangan simpati dan kepercayaan. Saat itu, demokrasi mati dan negara akan semakin rapuh.*
Jakarta, 4 Mei 2020