Oleh: Ragil Rahayu, SE
Pagi hari, di sebuah warung kopi sedang terjadi pembicaraan seru.
"Biar tidak kena corona, jangan beli kuota!" ucap seseorang pada temannya.
"Iya, corona itu cuma konspirasi," timpal temannya.
"Mana orang yang katanya kena corona, itu? Nggak ada tetangga kita, semua tahunya cuma dari berita." Yang lain ikut menyahuti.
"Yang mati-mati itu, bukan karena corona. Ada yang karena sakit jantung, diabetes, tapi diberitakan mati karena corona." Perbincangan makin seru.
"Halah, ada atau nggak ada corona, kalau sudah waktunya mati ya mati. Kalau belum waktunya mati ya nggak mati," seru seseorang yang dijawab dengan anggukan teman-temannya.
"Kita itu jangan takut sama corona, takut itu sama Allah!" Obrolan tentang corona pun selesai, berlanjut dengan topik lainnya. Matahari kian meninggi dan kerumunan pun tak kunjung usai. Aneka topik dikritisi hingga lupa ada bahaya corona mengintai.
Perbincangan di atas adalah fiksi, tapi persepsi-persepsi tentang corona tersebut nyata adanya. Simpang siurnya informasi yang beredar di media sosial membuat masyarakat bingung mana informasi yang valid dan mana yang hoaks. Apalagi jika hoaks tersebut sudah dibungkus dengan khatimah, "Ini info dari dokter A.", "Ini info dari profesor B." dan seterusnya.
Ketidakjelasan informasi ini makin parah ketika pernyataan dan kebijakan pemerintah berubah-ubah alias plin-plan. Mulai dari metamorfosis diksi perang terhadap corona, berdamai dengan corona, bersatu melawan corona hingga berdansa dengan corona. Juga banting setir kebijakan mulai dari dilarang mudik tapi boleh pulang kampung, PSBB tapi direlaksasi, hidup new normal tapi kurva tak kunjung melandai, hingga konser melawan corona tapi mengabaikan physical distancing.
Aksi banting-banting setir oleh sopir negara ini membuat rakyat sebagai penumpang mabuk perjalanan. Pusing bukan cuma karena dampak corona, tapi juga karena bingung harus percaya siapa dan bersikap bagaimana. Kondisi serba entah ini akhirnya menjatuhkan rakyat pada fatalisme. Kalau waktunya mati ya mati, itu kata mereka. Sehingga masyarakat tak sekadar berdamai dengan corona, tapi tak peduli pada corona dan bahkan ragu-ragu corona itu ada. Inilah yang menjawab pertanyaan mengapa PSBB gagal menurunkan angka kasus corona. Ini juga alasan mengapa warga masih ngotot silaturahim meski sedang PSBB. Angka kasus dan kematian akibat corona yang disiarkan di televisi kian hari seperti angka mati yang tak bernilai. Terjalinlah trilogi yang membuat miris yaitu rakyat cuek, penguasa lembek, akhirnya nakes mewek.
Berpikir Benar tentang Corona
Berbagai keraguan tentang corona tersebut akan sirna jika kita mau membuka mata dan berpikir benar. Corona itu memang tak bisa dilihat dengan mata telanjang, tapi bisa dilihat dengan alat. Di rumah sakit, begitu banyak pasien corona. Jika mau menonton berita luar negeri akan diketahui bahwa corona menyerang hampir seluruh negara di dunia.
China dan Amerika Serikat, dua negara yang sedang "perang" dan paling berkepentingan untuk membuat konspirasi, juga terpukul karena corona, bahkan lebih parah dari Indonesia. The New York Times sampai perlu melakukan aksi protes dengan mengisi halaman depannya dengan nama-nama 100.000 korban yang meninggal akibat corona di Amerika Serikat. Perlu data seperti apa lagi untuk meyakinkan corona itu nyata?
Apa harus tetangga dan keluarga yang menjadi korban corona, baru kita percaya corona ada? Semoga tidak menunggu diri kita yang kena baru menyesal karena pernah mengabaikan. Toh, untuk meyakini adanya sesuatu tak harus melihat zatnya secara langsung. Keimanan pada Allah SWT dan hal yang ghaib seperti malaikat cukuplah dengan bukti yang pasti. Bukan dengan melihatnya langsung.
Terkait dengan kematian, memang betul ajal adalah di tangan Allah SWT. Namun kita bisa memilih untuk mati konyol karena meremehkan bahaya corona atau mati mulia saat berjuang menyelamatkan nyawa. Meski endingnya semua bakal mati, tapi pilihan kita menentukan nasib kita di akhirat karena akan dihisab oleh Allah SWT.
Kolaborasi Rakyat dan Penguasa
Kita bisa mengambil pelajaran dari pernyataan Umar bin Khaththab ra ketika ada wabah tha'un di wilayah Syam. Sang Amirul Mukminin berdiskusi dengan tokoh-tokoh senior Muhajirin, Anshar dan Quraisy. Akhirnya Umar ra memutuskan kembali ke Madinah. Gubernur Syam, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah tak sepakat dengan keputusan Umar tersebut. "Apakah Engkau ingin lari dari takdir wahai Amirul Mukminin?" kata Abu Ubaidah.
Umar pun menjawab, "Ya, kita akan lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lainnya." Abdurrahman bin Auf kemudian menjelaskan bahwa apa yang akan dilakukan Umar, persis dengan sabda Rasulullah SAW:
"Apabila kalian mendengar ada suatu wabah di suatu daerah, maka janganlah kalian mendatanginya. Sebaliknya kalau wabah tersebut berjangkit di suatu daerah sedangkan kalian berada di sana, maka janganlah kalian keluar melarikan diri darinya."
Umar bin Khattab kemudian meminta Abu Ubaidah untuk meninggalkan Syam. Namun Abu Ubaidah menolak dan tetap tinggal di Syam. Dia kemudian terkena wabah dan meninggal dunia. Muaz bin Jabal yang menggantikan Abu Ubaidah sebagai Gubernur Syam juga meninggal dunia terkena wabah. Wabah penyakin di Syam baru mereda setelah Amr bin Ash menjabat gubernur dan melakukan isolasi, yakni memisahkan orang yang sakit dan sehat Wabah di Syam pun perlahan menghilang.
Sikap Umar bin Khaththab tersebut merupakan teladan, bahwa di tengah kebingungan massal menghadapi wabah, informasi yang benar itu sangat penting. Penguasa bertugas memvalidasi informasi dan menyampaikan informasi yang benar pada rakyat. Lalu dilanjutkan dengan kebijakan yang tepat. Negara tak boleh membiarkan hoaks beredar di masyarakat hingga menjadi viral dan merasuki pemikiran rakyat.
Rakyat juga harus terbiasa berpikir benar. Yaitu memilah mana fakta dan mana hoaks. Menggunakan nalar rasional dalam memahami fakta. Juga mengkaji Islam dengan sabar hingga memiliki pemahaman yang benar tentang taqdir dan ajal. Jika penguasa dan rakyat bersikap tepat, tenaga kesehatan akan bisa fokus "bertempur" melawan pandemi. Namun, jika berbagai persepsi keliru tentang corona ini dibiarkan berlarut-larut, bisa-bisa Si Corona makin betah di negeri kita dan tak kunjung "pergi".
Bukankah kita ingin hidup normal yang benar-benar normal dan bukan new normal? Tidakkah kita rindu menghirup udara segar tanpa terhalang masker? Tidakkah kita rindu bersilaturahim dengan keluarga dan teman? Atau mungkin wisata kuliner di warung langganan? Kita semua ingin wabah ini segera enyah. Untuk itu butuh pemahaman yang benar tentang corona pada rakyat, dan kebijakan yang benar dari penguasa juga tentunya. Wallahu a'lam bishshawab. (rf/voa-islam.com)
*)Pengisi MT Lubna Cordova
Ilustrasi: Google