Oleh:
Asyari Usman, Wartawan Senior
HARI-HARI ini sedang ribut soal Mendikbud Nadiem Makarim yang menghapus Pancasila dari daftar mata kuliah wajib. Bermunculan protes. Tak pelak lagi, Nadiem menjadi sasaran kecurigaan. Dia diduga tidak punya pemahaman tentang Pancasila, dlsb.
Kontroversi ini muncul setelah PP Nomor 57/2021 yang meniadakan Pancasila sebagai mata pelajaran dan mata kuliah wajib. Setelah dikritik keras di sana-sini, akhirnya Menteri Nadiem merevisi PP ini. Pancasila dan bahasa Indonesia tetap wajib diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi.
Satu pertanyaan: apakah tuan-puan sekalian menyangka para pejabat, elit kekuasaan, elit politik, elit bisnis, dll, masih ada yang teringat dengan Pancasila? Yang masih mengamalkan Pancasila?
Tentu Anda semua tahu jawabannya. Karena tahu jawabannya, pastilah Anda bisa paham mengapa Nadiem tidak peduli dengan Pancasila. Dia merevisi PP 57 itu tidak berarti hati dan pikirannya berisi nilai-nilai Pancasila. Bisa saja karena kontroversi penghapusan Pancasila itu ditentang keras oleh para ulama dan para tokoh bangsa serta pakar pendidikan yang mengkhawatirkan arah pembinaan spiritual bangsa.
Tapi, apakah penghapusan itu salah Nadiem? Bukan. Itu kesalahan Presiden Jokowi yang berharap Nadiem bisa melakukan transformasi pendidikan supaya orang Indonesia bisa menjadi seperti Nadiem. Dia sukses dengan Gojek-nya. Jokowi kagum sekali dengan Nadiem yang bisa menjadi pengusaha hebat hanya bermodalkan aplikasi.
Jadi, Jokowi ingin sekali anak-anak Indonesia ini menjadi inovatif seperti Nadiem. Tapi, Jokowi lupa bahwa inovasi Gojek dan sejenisnya hanya sebatas pengorganisasian penjualan jasa angkutan. Buka tidak penting. Penting juga. Cukup bagus organisasi Gojek itu.
Namun, yang menjadi masalah krusial bagi Indonesia ini adalah inovasi produk yang berbasis riset. Semua produk. Baik itu produk pertanian, kelautan, elektronik, persenjataan, alat transportasi, dlsb. Ini kalau kita bicara soal inovasi yang diperlukan untuk mengangkat harkat ekonomi-bisnis rakyat. Bukan semata sukses bisnis aplikasi ala Nadiem itu saja.
Kembali lagi kita ke soal Pancasila di mata Nadiem. Kelihatannya, dia tidak memikirkan aspek spiritual dalam menggapai sukses bisnis. Yang penting orang harus berpikir dan bertindak kapitalis. Menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya. Tidak ada istilah pemerataan. Tidak kenal keadilan ekonomi. Karena itu, nilai-nilai Pancasila hanya akan menggannggu gerak maju bisnis.
Dari kalkulasi inilah Nadiem melihat mata pelajaran atau mata kuliah Pancasila tidak perlu diajarkan. Sebab, nilai-nilai Pancasila mengajarkan orang berbagi, peduli sesama, dan mengingatkan orang tentang kehidupan kekal yang hanya bisa dipahami melalui konsep Ketuhanan Yang Masa Esa. Sila pertama Pancasila ini bertentangan dengan prinsip cari duit sebanyak-banyaknya yang dipraktikkan Nadiem selama ini.
Sekarang kita lihat apakah Nadiem masih layak duduk sebagai menteri pendidikan. Kalau Jokowi masih menganggap penting Ketuhanan Yang Maha Esa dengan segala nilai dan syariat yang membatasi ketamakan dan kerakusan, tentu saja Nadiem tidak cocok lagi mengemban tugas pendidikan.
Sebaliknya, kalau Jokowi berpandangan sama dengan Nadiem, berarti pendidikan Pancasila tidak perlu ada. Dan itulah sesungguhnya yang ingin mereka lakukan ketika menerbitkan PP 57/2021. Revisi adalah sekadar reaksi ketika publik menjadi resah.*