Oleh:
Asyari Usman || Wartawan senior
BEBERAPA hari lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar para menterinya memiliki “sense of crisis” (rasa krisis). Agar ada perasaan bahwa negara ini sedang dilanda krisis. Krisisnya tidak satu sisi saja, tapi multi-dimensi. Krisis Covid, krisis ekonomi, krisis sosial, bahkan krisis politik.
Kalau Jokowi meminta, itu berarti para menteri sedang tidak bisa merasakan adanya krisis. Tentu sangat parah kalau Presiden sampai meminta para menterinya menunjukkan “sense of crisis” itu.
Mengapa ini bisa terjadi? Ada banyak kemungkinan. Pertama, para menteri sudah kehilangan rasa. Pada masa pandemi ini, orang yang kehilangan rasa boleh jadi terpapar Covid-19. Tidak bekerja lagi indera perasa mereka. Artinya, selain kehilangan rasa pedas, rasa asin, rasa asam, dlsb, para menteri itu kehilangan “rasa krisis” itu.
Kedua, para menteri kemungkinan memegang teguh arahan Jokowi tempohari. Yaitu, tidak ada misi menteri. Yang ada misi presiden. Dari sini, bisa saja para menteri menafsirkan bahwa tidak ada itu “sense of crisis” menteri. Yang ada “sense of crisis” presiden. Akibatnya, hanya Presiden Jokowi saja yang punya “rasa krisis” itu.
Ketiga, ini yang sangat serius. Presiden Jokowi, para menteri, dan para pejabat sernior lainnya sebetulnya sama-sama tidak punya “sense of crisis”. Kalau rasa krisis itu ada di dalam diri mereka, tak mungkin negra ini menjadi amburadul.
Andaikata Jokowi punya “sense of crisis”, seharunya sejak kasus positif Covid mencapai angka ratusan ribu (akhir Juli 2020), beliau langsung mengambil tindakan “lockdown” total di sejumlah wilayah yang tinggi tingkat penularannya.
Memang langkah ini berkonsekuensi besar dalam hal biaya. Pemerintah harus menyediakan keperluan hidup rakyat. Tapi, kalau tindakan ini dilakukan selama satu-dua bulan setahun yang lalu, sangat mungkin tingkat penularan hari ini yang mencapai 2.8 juta orang, tidak sampai terjadi.
Sayangnya, Jokowi selalu menolak “lockdown” dengan alasan biaya. Padahal, dana penanganan Covid yang mencapai lebih 1,000 triliun, banyak terbuang sia-sia. Dalam arti tidak langsung diarahkan ke tindakan yang efektivitasnya telah teruji di banyak negara.
Menakjubkan sekali. Untuk melindungi nyawa rakyat, Jokowi tega hitung-hitungan soal dana. Padahal, begitu banyak uang negara yang dipergunakan untuk proyek-proyek yang tidak urgen. Banyak pula yang dikorupsi.
Kembali ke “sense of crisis”. Jokowi kecewa ada sejumlah menteri yang melakukan perjalanan ke luar negeri di tengah keadaan yang mencekam di dalam negeri. Di tengah PPKM Darurat dengan tingkat kematian Covid yang sangat memprihatinkan, Menko Perekonomian Arilangga Hartarto, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi, dan Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, melakukan perjalanan ke luar negeri.
Akhirnya, Jokowi mengeluarkan larangan. Tidak boleh pergi ke luar negeri kecuali Menlu. Menteri-menteri yang lain harus lebih dulu meminta izin langsung ke Presiden.
Luar biasa, memang. Sepenting apa urusan yang harus dikerjakan para menteri yang pergi ke luar negeri itu? Mungkin mereka punya alasan kuat. Namun, Pak Jokowi sudah benar merasa kecewa.
Tapi, sebetulnya, para menteri Jokowi bukanlah kehilangan “sense of crisis”. Melainkan mereka semua sedang dilanda “crisis of sense” (krisis rasa). Krisis kehilangan rasa di kalangan para pejabat. Tidak ada rasa bersalah, tidak ada rasa sedih, hilang rasa senasib sepenanggungan, dan rasa-rasa lainnya.
Krisis rasa (crisis of sense) itu tak terlepas dari kepemimpinan Jokowi. Dari Jokowi sendirilah tumbuh dan berkembang “crisis of sense” itu.*