Oleh:
Dr. Adian Husaini
DALAM beberapa hari ini beredar luas di group WA, pernyataan seorang yang dipanggil ”Buya”. Diantara isi ceramahnya, ia antara lain menyatakan: ”Orang yang bener itu, orang yang tidak pernah merasa bener. Kalau orang sudah merasa bener, itu berarti sudah tidak bener.” Ternyata, pernyataan tersebut sudah disampaikan beberapa kali dalam ceramahnya di youtube.
Pernyataan Buya tersebut perlu diklarifikasi. Apakah hal itu berlaku mutlak untuk semua hal atau berlaku untuk hal-hal tertentu? Sebagai muslim, tentu kita yakin, bahwa kita merasa benar dengan keyakinan kita, bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi yang sebenarnya. Maknanya, jika ada yang menyatakan, bahwa Nabi Muhammad saw bukan nabi, pasti pernyataan itu salah. Tentu saya merasa benar dengan pendapat saya. Pada saat yang sama, saya juga akan menyalahkan pendapat yang bertentangan dengan pendapat saya tersebut.
Menyimak beberapa video Buya tersebut, saya yakin dan keyakinan saya pasti benar, bahwa Buya tersebut adalah seorang manusia, bukan tuyul. Saya akan menyalahkan siapa pun yang menyatakan, bahwa Buya tersebut adalah tuyul.
Sebenarnya, pemikiran yang disampaikan Buya tersebut adalah hal yang dikenal sebagai paham “relativisme kebenaran”. Jika seseorang sudah meyakini bahwa dia tidak akan pernah paham akan suatu kebenaran, maka dia tidak dapat diharapkan akan melaksakan dakwah. Sebab, bagaimana mungkin dia akan mengajak manusia kepada kebenaran, jika dia sendiri tidak meyakini kebenaran itu sendiri? Dia juga tidak dapat diharapkan untuk melaksanakan nahi munkar, karena di kepala dia tidak ada konsep ”munkar”. Semuanya adalah benar, menurut pemikiran masing-masing. Begitu pendapat kaum relativis ini.
Di sejumlah perkuliahan fenomena seperti ini juga terjadi. Sejumlah mahasiswa yang sudah belajar agama Islam ternyata juga memiliki pemahaman yang serupa. Bahwa, manusia adalah makhluk relatif, hanya Allah saja Yang Mutlak, sehingga manusia mana pun tidak boleh memutlakkan pendapatnya. Hanya Allah yang tahu mana yang benar dan mana yang salah. Jangan menjadi hakim bagi orang lain. Jangan menyatakan yang lain sesat atau kafir. Yang tahu siapa yang sesat dan siapa yang kafir adalah Allah saja. Pemahaman semacam ini bukan monopoli kampus berlabel Islam saja, tetapi juga menyebar ke berbagai kampus umum.
Padahal, orang-orang yang mengaku pengikut paham relativisme ini pun sebenarnya juga tidak konsisten. Pada suatu sesi kuliah, seorang mahasiswa laki-laki bertahan dengan pendapatnya bahwa produk pemikiran manusia memang senantiasa bersifat relatif. Maksudnya, tidak ada yang boleh dianggap tetap. Semuanya bisa saja berubah.
Kepada si mahasiswa saya tanya: ”Menurut Anda, apakah kelelakian Anda itu mutlak atau relatif?” Ternyata, si mahasiswa tidak berani menjawab ”Relatif.” Tapi, dia jawab, ”Mutlak!” Kebetulan memang ada beberapa mahasiswi di sampingnya. Ya, coba bayangkan, jika seorang calon mertua bertanya kepada calon menantu laki-lakinya, ”Menurut Anda apakah Anda laki-laki?” Lalu, si calon menantu itu menjawab, dengan mantap: ”Relatif, Pak!” Apa yang kira-kira akan terjadi ?
Relativisme memang telah menjadi virus global. Paus Benediktus XVI sendiri mengingatkan, bahwa Eropa saat ini sedang dalam bahaya besar, karena paham relativisme iman yang mendalam. (Lihat, Libertus Jehani, Paus Benediktus XVI, Palang Pintu Iman Katolik, (Jakarta: Sinondang Media, 2005), hal. 32.). Jauh sebelumnya, penyair besar Pakistan, Moh. Iqbal, sudah mengingatkan, bahaya pendidikan modern ala Barat yang juga menancapkan keraguan dan menghilangkan keyakinan dalam beragama. Hilangnya keyakinan dalam diri seseorang, kata Iqbal, lebih buruk dari perbudakan. Itulah yang diingatkan Iqbal, berpuluh tahun lalu: “Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization! Lack of conviction is worse than slavery.”
Sebuah buku karya Douglas Groothuis berjudul Pudarnya Kebenaran: Membela Kekristenan terhadap Tantangan Postmodernisme (aslinya berjudul Truth Decay) terbitan Momentum Christian Literature (2000), memberikan catatan tentang tantangan postmodernisme terhadap kebenaran menurut Kristen: “Apa yang sedang dipertaruhkan bukanlah hal yang remeh atau tidak berharga. Harta berharga yang sedang dipertaruhkan itu tidak lain daripada kebenaran itu sendiri. Bukan sekedar mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi apakah kebenaran itu memang ada atau tidak!”
Banyak jargon-jargon indah yang disebarkan untuk mengemas paham relativisme kebenaran, sehingga tampak logis dan menarik, seperti ungkapan “bedakan antara agama dan keberagamaan”, “jangan mensucikan pemikiran keagamaan”, “agama adalah mutlak, sedangkan pemikiran keagamaan adalah relatif”, “manusia adalah relatif, karena itu semua pemikiran produk akal manusia adalah relatif juga”, “tafsir adalah produk akal manusia, sehingga tidak bisa mutlak semutlak seperti wahyu itu sendiri”, “selama manusia masih berstatus manusia maka hasil pemikirannya tetap parsial, kontekstual, dan bisa saja keliru”, dan sebagainya.
Jadi, paham relativisme kebenaran memang sangat destruktif terhadap pemikiran Islam dan bahkan terhadap pemikirannya sendiri. Berangkat dari paham relativisme ini, maka tidak ada lagi satu kebenaran yang bisa diterima semua pihak. Harusnya dibedakan antara hal yang qath’iy (pasti) dan yang dhanniy (relatif). Artinya, ada yang memang harus diyakini sebagai satu kebenaran, tetapi ada juga pemikiran yang tidak perlu diyakini kebenarannya, sehingga memberi peluang kebenaran pada pendapat orang lain.
Jika orang tidak boleh meyakini bahwa dirinya bener, maka orang yang mengucapkan itu pun tidak boleh merasa benar dengan ucapannya sendiri. Jika dia tidak merasa benar dengan ucapannya sendiri, lalu untuk apa ucapannya dipercaya! Sebab, ia sendiri tidak percaya, kalau ucapannya bener, dan dia pun tidak percaya, bahwa dirinya bener! Wallahu A’lam bish-shawab.*