Oleh:
Tony Rosyid || Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
PUBLIK tahu, PSI partai paling getol kritik Anies. Sebagai legislator, PSI telah menjalankan fungsi kontrolnya. Meski publik menilai, kadang berlebihan. Ini bagian dari dinamika politik.
Walaupun begitu, tak berarti hubungan Anies-PSI buruk. Secara personal, Anies tak memiliki persoalan dengan para kader PSI.
Ingat ketika Ketum DPP PSI (Tsamara Amany) menikah? Anies datang. Meski beberapa hari kemudian, sang Ketum melontarkan kritik keras terhadap Anies terkait DKI.
Sampai batas ini, Anies selalu melihatnya sebagai bagian dari kontrol dan masukan untuk Pemprov DKI. Merespon secara wajar dan profesional.
Beberapa hari lalu, Anies melalui Pemprov DKI memberikan dana hibah kepada DPW PSI. Dana hibah sebesar 2,7 miliar rencananya untuk kegiatan Forum Internasional Youth 20 Summit 2022 (Y20).
Dalam kesempatan lain, bantuan hibah juga diberikan kepada partai-partai lainnya. Bantuan dimaksud untuk mengoptimalkan kinerja partai terhadap masyarakat, terutama untuk memaksimalkan kontribusinya kepada bangsa dan negara.
Tentu, bagi publik, hibah ini mengagetkan. "Anies sering disudutkan PSI, tapi kok malah sumbang dana hibah?" Kira-kira seperti itu protes publik.
Sebagian akan bilang: " mulia betul hati Anies...".
Kata kuncinya: "profesionalisme". Sikap profesional tidak memberi ruang untuk dendam dan merawat permusuhan. Profesionalisme menuntut sikap dan tindakan yang adil kepada siapapun, sesuai regulasi. Termasuk kepada PSI.
Empat tahun Anies memimpin DKI, ada tiga hal yang dinilai publik jadi ciri khas Anies. Pertama, Anies selalu membangun komunikasi yang elegan dengan semua pihak. Bukan hanya kawan, tapi juga lawan. Intensitas komunikasi Anies bisa dilihat dari kunjungannya ke warga Jakarta lintas agama, etnis dan lintas pendukung. Tidak hanya intens berkomunikasi dengan pendukung, tapi juga dengan pihak-pihak yang selama ini tidak mendukung, bahkan rajin menyerangnya.
Kalau ada wartawan yang tanya: "Pak Gub, si itu rajin sekali nyerang Pak Gub?". Mendengar pertanyaan seperti itu, Anies biasanya hanya senyum sambil jawab "mereka memang harus seperti itu. Itu bagian dari tugas mereka untuk mengontrol kinerja Pemprov DKI".
Dalam hati si wartawan ngedumel: "kalau gak nyerang Anies, gak diliputi media". Teorinya: "kalau anda ingin cepat tenar, seranglah orang yang sudah tenar, maka anda akan ikut tenar". Teori ini nampaknya sudah dipelajari dengan baik oleh para politisi
Kedua, Anies cenderung berorientasi pada solusi. Tidak suka ribut dan gak demen konflik. Maka, serangan model apapun kepada Anies, respon tetap santun dan normatif. Tidak rektif, apalagi ngajak konflik. Jauh dari sikap Anies untuk mau melayani konflik dengan pihak lain.
Anies tipe gubernur yang merangkul, bukan memukul. PSI adalah salah satunya. Jelas bukan pendukung, tapi didekati, diajak bicara dan dirangkulnya.
Ketiga, Anies mengedepankan kolaborasi. Melibatkan semakin banyak pihak untuk terlibat dalam urusan rakyat.
Dana hibah yang Anies berikan kepada PSI adalah bagian dari upaya kolaboratif. Tidak hanya dengan PSI, tapi dengan siapapun. Selama itu berorientasi untuk kepentingan rakyat dan tidak melanggar aturan, langkah kolaboratif bisa terus diperluas.
Kalau semua elemen bangsa ini mau berkolaborasi, sebagaimana yang Anies lakukan, bangsa ini gak akan kehilangan banyak energi terbuang dalam kegaduhan dan keterbelahan yang tidak dibutuhkan.*