Jakarta (voa-islam.com) - Puluhan anggota Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) begitu serius melakukan rapat koordinasi di Hotel Ciputra, Jakarta Barat. Rapat yang berlangsung sejak Senin, 13 Juli hingga 17 Juli tersebut membahas situasi terkini terkait keamanan dalam negeri, terutama kasus Papua dan Pilpres.
Lembaga yang diketuai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini memang pekerjaannya memberi masukan kepada presiden soal kondisi keamanan dan pertahanan di dalam negeri dari berbagai gangguan.
Pengamat intelijen Wawan Purwanto, yang juga ikut dalam rapat tersebut mengatakan,
masalah Pilpres dan penembakan di Papua memang menjadi sorotan serius Wantanas. Karena dua masalah itu sangat mencolok sejak awal Juli lalu.
Namun di hari terakhir rapat, kejadian mengejutkan justru terjadi. Bom meledak di Hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton, di wilayah Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat pagi, 17 Juli lalu. Sebanyak 9 orang tewas, sementara puluhan orang terluka parah. Kata Wawan, seluruh anggota Watanas yang ikut rapat di Hotal Ciputra langsung kaget.
Mereka mengaku kecolongan dengan kejadian tersebut. Konsentrasi terhadap pemantauan Pilpres dan Papua kemudian dianggap sebagai penyebab lemahnya pengawasan terhadap kelompok teroris yang selama ini menebar teror di Indonesia.
"Hampir 2/3 kekuatan intelijen kita sedang konsentrasi mengamankan jalannya Pilpres.
Dan hal itu ternyata dimanfaatkan para teroris untuk beraksi," ujar Wawan kepada detikcom.
Sebelum Pemilu Legislatif, pemerintah memang menginstruksikan aparat keamanan untuk mewaspadai setiap gangguan keamanan dalam perhelatan pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Untuk keperluan itu pula seluruh personel Densus 88 ditarik ke Mabes Polri, sehari sebelum pencontrengan Pemilu Legislatif, 9 April. Nah, pasukan khusus yang bertugas memburu para teroris yang ada di Indonesia itu, kemudian ditugasi mengawasi setiap kegiatan yang berujung pada kekacauan pasca Pileg maupun Pilpres.
Sayangnya, teror bom justru terjadi tepat di tengah kota Jakarta. Sekalipun belum dipastikan apakah teror itu terkait pemilu atau terkait kelompok Jamaah Islamiah (JI), yang pasti intelijen sudah kecolongan dengan peristiwa itu.
Hal ini juga diakui Kepala Badan Intelijen Nasional (KaBIN) Syamsir Siregar beberapa saat setelah ledakan terjadi. Kata Wawan Purwanto, komunitas intelijen dikatakan kecolongan karena informasi terkait rencana aksi teror itu sudah sampai di tangan intelijen. Info itu didapat pasca penggrebekan di Cilacap, Palembang, dan Pelumpang.
Namun kelompok yang diindikasi akan melakukan teror itu, sulit dideteksi keberadaannya. Alasannya, nama-nama yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) itu sering berpindah-pindah tempat dan gonta-ganti nama. Alhasil, lokasi yang akan dijadikan aksi-aksi teror itu tidak bisa diiketahui.
"Kita mencari seorang teman yang pindah ke lain RW saja sudah sulit. Apalagi mereka (teroris) yang bisa berada di mana saja di seluruh Indonesia dengan nama yang berganti-ganti," begitu kata Wawan.
Namun pendapat pengamat intelijen AC Manullang beda lagi. Menurutnya, peledakan bom itu bisa terjadi karena intelijen kurang memahami pola kerja teroris. Sementara para teroris memahami betul cara kerja intelijen.
"Pelaku tahu betul kapan penjagaan di kedua hotel itu kendor. Selain itu mereka juga tahu kalau kekuatan intelijen saat ini sedang fokus kepada Pilpres," jelas Manullang.
Dugaan Manullang, bobolnya pemantauan intelijen bisa jadi lantaran aksi ini diprakarsai oleh intelijen juga. Dalam istilah intel, kata Manullang, disebut kontraktor intelijen.
Dugaan Manullang, bobolnya pemantauan intelijen bisa jadi lantaran aksi ini diprakarsai oleh intelijen juga. Dalam istilah intel, kata Manullang, disebut kontraktor intelijen.
Proyek ini ditengarai dilakukan intelijen asing. Tujuannya untuk merusak pengaruh Indonesia di tingkat global.
Supaya tidak terdeteksi gerakannya, lanjut Manullang, mereka mengikuti pola yang dilakukan jaringan JI, baik dalam penggunaan bahan peledak maupun sasarannya, yakni di acara pertemuan bos-bos migas yang umumnya bule. Sehingga polisi akan berkesimpulan kalau aksi itu dilakukan JI.
Dugaan lainnya, pria yang membawa koper dan tas ransel itu tidak tahu kalau di dalamnya ada bom. Dan ketika pria itu sudah berada di mulut JW Lounge, pelaku yang memegang remote kontrol langsung menekan tombol pemicunya.
Argumentasi Manullang ini didasari informasi yang ia terima tentang kekuatan JI terkini.
Dikatakannya, kekuatan JI saat ini sudah semakin melemah karena sel-selnya diobrak-abrik aparat tahun lalu. Belakangan aksi mereka lebih banyak dilakukan dengan cara dakwah.
Itu sebabnya Manullang merasa aneh jika polisi langsung berkesimpulan kalau pelakunya adalah JI. Lagi pula sampai sekarang belum ada keterangan saksi yang mengatakan pelaku teriak takbir.
Kalau pelakunya anggota JI, biasanya bertakbir sebelum bom diledakkan. Sampai sekarang belum ada keterangan saksi yang mengatakan pelaku teriak takbir.
"Kalau aksi itu memang bom bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok fanatik agama, biasanya mereka bertakbir sebelum bom dia ledakan. Karena itu sebagai penyemangat bagi pelaku bom bunuh diri maupun kelompoknya," ungkap Manullang.
Sementara informasi yang diperoleh dari komandan securiti Marriot Didik Ahmad Taufiq, yang kini dirawat di rumah sakit Jakarta, ledakan itu terjadi sesaat setelah pria yang membawa koper dan tas ransel itu sedang mengotak-atik seluler yang dibawanya. Tidak ada teriakan takbir terdengar di depan JW Lounge.
Untuk mengetahui kepastian siapa pelakunya, tandas Manullang, publik harus menunggu hasil kerja polisi. "Kalau ternyata keterlibatan JI itu nihil, berarti kita sudah dikadali intel asing," pungkasnya. (PurWD/voa-islam/DN)