DATU PIANG (Voa-Islam.com) - Perempuan di pulau selatan Mindanao menanggung beban kekerasan separatis hingga sekarang ini yang memasuki bulan keempat.
Mindanao telah menyaksikan meningkatnya pertempuran antara pasukan pemerintah dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) sejak 10 Agustus.
"Saya sangat lelah. Kapankah ini akan berakhir?" tanya Sumira Endosan, seorang pengungsi di Datu Piang, Provinsi Cotabato Utara.
Menurut angka-angka terbaru yang diberikan oleh Dewan Koordinasi Bencana Nasional (NDCC), lebih dari 300.000 orang masih mengungsi karena pertempuran.
Dari angka ini, lebih dari 61.000 tinggal di pusat-pusat pengungsian, menempatkan beban tambahan pada perempuan.
Selain tanggung jawab ekstra di rumah, mereka kini menghadapi peningkatan risiko kesehatan, dan masalah perlindungan, termasuk peningkatan risiko kekerasan seksual.
Selain tanggung jawab ekstra di rumah, mereka kini menghadapi peningkatan risiko kesehatan, dan masalah perlindungan, termasuk peningkatan risiko kekerasan seksual.
"Peluru tidak membedakan antara jenis kelamin, tetapi ini adalah perempuan-perempuan yang diharapkan untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam situasi konflik, kebutuhan mereka berdasarkan gender sering diabaikan," kata seorang perwira dari Isis International kepada IRIN, yang membela partisipasi perempuan dalam proses perdamaian.
Hamil dan terlantar
Pusat-pusat pengungsian yang sempit dan kurangnya air bersih sangat mengkhawatirkan bagi ibu hamil.
"Ini, dan kurangnya privasi, membuat sulit untuk memberikan perawatan pasca-melahirkan dan kebersihan yang dibutuhan," kata Elizabeth Samama, seorang petugas kesehatan provinsi.
Ada lebih dari 1.300 ibu hamil dan menyusui di Datu Piang, kata Samama.
"Dua wanita hamil meninggal karena berbagai cedera akibat tembakan mortir. Seorang wanita meninggal akibat perdarahan pasca melahirkan," katanya.
Untuk saat ini, unit kesehatan pedesaan Datu Piang telah menangani lebih dari 11 kelahiran, serta puluhan pasca-melahirkan, kecuali Kelahiran tradisional dengan menggunakan "hilot" atau pijat.
Sebagai bagian dari upaya respons, United Nations Population Fund (UNFPA) telah mulai mendistribusikan perlengkapan kesehatan reproduksi ke bidan desa, dengan instrumen dasar penting untuk melahirkan yang aman dan steril, untuk mencegah kematian bayi dan kematian pasca-melahirkan.
Risiko kekerasan seksual
Ada rasa tabu atau malu dalam diri mereka. Juga, ada ketakutan bahwa mengajukan keluhan kekerasan sexual akan menimbulkan balas dendam dan memulai perang marga yang ganas
Meskipun tidak ada insiden kekerasan seksual yang dilaporkan, ini tidak berarti hal itu tidak terjadi, para aktivis memperingatkan.
"Kami hanya mendapatkan cerita-cerita anekdot, sehingga membuat itu hanya desas-desus dan gosip," kata Raissa Jajurie, kepala kantor untuk Saligan, sebuah LSM yang terlibat dalam perkembangan hukum di Mindanao, Faktor utamanya adalah rasa takut dan malu atas kebungkaman tersebut.
"Ada rasa tabu atau malu dalam diri mereka. Juga, ada ketakutan bahwa mengajukan keluhan kekerasan sexual akan menimbulkan balas dendam dan memulai perang marga yang ganas," Jajurie menjelaskan.
Trauma
"Wanita yang suaminya terlibat atau telah tewas dalam konflik mengalami trauma terburuk," kata Florence Tayzon, koordinator program UNFPA untuk Philipina. "Konsekuensi ekonomi dari kehilangan pencari nafkah keluarga, diperparah oleh rasa takut akan balas dendam dan 'rido' atau 'perang marga', yang korbannya termasuk wanita dan anak-anak," katanya.
Selain itu, ketika sebagian pengungsi kembali ke rumah, banyak ditemukan hewan-hewan dan harta benda mereka dicuri. Dengan tidak mempunyai apa-apa untuk hidup, sebagian terpaksa kembali ke pusat-pusat pengungsian.
Banyak laki-laki pergi untuk mencari pekerjaan sebagai buruh harian, jadi dengan penghasilan harian sekarang yang tidak menentu dan suami mereka pergi selama berhari-hari, banyak perempuan tidak punya pilihan selain mengambil tanggung jawab tambahan.
Beberapa mengambil pekerjaan kasar, baik sebagai pembantu rumah tangga atau menenun, dengan penghasilan kurang dari US $ 1 per hari.
Sebagian besar keluarga-keluarga pengungsi hidup di bawah garis kemiskinan sebelum konflik, menurut statistik pemerintah. Hari ini, banyak dari mereka harus bertahan hidup dengan kurang dari $ 30 per bulan.
Fatimah, pengungsi berusia 20 tahun , membantu tujuh saudara dengan menjual makanan kecil untuk sen sehari.
"Aku biasanya menghasilkan sebanyak 500 peso [$ 10] per minggu. Tetapi dengan lebih banyak pengungsi yang kini berjualan, saya hanya mendapatkan sekitar 300 peso [$ 6] per minggu," kata Fatima.
"Harus ada proyek-proyek mata pencaharian untuk membantu para pengungsi dalam pembangunan kembali. Akan tetapi, mengingat keadaan darurat, kebutuhan mendesak terhadap makanan dan kesehatan tetap jadi prioritas," kata Isabelle Bucher, delegasi keamanan ekonomi dari Komite Internasional Palang Merah (ICRC). (aa/Irin News)