BAGHDAD (Voa Islam) - Perdana Menteri Irak menolak membentuk pemerintah persatuan untuk menghadapi kelompok jihadis yang pelan-pelan menyapu dan mengambilalih negara itu.
NATO menggelar diskusi kunci hari Rabu (25/6) mengenai Irak, di mana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan hampir 1.100 orang tewas terbunuh ketika kelompok jihadis Sunni yang dipimpin Islamic State of Iraq and Sham (ISIS) menyerbu lima provinsi di bagian utara dan barat Baghdad bulan ini.
Serangan kilat tersebut memaksa ratusan ribu orang mengungsi, dan membuat khawatir para pemimpin dunia dan menempatkan perdana menteri Nuri al-Maliki yang berasal dari kelompok Syiah, berada di bawah tekanan di dalam maupun luar negeri.
Syrian Observatory for Human Rights mengatakan bahwa kelompok Jabhan Nusroh asal Suriah yang berafiliasi dengan Al-Qaida, ada yang telah menyatakan loyalitas kepada ISIS yang kini merebut dan menguasai wilayah perbatasan Irak-Suriah.
Langkah ini membuka jalan bagi dorongan kerja sama bagi kedua organisasi Jihad itu untuk mengambil kendali dari dua sisi perbatasan antara sebelah timur Suriah dan sebelah barat Irak, sekaligus menghapuskan ancaman atas ISIS.
Dalam pidato di televisi, Maliki menolak pembentukan sebuah pemerintahan persatuan darurat untuk menghadapi krisis.
“Seruan bagi pembentukan pemerintahan darurat adalah sebuah kudeta atas konstitusi dan proses politik,” kata dia.
“Itu adalah sebuah upaya dari mereka yang melawan konstitusi untuk menghapuskan proses demokrasi yang masih muda dan mencuri suara para pemilih,“ tambah Maliki.
Penasihat AS tiba
Pernyataan itu disampaikan sehari setelah gelombang pertama dari 300 penasihat militer Amerika Serikat memulai misi mereka untuk membantu angkatan bersenjata Irak, meski Pentagon mengatakan bahwa Amerika tidak ambil bagian dalam perang.
Tugas utama kesatuan itu adalah mengevaluasi pasukan keamanan Irak, kata juru bicara Pentagon Laksamana John Kirby.
Ia menambahkan bahwa AS telah menambah jumlah pesawat pengintai baik yang berawak maupun tanpa awak, di atas Irak, yang melakukan pengawasan 30-35 kali sehari. (dw.de/AF)