BEIRUT, LIBANON (voa-islam.com) - Jabhat Al-Nusrah hari Kamis (27/11/2014) mengancam akan mengeksekusi salah satu dari 26 tawanan pasukan keamanan Libanon yang mereka tawan di perbatasan timur laut kecuali Libanon melepaskan seorang tahanan wanita dalam waktu 24 jam.
"Ini adalah peringatan terakhir untuk negosiasi untuk memulai secara serius atau kita akan melaksanakan hukuman mati terhadap salah satu tawanan yang kami pegang dalam 24 jam," terbaca postingan di akun Twitter Jabhat Al-Nusrah.
Perdana Menteri Tammam Salam hari Kamis telah menegaskan kembali komitmen kuat pemerintahannya untuk menjamin pembebasan para prajurit tawanan, menolak setiap perbandingan kasus mereka dengan militan Syi'ah Hizbullata yang baru-baru ini dibebaskan oleh pejuang Suriah yang berafiliasi dengan Tentara Pembebasan Suriah (FSA).
"Setelah menekankan bahwa kondisi di mana kesepakatan pertukaran tahanan Hizbullah (baca; Hizbullata) tidak bisa dibandingkan dengan para tentara yang sandera, perdana menteri Salam yakin bahwa negosiasi sedang berlangsung sampai pembebasan mereka," kata Menteri Informasi Ramzi Joreige pada akhir pertemuan reguler Kabinet.
Nasib 26 tentara dan polisi yang disandera oleh mujahidin dari Jabhat Al-Nusrah dan Islamic State (IS) telah mendapatkan momentum dalam beberapa hari terakhir, setelah sukses Syi'ah Hizbullata dalam menjamin pelepasan salah satu pejuangnya, yang ditahan oleh Tentara Pembebasan Suriah, dalam pertukaran untuk dua pejuang FSA.
Menyusul keberhasilan itu, Syi'ah Hizbullata mencoba mengompori pemerintah Libanon, menyerukan agar Libanon mengikuti cara mereka dalam menanangai pertukaran tawanan dengan banyak menangkap mujahidin untuk nantinya ditukar dengan tentara Libanon, dibanding harus mengikuti tuntutan kedua kelompok jihad tersebut.
Pernyataan Jabhat Al-Nusrah mengatakan bahwa jika pemerintah ingin membuktikan bahwa mereka bersedia untuk melakukan negosiasi serius maka harus melepaskan Joumana Hmeid, yang secara resmi didakwa oleh Jaksa Militer Saqr Saqr atas tuduhan terlibat dengan kelompok Al-Qaidah, setelah ia tertangkap mengemudi mobil yang dipasangi dengan 50 kilogram bahan peledak di jalan Arsal-Labweh Februari lalu.
Hmeid adalah wanita pertama yang dituduh terlibat dengan organisasi teroris (baca;jihad) sejak serentetan bom mobil dan serangan jibaku yang menargetkan daerah-daerah yang dipandang sebagai bersimpati kepada Syi'ah Hizbullata selama setahun setengah.
Setelah pembebaskan Hmeid dijamin, pemerintah Libanon harus mulai melaksanakan tuntutan Jabhat Al-Nusrah yang sebelumnya dikeluarkan, yang melibatkan pelepasan lima tahanan di Libanon dan 50 tahanan perempuan di Suriah untuk setiap tawanan Libanon, kata pernyataan itu.
"Jika pemerintah tidak menaati, maka kita akan melaksanakan [eksekusi tentara], dan kami akan mengubah [daftar tuntutan] tersebut," kata pernyataan itu.
Jabhat Al-Nusrah juga menuduh pemerintah menerapkan pemadaman media atas negosiasi dalam upaya untuk mempertahankan kebuntuan saat ini. Pernyataan Jabhat Al-NUsrah mengecam Syi'ah Hizbullata karena "mengganggu negosiasi," mengatakan Hizbullata menggunakan cara tidak bermoral untuk membebaskan salah satu pejuangnya yang ditawan oleh Tentara Pembebasan Suriah awal pekan ini.
Sementara itu, mantan mediator Sheikh Adnan Amama mengatakan bahwa bagi Jabhat Al-NUsrah khususnya, tahanan perempuan adalah "garis merah" "Permintaan pertama yang mereka buat dengan kesepakatan Maaloula adalah pembebasan tahanan perempuan [dari penjara Suriah]," katanya.
Ancaman baru-baru ini yang dilakukan oleh kelompok jihad tersebut, katanya, memiliki dua tujuan. Yang pertama adalah "kemanusiaan."
"Ada orang-orang di penjara yang jauh lebih penting bagi Al-Nusrah dibanding Joumana Hmeid, tetapi dengan menyebutnya mereka mengangkat isu etika: bahwa perempuan tidak seharusnya ditahan di balik jeruji besi," katanya.
Yang lainnya, kata dia, untuk memprovokasi opini publik terhadap pemerintah "karena menahan seorang wanita yang mereka anggap tidak berbahaya." (st/tds)