BENGHAZI, LIBYA (voa-islam.com) - Kelompok-kelompok jihad di Libya telah mendesak warga Libya untuk melakukan mobilisasi melawan Prancis dan pasukan asing lainnya yang dikerahkan di negara itu, mengecam kehadiran mereka sebagai "agresi terang-terangan", kantor berita AFP melaporkan hari Jum'at (23/7/2016).
Koalisi kelompok jihad, yang dikenal sebagai Dewan Syura Revolusi Benghazi, mendesak warga Libya untuk bangkit melawan pengerahan pasukan asing di negara yang dilanda kekacauan tersebut.
"Kami menyerukan kepada semua rakyat Libya untuk memobilisasi dan mempertahankan agama (Islam) mereka... dan mengusir" semua pasukan asing dari Libya, kata sebuah pernyataan.
Kehadiran militer Prancis di Libya adalah sama saja dengan "sebuah invasi tentara salib", tambahnya.
Seruan oleh kelompok mujahidin di kota kedua Benghazi datang setelah Presiden Prancis Francois Hollande mengkonfirmasi pada Rabu bahwa negaranya memiliki tentara di Libya.
Hollande membuat pengumuman setelah tiga tentara Prancis tewas di Libya selama misi untuk mengumpulkan intelijen.
Pernyataan Hollande memicu protes anti-Prancis di beberapa kota Libya, sedangkan pemerintah yang didukung PBB dari Government of National Accord (GNA) mengatakan kehadiran pasukan asing adalah "pelanggaran" kedaulatan Libya.
Puluhan pengunjuk rasa berkumpul hari Jum'at di luar bekas markas GNA di sebuah pangkalan angkatan laut Tripoli dan meminta pemerintah untuk memboikot perusahaan Prancis.
Seorang komandan militer yang bersekutu dengan pemerintah saingan yang berbasis di Libya timur telah mengatakan bahwa pasukan Prancis bersama dengan AS dan tentara Inggris di Libya untuk "memantau" afiliasi Islamic State (IS).
IS merebut kota pesisir Sirte di Libya pada bulan Juni tahun lalu, menimbulkan kekhawatiran bahwa mereka sedang membangun benteng baru di depan pintu Eropa.
Pentagon mengklaim pada Mei bahwa mereka memiliki "kehadiran kecil" pasukan di Libya yang bertugas mencoba untuk mengidentifikasi kelompok yang mungkin bisa membantu Amerika Serikat dalam misinya untuk memerangi IS.
Media Inggris melaporkan pada Mei bahwa pasukan khusus Inggris telah mengambil bagian dalam misi tempur melawan IS di timur laut negara itu.
Para milisi saingan di Libya telah berlomba-lomba untuk merebut kekuasaan sejak penggulingan diktator veteran Muammar Kadhafi pada 2011.
Di tengah kekacauan itu, GNA, yang merupakan hasil dari perjanjian pembagian kekuasaan yang didukung PBB pada bulan Desember, telah berjuang untuk menegaskan kekuasaannya.
Pasukan yang setia kepada pemerintah persatuan berjuang untuk merebut kembali Sirte dari IS.
Benghazi, sementara itu telah melihat pertempuran berdarah selama lebih dari dua tahun antara kelompok-kelompok bersenjata, termasuk jihadis, melawan pasukan Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Khalifa Haftar yang setia kepada parlemen dukungan Barat, yang belum mendukung GNA. (st/AFP)