View Full Version
Senin, 16 Jan 2012

Prof. DR. Mohammad Baharun: Revolusi Iran Itu Bukan Revolusi Islam

JAKARTA (vOa-Islam) – Dalam sebuah taklim di Masjid Darussalam, Komplek Tugu Asri Depok, Sabtu Malam (14/1), pengamat Syiah Prof DR. H. Mohammad Baharun, SH, MA mengaku heran, jika banyak umat Islam terkagum-kagum dengan Revolusi Iran. Ia mempertanyakan, apakah benar Revolusi Iran itu Revolusi Islam? Kenyataannya, sejarah mencatat, Revolusi Iran justru memakan anak kandungnya sendiri. Revolusi tersebut mengorbankan ratusan manusia, mulai dari anak-anak, wanita, hingga orang tua.

“Di Syiah, banyak kita temukan antagonism. Politik Luar Negeri yang dipropagandakan Syiah adalah anti AS. Di awal revolusi, Iran sangat anti AS dan anti Rusia, lalu dalam perkembangannya tinggal anti AS saja, dengan Rusia, Iran bisa bersahabat. Suatu ketika, bisa saja , Iran menjadi anti Rusia, kemudian berkompromi dengan AS. Itu terbukti, ketika perang Iran-Irak I, dimana Iran membeli senjata dengan AS dan Israel. Kasus itu dikenal dengan sebutan Iran Gate.”

Lebih jauh, Baharun menjelaskan, Syiah di Indonesia tidak monopolitik seperti di Iran, berbeda. Dikatakan Baharun,  Syiah di Indonesia itu terbagi tiga, yakni:  Syiah ideologi, Syiah pemikiran, dan Syiah simpatisan. Di kampus-kampus, propaganda tentang Syiah mengalami kegagalan. Terlebih, mulai banyak kader-kader Syiah mendapatkan beasiswa untuk kemudian  yang dikirim ke Iran untuk menimba ilmu tentang ke Syiah-an secara intensif.

“Sepulang dari Iran, kader-kader itu  mengembangkan Syiah di Tanah Air. Bahkan ada diantara mereka yang masuk ke parpol-parpol (partai politik),” tukas Baharun yang juga Ketua Komisi Hukum & Perundang-undangan MUI Pusat.

Dikatakan Baharun, di zaman Orde Baru, rezim yang berkuasa melakukan pendekatan keamanan untuk menjaga stabilitas. Ketika itu aliran sesat langsung dilibas. Begitu reformasi, sempalan yang tadinya tiarap, mulai unjuk gigi, seakan bangkit dari kuburnya. Bahkan, kini mereka pasang badan.

Baharun menyoalkan pernyataan seolah Syiah diterima di belahan dunia Islam. Ia mempertanyakan, dunia Islam mana yang menerima Syiah. Coba tunjukkan satu saja. Di Mesir ulama Syiah diusir, di Yordania Syiah di berangus, di Maroko dan Tunisia Syiah ditolak, di Al-Jazair Syiah juga ditolak,  di Lebanon Sunni-Syiah tidak rukun dan tegang, di Suria Sunni minoritas di libas, di Yaman pesantren Sunni dibom, di Pakistan dan Irak perang terus-menerus, di Malaysia yayasan-yayasan Syiah ditolak, di Brunei Syiah sejak awal dilarang.

“Jadi sudahlah, kita jujur dan tidak usah berdusta. Syiah bukan hanya berbeda, tapi juga menyimpang. Tak mungkin menyatukan Sunni-Syiah, pasti akan terjadi perpecahan,” ungkap Baharun yang juga Ketua Pengurus Besar (PB) Lembaga Dakwah Tarbiyah Islamiyah & Penasihat Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).

Prof Baharun yang pakar Syiah ini menegaskan, ada hal krusial ketika kaum Syiah bicara soal Imamah . Ia mempertanyakan, apa benar Muhammad  al-Asykari punya anak Imam Mahdi, apa buktinya? Tidak ada dalam sejarah. Tahu-tahu  muncul Imam Mahdi untuk menggenapkan Imam ke-12. Jika begitu, tidak menutup kemungkinan akan muncul Imam ke-13. “Kalau Imam Mahdi punya anak, lalu kemana anak Imam Mahdi itu?” tanya Baharun.

Ada asumsi, Syiah punya al-Qur’an sendiri. Jika  itu diperkarakan, sudah pasti kaum Syiah akan membantahnya. Mereka menggunakan mushab Al Qur’an seperti kita. Itu berarti mereka menerima mushab Utsman bin Affan, sementara Utsmannya malah dilaknat. Aneh.

Khawarij & Syiah Sama-sama Celaka

Dalam sebuah seminar di Malaysia, dimana Ustadz Baharun hadir sebagai pembanding, ada upaya untuk menapak-tilasi sejarah Aswaja. Paham Aswaja itu tidak ekstrim kanan, juga tidak ekstrim kiri. Islam yang dibawa itu langsung dari tabi’it-tabi’in sampai ke Rasulullah. Dalam seminar itu direkomendasikan, paham Aswaja adalah paham yang tawasud alias jalan tengah.

Dimasa kekhalifahan Ali ra, Ali ingin melakukan tahkim kepada Muawiyah, tapi ditolak oleh sekelompok yang berada di dalam kepemimpinan Ali. Ketika itu kebijakan Khalifah Ali ditolak, Muawiyah didesak untuk dilibas. Meski Ali tetap dengan kebijakannya, namun tetap saja tahkim itu gagal. Kelompok Ali akhirnya  keluar dari barisan, hingga dikenal dengan sebutan kelompok Khawarij. Padahal khawarij itu terdiri dari orang yang taat ibadah,bahkan hafal (hafizh) Al-Qur’an.

Ketika Syiah (pengikut Ali) secara berlebihan menyanjung Ali, begitu juga dengan kelompok yang membenci Ali, maka respon Ali melihat kubu yang terpecah itu mengatakan: Celaka kedua kelompok itu, yakni: kelompok yang membenci aku secara berlebihan (khawrij) dan yang menicntai aku secara berlebihan (Syiah).

Setelah wafatnya Ali, kelompok Khawarj sesungguhnya tidak mati. Kebencian terhada p Ali terus berlangsung, untuk membendung anak dan keturunannya menjalankan kekuasaan. Kebencian itu disebar melaui mimbar-mimbar.  Yang jelas, sisa-sisa Khawarij itu masih ada untuk membunuh karakter Ali ra.

Lebih lanjut, Ustadz Baharun menjelaskan, urusan Ali dengan Muawiyah, sesungguhnya bukan  urusan akidah dan syariah, melainkan poiltik. Surat Ali kepada Muawiyah adalah yang berkaitan dengan politik. “Sama halnya, jika di dalam keluarga kita, ada yang berada di Partai PPP, Golkar, dan partai lainnya/ Lalu apakah kita berani mengatakan orang yang berbeda secara politik itu bukan Muslim alias kafir.”

“Kata Baharun, suka nggak suka Muawiyah adalah  ipar Rasulullah Saw, karena adik Muawiyah (Habibah) adalah isteri Rasulullah Saw. Suka tidak suka, Muawiyah adalah sekretarisnya Rasulullah Saw,” ujarnya.  Desastian


latestnews

View Full Version