Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan jihad kepada hamba-hamba-Nya dan mewajibkan hal itu atas mereka sesuai dengan kemampuan dan kesiapan mereka. Dia berfirman,
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj: 78)
Perintah jihad ini berlaku umum bagi seluruh kaum muslimin. Masing-masing mereka wajib berjihad sesuai dengan kemampuannya. Dan perintah agar berjihad dengan sebenar-benarnya ini seperti perintah-Nya untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya.
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102)
Dan sebagaimana diketahui bahwa makna haqqa tuqatih adalah agar ditaati dan tidak didurhakai, diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak dikufuri. Maka makna haqqa jihadih adalah supaya seorang hamba berjihad (menundukkan) dirinya agar hati, lisan, dan anggota tubuhnya tunduk kepada Allah sehingga semuanya hanya untuk Allah dan karena-Nya, bukan untuk dan karena dirinya sendiri.
Kemudian dilanjutkan dengan menjihadi (melawan) syetannya dengan mendustakan janjinya, mendurhakai perintahnya, melanggar larangannya karena syetan hanya menjanjikan angan-angan dan menawarkan hayalan, mengancam dengan kemiskinan, memerintah yang buruk dan mencegah/menghalangi dari perkara takwa dan petunjuk, kemuliaan dan sabar, serta seluruh akhlak mulia. Kemudian dia menjihadi syetan tersebut dengan mendustakan janjinya dan mendurhakai perintahnya sehingga dengan dua macam bentuk jihad ini dia akan memiliki kekuatan dan kekuasaan.
Lalu dilanjutkan dengan menyiapkan diri untuk berjihad melawan musuh-musuh Allah dari kalangan kafirin dan musyrikin dengan hati, lisan, tangan, dan hartanya supaya kalimat Allah menjadi yang tertinggi.
Selanjutnya berjihad melawan pelaku kedzaliman, kemungkaran, dan bid’ah. Jihad dilakukan dengan mengingkari dan merubah kemungkaran yang dilakukan dengan terang-terangan. Yaitu dengan tangan, jika tidak mampu baru dengan lisan dan jika masih tidak mampu juga maka baru dengan hati.
Perbedaan ulama dalam memaknakan Haqqa Tuqatih
Sebagaimana yang disebutkan dalam tafsir al-Baghawi, “Berjihadlah di jalan Allah dalam melawan musuh-musuh-Nya dengan sebenar-benarnya jihad.” Yaitu –sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas-, “Adalah mencurahkan seluruh kekuatan di jalan-Nya dan tidak takut terhadap celaan orang yang mencela.” Penafsiran ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala,
يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ
“. . . yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” (QS. Al-Maidah: 54)
Muqatil dan al-Dhahak berkata, “Beramalah untuk Allah dengan sebenarnya amal dan sembahlah Dia dengan ibadah yang sebenarnya.”
Abdullah bin Mubarak berkata, “Dia adalah menjihadi diri dan hawa nafsu. Dan ini merupakan jihad terbesar dan menjadi jihad yang sesungguhnya.”
Sedangkan mayoritas mufassirin menyebutkan tentang makna haqqa tuqatih adalah hendaknya niatmu ikhlas (murni) dan benar-benar untuk Allah 'Azza wa Jalla. (lihat tafsir al-Baghawi)
Dan tidak benar pendapat orang yang mengatakan, “Kedua ayat tersebut dihapus karena keduanya mengandung perintah yang tidak mungkin mampu dilaksanakan.”
Haqqa tuqatih dan haqqa jihadih: adalah sesuatu yang mampu dilaksanakan oleh setiap hamba. Dan semua itu berbeda-beda sesuai dengan keadaan para mukallaf dalam kuat, lemah, pengatahuan, dan kejahilannya. Takwa dan jihad yang sesunguhnya disandarkan kepada orang yang kuat, mampu, dan alim adalah sesuatu berbeda bila dibandingkan kepada orang sakit, bodoh, dan lemah.
Lemahnya pendapat tersebut dikuatkan dengan kalimat yang Allah pakai dalam mengiringi perintah tersebut:
هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ في الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78)
Makna al-haraj adalah Kesempitan. Dan Allah tidak menjadikan ajaran agamanya sempit dan memberatkan, tapi Dia menjadikannya luas, lapang, dan mudah yang mampu dilakukan oleh setiap orang, sebagaimana dia mejadikan rizkinya diperoleh orang setiap yang hidup.
Sebagaimana Dia menetapkan rizki bagi hamba yang bisa diusahakannya, maka Dia membebani perintah kepada mereka yang mampu dilakukannya juga.
Dia tidak menjadikan kesempitan bagi hamba-Nya dalam menjalankan agama-Nya ditinjau dari sisi manapun. Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Saya diutus dengan ajaran yang lurus dan lapang (moderat).” Maknanya dengan agama yang lurus dalam tauhid dan mudah dalam pengamalannya.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melapangkan bagi para hamba-Nya dalam menjalankan agama-Nya, memperoleh rizki, maaf dan ampunan-Nya. Dia juga melapangkan jalan taubat selama ruh masih menyatu denga jasad. Dia membuka pintu taubat dan tidak menutupnya sehingga matahari terbit dari barat. Dia mejadikan setiap kemaksiatan ada kafarah yang bisa menghapuskan dosanya berupa taubat, shadaqah, amal shalih yang menghapuskan dosa, musibah yang bisa menghapuskan keburukan-keburukan. Dari setiap yang Dia haramkan, diberikan ganti dengan sesuatu yang halal yang lebih bermanfaat, lebih baik, dan lebih nikmat baginya. Sehingga hamba mencukupkan diri dengan yang halal dan menjauhi yang haram. Allah memperbanyak yang halal dan tidak mempersempitnya. Dia menjadikan dari setiap kesulitan sebagai ujian agar hatinya menjadi lapang, lalu mendapatkan kemudahan sesudahnya. “Tidak mungkin ada satu kesulitan yang mengalahkan dua kemudahan.” Jika kebaikan Allah terhadap hamba-Nya seperti ini, bagaimana mungkin Dia akan membebani mereka dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya dan tidak kuasa dijalankannya.
Sebagaimana Dia menetapkan rizki bagi hamba yang bisa diusahakannya, maka Dia membebani perintah kepada mereka yang mampu dilakukannya juga.
Pentingnya berjihad menundukkan hawa nafsu
Dalam uraian di atas, -sebagaimana yang disebutkan Ibnul Hajar dalam al-Fath dan Ibnul Qayyim dalam Zaad al-Ma’ad- jihad terbagi menjadi empat tingkatan: yaitu berjihad menundukkan hawa nafsu, berjihad melawan syetan, jihad melawan musuh-musuh Allah dari kalangan kafirin dan musyrikin, dan jihad melawan orang-orang fasik dan ahli maksiat.
Dari keempat tingkatan tersebut, jihad melawan hawa nafsu menjadi yang pokok. Dan sesungguhnya seorang hamba selama dia tidak melakukan jihad terhadap hawa nafsunya terlebih dahulu maka dia tidak akan mungkin akan melaksanakan perintah Islam atau meninggalkan larangan-larangannya. Tidak mungkin dia akan tergerak untuk berjihad melawan musuh dari luar kalau dia tidak tergerak untuk memerangi musuh yang ada di dalam dirinya. Dari sini benar apa yang disabdakan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,
الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ الْخَطَايَا وَالذَّنُوبَ
“Mujahid adalah orang yang menundukkan jiwanya untuk taat kepada Allah. Sedangkan muhajir adalah orang yang menjauhi (meninggalkan) kesalahan dan dosa.” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah no. 549)
Dan dalam khutbah hajah beliau, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Dan kami berlindung kepada-Mu (ya Allah) dari keburukan jiwa kami dan jeleknya amal-amal kami.”
Sesungguhnya jiwa senantiasa mengajak kepada kemaksiatan dan mengutamakan kehidupan dunia. Sedangkan Allah memerintahkan hamba-Nya untuk takut kepada-Nya dan menahan diri dari menuruti hawa nafsu. Dan hamba ada dua, menuruti hawa nafsunya sehingga dia hancur dan celaka atau menyambut seruan Tuhannya sehingga dia akan selamat dan beruntung. Hawa nafsu menyuruh untuk pelit sedangkan Allah menyuruh untuk berinfaq,
وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan berinfaklah itu lebih baik bagi dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Taghabun: 16)
Dan berjihad melawan hawa nafsu memiliki empat tingkatan:
1. Menundukkan hawa nafsu untuk mempelajari petunjuk dan agama yang benar. Sesungguhnya tidak aka nada keberuntungan dan kebahagiaan tanpanya. Karena itu jika hal ini dilalaikan maka akan sengsara dunia dan akhirat.
2. Menundukkannya untuk mengamalkan petunjuk setelah mengetahuinya. Jika tidak, maka sebatas mencari ilmu yang tidak diikuti amal tidak akan mendatangkan kebaikan, bahkan bisa mencelakakannya.
3. Menundukkannya untuk mendakwahkan dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya. Jika tidak, maka ia termasuk orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan oleh Allah dari petunjuk dan keterangan. Ilmunya tidak membawa manfaat baginya dan tidak bisa menyelamatkannya dari siksa Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.” (QS. Al-Baqarah: 159)
4. Menundukkannya untuk sabar menghadapi kesulitan dakwah dan menerima hal itu semua karena Allah.
Dan apabila seseorang mampu melaksanakan empat hal di atas, maka dia termasuk ke dalam golongan Rabbaniyyin. Karena para ulama salaf telah bersepakat bahwa orang yang berilmu tidak bisa menjadi figur yang rabbani sampai ia mengerti kebenaran, mengamalkannya, dan mengajarkannya. Maka siapa yang mengetahui kebenaran, mengamalkan dan mendakwahkanya maka akan diagungkan di tengah penduduk langit. Wallahu a’lam bil shawab….. (PurWD/voa-islam.com)