View Full Version
Sabtu, 03 Sep 2011

Bolehkah Berpuasa Sunnah Syawal Sebelum Membayar Puasa Ramadhan?

SOAL: Apabila seorang wanita hendak berpuasa sunnah enam hari dari bulan Syawal sementara dia masih punya hutang puasa Ramadlan dan belum mengadla’nya, apakah dia boleh langsung melaksanakan puasa Sunnah tersebut baru kemudian melaksanakan qadla atau harus mengadla puasa Ramadlannya dahulu?

Disi Nur Sakina - Bekasi

JAWAB:

Oleh: Badrul Tamam

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah untuk Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.

Secara global, para ulama berselisih pendapat tentang bolehnya berpuasa sunnah sebelum selesai melaksanakan qadla Ramadlan dalam dua pendapat.

Pertama, boleh berpuasa sunnah sebelum melaksanakan qadla Ramadlan. Ini merupakan pendapat Jumhur, baik bolehnya secara global ataupun makruh. Madzab Hanafi membolehkan untuk langsung berpuasa sunnah sebelum melaksanakan qadla Ramadlan karena puasa qadla tidak wajib untuk disegerakan, bahkan kewajibannya sangat luas (lapang), dan ini merupakan satu riwayat dari Ahmad.

Sedangkan madhab Maliki dan Syafi’i berpendapat: boleh tapi makruh. Sebabnya, karena menyibukkan diri dengan amal sunnah dari yang qadla berupa mengakhirkan yang wajib.

Kedua, haram berpuasa sunnah sebelum melaksanakan qadla’ Ramadlan. Ini merupakan pendapat madhab Hambali.

Yang shahih dari dua pendapat ini adalah yang menyatakan bolehnya berpuasa Sunnah enam hari di bulan syawal sebelum membayar puasa Ramadlan. Karena waktu (kesempatan) qadla’ (membayar puasa Ramadlan) luas. Sedangkan pendapat yang tidak membolehkan dan menyatakan tidak sah membutuhkan dalil, dan tidak ada satu dalilpun yang bisa dijadikan sandaran untuk hal itu. Sementara dalil yang ada menunjukkan bolehnya untuk melaksanakan puasa sunnah sebelum puasa qadla, yaitu firman Allah Ta’ala, “. . . Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185) dan hadits Aisyah radliyallaahu 'anha, “Aku memiliki hutang puasa Ramadlan, tetapi aku tidak sanggup menggantinya kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan tidak diragukan lagi bahwa Aiysah radliyallaahu 'anha melaksanakan puasa sunnah di sela-sela tahun itu, dan pastinya perbuatan Aisyah itu diketahui oleh Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Ini berarti beliau menyetujuinya.

Sedangkan persoalan yang berkaitan dengan puasa enam hari di bulan Syawal sebelum selesai melaksanakan qadla Ramadlan, di kalangan ulama, terdapat dua pendapat:

Pertama, keutamaan puasa di bulan syawal tidak bisa diraih kecuali oleh orang yang sudah menyelesaikan hutang puasa Ramadlan yang pernah ditinggalkannya karena udzur. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan, lalu diikuti dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka dia seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Muslim dari Abu Ayyub al-Anshari)

Dan seseorang disebut telah berpuasa Ramadlan jika telah menyelesaikan jumlah hari di bulan tersebut. Imam al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj (3/457) menjelaskan keutamaan puasa enam hari di bulan Syawal diraih dengan puasa Ramadlan, yaitu keseluruhannya. Jika tidak maka keutamaan tersebut tidak akan diraih.

Ibnu Muflih dalam kitabnya Al-Furu’ (3/108) berkata, “Keutamaan puasanya (enam hari dari bulan Syawal) ditujukan bagi orang yang melaksanakan puasa tersebut dan telah mengqadla puasa Ramadlan, dan tidak puasanya di bulan Ramadlan itu dikarenakan udzur. . . .” Dan sejumlah ulama kontemporer juga berpendapat demikian seperti Syaikh Abdul Aziz bin Bazz dan Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahumallaah.

Kedua, bahwa keutamaan puasa enam hari dari bulan Syawal bisa diraih bagi siapa yang melaksanakannya sebelum mangadla’ puasa yang ditinggalkannya di bulan Ramadlan karena ada udzur. Karena orang yang tidak berpuasa beberapa hari di bulan Ramadlan dikarenakan udzur bisa dibenarkan kalau dia telah berpuasa Ramadlan. Lalu apabila dia mengiringinya dengan puasa enam hari dari bulan Syawal sebelum melaksanakan qadla’, maka dia mendapatkan pahala yang dijanjikan oleh Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam.

Al-Bajirami dalam Hasyiyahnya menukil tentang bantahan terhadap pendapat yang mengatakan tidak akan diperoleh pahala puasa enam hari dari bulan Syawal oleh orang yang mendahulukan puasa tersebut atas puasa qadla’ dengan hujjah bahwa sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam “Lalu diikuti dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal”.  Beliau beralasan bahwa kata tab’iyah “mengikuti” bisa bermakna taqdiriyah, artinya kalau puasa tesebut dilaksanakan sesudah melaksanakan puasa di bulan Ramadlan (walau masih memiliki hutang karena udzur), maka berpuasa enam hari di bulan syawal disebut telah mengikuti.

Ada sejumlah ulama kontemporer yang condong kepada pendapat kedua, seperti Syaikh Abu Malik Kamal bin al-Sayyid Salim dalam Shahih Fiqih Sunnahnya. Setelah beliau menukilkan pendapat ulama yang melarang untuk mendahulukan puasa enam hari di bulan Syawal sebelum mengadla’ puasa Ramadlan yang ditinggalkannya karena udzur, beliau mengatakan, “Kecuali bila dikatakan sabdanya: ‘kemudian dilanjutkan dengan puasa enam hari dari bulan Syawal’, terucap secara umum, dan tidak memiliki konteks mafhum sama sekali, maka ketika itu boleh melaksanakan puasa enam hari di blan syawal tersebut sebelum melaksanakan puasa qadlan Ramadlan. Terutama apabila bulan syawal terasa sempit bagi seseorang jika harus mengadla terlebih dahulu. (Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal Salim, Pustaka al-Tazkia, Jakarta: 3/182)

. . . Puasa enam hari di bulan Syawal merupakan keutamaan khusus untuk bulan ini yang akan hilang dengan berlalunya bulan Syawal. . . 

Syaikh Khalid bin Abdullah al-Mushlih juga termasuk yang lebih condong untuk membolehkan. Beliau menjelaskan, bahwa makna didapatkannya keutamaan tersebut tidak tergantung dengan selesai dari melaksanakan qadla’ sebelum melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Karena kelanjutan puasa bulan Ramadlan untuk puasa sepuluh bulan sesudahnya bisa diraih dengan menyempurnakan pelaksanaan amal fardlu baik dengan langsung atau diqadla’. Dan Allah sendiri telah melapangkan dalam masalah qadla’ melalui firman-Nya,

 فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ

“. . . Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Pendapat yang shahih: boleh berpuasa Sunnah enam hari di bulan syawal sebelum membayar puasa Ramadlan. Karena waktu (kesempatan) qadla’ (membayar puasa Ramadlan) luas.

Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal merupakan keutamaan khusus untuk bulan ini yang akan hilang dengan berlalunya bulan Syawal. Namun demikian mendahulukan puasa fardlu untuk mengangkat beban kewajiban itu lebih utama daripada menyibukkan dengan amal sunnah. Tapi siapa yang berpuasa enam hari di bulan Syawal lalu baru melaksanakan puasa qadla sesudahnya, maka dia mendapatkan keutamaan puasa tersebut karena tidak ada dalil khusus yang meniadakan hilangnya keutamaan tersebut. wallahu a’lam [voa-islam.com]


latestnews

View Full Version