Quraish Shihab menulis bahwa: ”Menghidangkan satu pendapat saja disamping dapat mempersempit dan membatasi seseorang, juga berbeda dengan kenyataan bahwa hampir dalam semua persoalan rinci keagamaan Islam ditemukan keragaman pendapat. Keragaman itu sejalan dengan ciri redaksi Al Qur'an dan hadits yang sungguh dapat menampung aneka pendapat.“ (M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, hlm. 5)
Kalau saja Quraish Shihab menghidangkan berbagai pendapat ulama yang diakui otoritas keilmuannya, tentunya tidak akan berdampak buruk seperti yang terjadi sekarang. Yang disayangkan, ternyata beliau menghidangkan pendapat orang-orang yang – nota bene – hanya pemikir yang kurang otoritatif dan sama sekali bukan ulama yang mu’tabar, sehingga menyeleweng jauh dari kebenaran dan cenderung berpendapat nyleneh.
Makanya, jauh-jauh sebelumnya, para ulama telah menyebutkan bahwa tidak setiap perbedaan pendapat dalam suatu masalah bisa diterima, karena bisa dimungkinkan bahwa yang berbeda itu adalah pendapat orang yang bukan ahlinya. Berkata Ibnu Hajar Al Haitami:
َلَيْسَ كُلُّ خِلَافٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا إلَّا خِلَافًا لَهُ حَظٌّ مِنْ النَّظَرِ
"Tidak setiap perbedaan pendapat bisa diterima, kecuali perbedaan pendapat yang mempunyai dasar pijakan (menurut disiplin keilmuan)." (Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarhi al Minhaj, Dar Ihya Turats al Araby, Juz III, hlm. 209)
Kita lihat bagaimana Ibnu Hajar Al Haitami, seorang ulama besar dari Madzhab Syafi’i telah meletakkan sebuah kaidah yang sangat penting, khususnya bagi kaum muslimin di Indonesia yang kebanyakan masih menganggap bahwa seluruh perbedaan pendapat bisa ditampung dan diakomodir dengan alasan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Demokrasi, sehingga pendapat-pendapat nyleneh dan jelas-jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist serta ijma’ pun harus diterima sebagai perbedaan pendapat. Sampai-sampai saat ini ada yang menyatakan, bahwa pendapat yang menghalalkan homoseks dan lesbian pun harus dihormati juga sebagai bagian dari perbedaan, karena perbedaan pendapat adalah rahmat. Tentu saja pendapat semacam ini sangat keliru.
Perkataan Ibnu Hajar Al-Haitami di atas dikuatkan juga dengan perkataan ulama besar, Imam Ar Romli:
إلَّا أَنْ يُقَالَ إنَّ هَذَا الْقَوْلَ شَاذٌّ , وَلَيْسَ كُلُّ خِلَافٍ يُرَاعَى
"Hanyasanya, bisa dikatakan bahwa pendapat ini adalah nyleneh, dan tidak setiap perbedaan pendapat bisa diterima." (Muhammad bin Shihabudin Ar Romli, Nihayah al Muhtaj ila Syarh al Minhaj, Beirut, Dar al Fikr.)
Dari sini, bisa penulis katakan bahwa pendapat-pendapat yang selayaknya ditampilkan dalam masalah jilbab ini, hanyalah terbatas pendapat-pendapat para ulama yang bergelut dalam bidang syari'ah dan memang telah diakui kredibilitas dan kemampuannya.
Seandainya Quraish Shihab hanya menampilkan dua pendapat kelompok besar dari para ulama tentang batasan aurat tentu kita sepakat dan mendukungnya. Berkata Quraish Shihab: "Secara garis besar, dalam konteks pembicaraan tentang aurat wanita, ada dua kelompok besar ulama masa lampau. Yang pertama menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa kecuali adalah aurat, sedang kelompok kedua mengecualikan wajah dan telapak tangan.“ (M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, Juz II, hlm. 8)
Dua pendapat yang sudah disebutkan Qurasih, menurut hemat penulis secara umum sudah cukup mewakili seluruh ulama yang ada. Adapun jika ada perinciannya lagi dalam beberapa hal, maka bisa disesuaikan dengan kaidah-kaidah fiqh yang ada. Jadi, tidak perlu menampilkan lagi pendapat-pendapat cendekiawan kontemporer yang sebenarnya tidak berhak sama sekali ikut bicara dalam masalah yang bukan menjadi bidang garapannya, karena hal itu akan merusak tatanan disiplin keilmuan yang sudah ada. Dan jika beliau menampilkan pandangan cendekiawan kontemporer tersebut secara sepintas saja, tentunya dampak negatifnya lebih kecil dari pada sekarang. Tetapi kenyataannya beliau justru menyendirikan pandangan cendekiawan kontemporer tentang jilbab itu dalam satu bab secara lengkap, yaitu dari halaman 113 sampai 164, yaitu sekitar 30% dari jumlah keseluruhan isi buku -- sesuatu yang tidak dilakukan oleh Quraish Shihab ketika menerangkan tentang pendapat ulama yang diakui otoritasnya.
Bukan hanya pendapat para cendekiawan saja yang dipermasalahkan oleh para ulama, bahkan pendapat pakar ushul fiqh pun –yang dalam hal ini sangat dekat dengan ahli fiqh- belum tentu bisa diterima pendapatnya jika ia berbicara masalah fiqh. Berkata Imam Zarkasyi:
"Apakah pendapat pakar ushul fiqh ketika berbicara masalah fiqh bisa diterima? ....Adapun mayoritas ulama, termasuk di dalamnya Abul Husain bin Qattan menyatakan bahwa pendapat seorang pakar ushul fiqh dalam permasalahan fiqh tidaklah bisa diterima, karena dia tidak termasuk ahli fatwa." (Badruddin Zarkasy, Bahru al-Muhith, Dar al Kutby, Juz VI, hlm. 416, lihat juga Al Ghozali, Al Mutashfa, hlm : 144)
Kalau keadaannya demikian, bagaimana para ulama tersebut jika hidup pada zaman sekarang dan mendengar seorang insiyur bangunan, sarjana politik, mantan perwira, dokter gigi, ekonom atau sejenisnya yang sama sekali buta dengan ilmu-ilmu syariah kemudian berfatwa tentang hukum jilbab, tentunya akan ditolak mentah-mentah. Jika tidak memahami atau tidak mempunyai otoritas di bidang itu, seharusnya kembali kepada ulama yang diakui otoritasnya.
Ditulis Oleh: DR. Ahmad Zain An-Najah, M.A