Oleh: Son Hadi, Direktur Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) Media Center
Disampaikan pada Diskusi Interaktif Gerakan Masyarakat Islam Indonesia (GMII), Bogor 20 September 2011 “Membendung Gerakan Radikalisme dan Terorisme Mengatasnamakan Agama”
ISTILAH maupun wacana teroris, radikal, ekstrem dan fundamentalis selalu saja menjadi trademark Barat untuk memberikan perspektif dan citra negatif pada dunia Islam dan sekelompok umat Islam. Padahal secara akademis istilah–istilah tersebut tidak pernah terdefinisikan secara jelas yang ada hanyalah untuk menunjuk kepada jenis pemahaman Islam tertentu, sehinggan Istilah ini lebih banyak bernuansa politis, ketimbang akademis. Apalagi, jika kemudian istilah ini digunakan hanya untuk melakukan stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok Islam, yang memiliki pehamanan Islam yang tidak sesuai dengan Barat. Beberapa misal defenisi radikal yang diberikan antara lain:
Dalam Buku “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia” Tahun 2004, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta disebutkan ciri gerakan radikal adalah:
1. Mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung.
2. Dalam kegiatannya mereka seringkali menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka.
3. Secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas.
4. Kelompok ‘Islam radikal’ seringkali bergerak secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan.
John L. Esposito dalam bukunya, Islam: The Straight Path mengindentifikasi gerakan radikal sebagai berikut:
1. Mereka berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, sehingga Islam tidak dipisahkan dari politik, hukum, dan masyarakat.
2. Mereka seringkali menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekular dan cenderung materislistis harus ditolak.
3. Mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk ‘kembali kepada Islam’ sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial
4. Karena idelogi masyarakat Barat harus ditolak, maka secara otomatis peraturan-peraturan sosial yang lahir dari tradisi Barat, juga harus ditolak
5. Mereka tidak menolak modernisasi sejauh tidak bertentangan dengan standar ortodoksi keagamaan yang telah mereka anggap mapan, dan tidak merusak sesuatu yang mereka anggap sebagai kebenaran yang sudah final.
6. Mereka berkeyakinan, bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim tidak akan berhasil tanpa menekankan aspek pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang kuat.
Dalam makalah “Peran Ulama dalam Mewujudkan Pemahaman Keagamaan yang Benar“ Halaqoh Penanggulangan Terorisme BNPT dan MUI, dijelaskan sebagai berikut:
1. Radikalisme merupakan faham (isme), tindakan yang melekat pada seseorang atau kelompok yang menginginkan perubahan baik social maupun politik dengan menggunakan kekerasan, berpikir asasi dan bertindak ekstrem.
2. Kelompok Islam radikal adalah kelompok yang mempunyai keyakinan ideologis yang tinggi dan fanatic yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan system yang sedang berlangsung
Sedangkan ciri-ciri gerakan radikalisme dalam makalah itu adalah sebagai berikut:
1. Islam adalah agama yang komprehensif yang harus mengatur segala aspek kehidupan sosial politik, hukum, ekonomi, dan lain-lain.
2. Ideologi masyarakat barat yang sekuler dan materialistis harus di tolak.
3. Mengajak pengikutnya untuk kembali pada Islam sebagai usaha untuk melakukan perubahan sosial.
4. Upaya-upaya islamisasi pada masyarakat muslim melalui pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang kuat.
Definisi diatas memberi gambaran bahwa kata “radikal” telah menjadi istilah politik (political words) yang cenderung multitafsir, bias dan sering digunakan sebagai alat penyesatan atau stigma negatif lawan politik. Misal: penggunaan istilah Islam radikalyang sering dikaitkan dengan terorisme, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan, skriptualis dalam menafsirkan agama, menolak pluralitas (keberagamaan) dan julukan-julukan yang dimaksudkan untuk memberikan kesan buruk.
....Julukan “Islam radikal” digunakan secara sistematis terhadap pihak-pihak yang ingin memperjuangkan syariah Islam, Khilafah Islam, karena menentang sistem ideologi Barat (Kapitalisme, Sekularisme dan Demokrasi)...
Istilah kata “radikal” kemudian menjadi alat propaganda yang digunakan untuk kelompok atau negara yang berseberangan dengan ideologi dan kepentingan Barat. Julukan “Islam radikal” kemudian digunakan secara sistematis terhadap pihak-pihak yang menentang sistem ideologi Barat (Kapitalisme, Sekularisme dan Demokrasi), ingin memperjuangkan syariah Islam, Khilafah Islam, menginginkan eliminasi Negara Yahudi dan melakukan jihad melawan Barat.
Adapun menurut Mark Juergensmeyer (1993), radikalisme dalam Islam muncul karena kegagalan nasionalisme sekular yang dianggap tak mampu mengakomodir aspirasi kalangan agamawan. Kalangan Islam radikal, menurut dia, tidak menolak modernitas dalam arti ilmu pengetahuan atau teknologi, tetapi mereka tidak bisa menerima ideologi di balik itu: sekularisme dan materialisme. Penolakan terhadap sekularisme menguat karena sistem itu tak memberikan tempat bagi ajaran Islam, memarginalisasi kaum Muslim, serta memperparah krisis yang melanda Dunia Islam.
Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dr Imran Mawardi MA mengatakan, istilah radikalisme sengaja dibuat oleh Barat untuk menghancurkan umat Islam. Sebab, pasca keruntuhan Komunisme, satu-satunya ideologi yang menjadi ancaman paling menakutkan bagi dunia Barat adalah Islam. (Hidayatullah. com. )
Sama dengan Radikal definisi Terorisme pun tak pernah terumuskan dengan baku “no global consensus” demikian kesimpulan IrjenPol Ansyad Mbai dalam makalahnya “Terorisme dan Strategi Penggulangannya” ironis memang bagaimana kemudian istilah yang tidak baku tersebut kemudian menjadi produk hukum yang bernama UU Terorisme pasti hasilnya pasti bias sebagai contoh pasal 6 yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
Menurut undang-undang, yang dimaksud “setiap orang” adalah: “Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi” (pasal 1 ayat 2).
Sedangkan yang dimaksud “kekerasan dan ancaman kekerasan” adalah: “Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas” (Pasal 1 ayat 4 dan 5 ).
Undang-undang ini menjadi bias dan diskriminatif dalam tataran aplikatif, ada perbedaan hukum antara perbuatan aktivis muslim dan aparat/Densus 88 untuk satu perbuatan yang sama. Jelasnya, jika tindak kekerasan itu dilakukan oleh aktivis muslim maka dia dibranding sebagai teroris namun jika kekerasan itu dilakukan aparat/Densus 88 dianggap sebagai penegakan hukum, pelaksanaan pasal 28 UU Tindak Pidana Terorisme menjadi kisah trauma psikologis dan fisik yang mendalam bagi tersangka terorisme sekaligus sebagai bukti kekerasan atas nama dan dilindungi UU. begitu juga pembunuhan sepihak pada Ibrahim, Dul Matin, Pelaku perampokan bank CIMB, Sigit Qordhawi di Solo dan yang terakhir Khidir di Bandung adalah daftar panjang legalitas Teror oleh aparat; sepanjang tahun 2010 hingga saat ini yang tewas terbunuh oleh densus sekitar 40 orang tewas terbunuh oleh densus 88 sebagai “terduga teroris”, dan ada sekitar 630 aktifis muslim yang ditahan dengan pasal terorisme, maka tak salah jika branding teroris hanya diberikan kepada mereka yang konsisten ingin menegakkan syariat.
Kemudian muncullah suasana antagonis antara pemerintah dengan sebagian umat Islam. Setidaknya, muncul situasi saling curiga antar komunitas bangsa, bahkan sesama umat Islam pun tercipta kondisi semacam itu. Mungkin tanpa sadar, ada yang terseret pada situasi adu-domba satu sama lain. Saling tuding, saling cerca, dan saling benci, terjadi hanya karena perbedaan pandangan tentang Islam, terorisme, demokrasi, dan sebagainya. Yang satu dituduh radikal, yang lain dituduh antek Barat. Yang satu pro-thaghut, yang lain dicap antek-teroris.
Situasi seperti inikah yang dikehendaki oleh umat Islam dan pemerintah Indonesia? Tentu tidak! Kita mendambakan negeri ini sebagai negeri yang aman, adil dan makmur dibawah naungan syareat; negeri yang besar, yang disegani oleh bangsa-bangsa lain, sehingga tidak mudah harta kekayaan alam kita dicuri oleh bangsa lain; tidak mudah didikte oleh bangsa lain, sehingga hakikat kemerdekaan yang dicita-citakan pendiri bangsa bisa diwujudkan.
Belum lagi jika perhatikan program dan konsep Deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT dalam makalahnya yang berjudul Terorisme dan Strategi Penangannanya, yang isinya sama persis dengan rekomendasi dalam sebuah paper yang berjudul: Building Moderate Muslim Networks, yang dikeluarkan oleh RAND Corporation, sebuah Pusat Penelitian & Pengkajian Strategi tentang Islam & Timur Tengah, yang berpusat di Santa Monica – California dan Arington – Virginia, di USA, atas biaya Smith Richardson Foundation. Rand Corporation yang dulunya adalah perusahaan persenjataan Douglas Aircraft Company di Santa Monica-California didirikan setelah berakhirnya perang dunia ke-2. Kini perusahaan tersebut melihat dirinya sebagai lembaga think tank independen, walaupun sebagian besar dana untuk 800 orang staf penelitinya diperoleh dari pengerjaan proyek penelitian badan militer AS, Pentagon. Lembaga ini didanai oleh Lembaga Donasi Smith Richardson Foundation. Dokumen terakhir ini memuat langkah-langkah strategis untuk membangun Jaringan Muslim Moderate yang Pro Barat di seluruh Dunia Islam.
Baik Rand Corp., maupun Smith Richard Foundation adalah lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan gerakan Zionisme Internasional di mana para personilnya adalah bagian dari gerakan bawah tanah Freemasonry-Illuminati, sekte Yahudi yang berpegang pada kitab Talmud. Mereka juga selalu menggunakan istilah “Komunitas Internasional” untuk mengganti istilah Zionisme Internasional, agar maksud dan tujuan sebenarnya tersamarkan dan sekaligus memanipulasi negara-negara non Barat dan non muslim lainnya. Building Moderate Muslim Networks sudah diadopsi sepenuhnya oleh Pentagon (Departemen Pertahanan AS) dan Departemen Luar Negeri AS sebagai kebijakan Resmi Pemerintah AS yang tengah diterapkan terhadap Dunia Islam. Dokumen tersebut bisa diakses langsung melalui http://www. rand. org/.
Inti dari laporan “Building Moderrate Muslim Network, ”menyatakan, penting bagi merealisasikan tujuan-tujuan kebijakan AS di Dunia Islam dengan membuat jaringan yang disebut sebagai Muslim Moderat. Sejalan dengan Rand Corporation, The Heritage Foundation, sebuah lembaga think tank konservatif Washington DC mendorong AS dalam menjalankan kebijakan luar negerinya untuk terus memberikan beasiswa kepada cendekiawan Muslim agar mereka mendapatkan ‘pencerahan’ tentang Islam, dan kemudian pada masa yang akan datang dapat membawakan Islam yang lebih dekat dengan Barat. Ada Beberapa kesamaan mind set dalam memandang masalah teroris antara BNPT dan RAND Corporation antara lain:
BNPT: Tujuan Aktual Terorisme: Khilafah Islamiyah/Daulah Islam, Syariat Islam.
RAND: Komunitas Internasional menilai bahwa upaya umat Islam untuk kembali kepada kemurnian ajaran Islam adalah suatu ancaman bagi peradaban Dunia Modern, dan bisa mengantarkan kepada Clash of Civilization (Benturan Peradaban).
Kita bertanya, apakah salah jika seorang Muslim meyakini agamanya sebagai satu kebenaran dan tata aturan sistem kehidupan yang sempurna? Bukankah menjamurnya lembaga-lembaga ekonomi syariah juga dijiwai dengan pemikiran dan semangat yang sama? Jika kita membaca pemikiran dan kiprah para pejuang Islam yang juga pendiri bangsa ini, seperti KH Wahid Hasjim, M. Natsir, Haji Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan sebagainya, dapat disimak bagaimana kuatnya keyakinan mereka pada agamanya dan gigihnya mereka dalam memperjuangkan cita-cita Islam di Indonesia. Namun, mereka tetap berupaya memperjuangkannya secara konstitusional.
BNPT: Mindset teroris, Persepsi tentang adanya kondisi yang menindas secara terus menerus. Kondisi tersebut adalah ketidakadilan yang harus diubah. Proses damai untuk mendapatkan perubahan tidak akan diperoleh. Karenanya cara kekerasan sah dilakukan.
Rand: Komunitas Internasional menilai bahwa Dunia Islam ada dalam Frustasi dan Kemarahan, akibat dari periode keterbelakangan yang lama dan ketidakberdayaan komparatif serta kegagalan mencari solusi dalam menghadapi kebudayaan global kontemporer.
Yang jelas Menyatukan berbagai istilah kunci dalam Islam dengan istilah-istilah asing atau melakukan pendefinisian ulang sesuai dengan kepentingan Barat adalah salah satu cara halus dan efektif yang dilakukan orientalis dalam merusak konsep Islam. Istilah Islam, misalnya, dikaitkan dengan istilah radikal. Padahal istilah radikalisme (termasuk terorisme) sendiri masih diperdebatkan.
Oleh karena itu, dalam menanggapi suatu konsep atau istilah yang datang dari luar kita harus selektif dan tidak mudah terprovokasi. Jangan termakan dengan istilah tertentu yang mengandung muatan jahat menyerang Islam. [voa-islam.com]