Kalau Sondang Hutagalung beragama Islam dan aktif di salah satu ormas atau lembaga Islam, boleh jadi aksi bakar diri yang dilakukannya tempo hari akan dinilai sebagai tindakan radikal bahkan bukan mustahil disebut bagian dari terorisme.
Sebagaimana diberitakan media massa, pada hari Rabu tanggal 07 Desember 2011, terjadi kasus bakar diri di depan Gerbang Barat Monas atau di seberang Istana Merdeka, jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, sekitar pukul 17:30 WIB. Pelaku yang semula sempat dikira perempuan, melakukan aksi bakar diri selama sekitar 3 menit.
Menurut saksi mata, saat api membakar tubuh, tidak ada suara teriakan dari pelaku sebagaimana layaknya kasus orang terbakar. Pelaku yang berkaos putih dan bercelana hitam, tidak tampak bagai orang stres. Diduga, ia melakukan aksi bakar diri memang sudah direncanakan. Memang niat bunuh diri.
Meski pelaku sempat ditolong aparat Polisi dan Satpol PP yang memang sedang berada di lokasi kejadian, namun luka bakar yang dideritanya mencapai 90 persen lebih. Tubuh penuh luka bakar serius itu kemudian dibawa ke rumah sakit, dan tiba di RSCM sekitar pukul 18:00 WIB.
Identitas pelaku aksi bakar diri baru terkuak pada hari Jum’at tanggal 09 Desember 2011, sekitar tengah hari, melalui informasi dari LSM SAHABAT MUNIR, sebuah organisasi yang peduli terhadap upaya pengungkapan kasus kematian Munir (tokoh Kontras), dan merupakan salah satu organisasi yang diikuti pelaku aksi bakar diri ini.
Dia adalah Sondang Hutagalung, pria beragama Kristen berusia 22 tahun, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK), yang merupakan putra dari pasangan Pirto Hutagalung dan Saurdame Sipahutar.
Dalam perspektif Islam, aksi bakar diri dalam rangka HAM atau dalam rangka apapun juga, sama sekali tidak dibenarkan, tergolong dosa besar. Namun kasus bakar diri ini pelakunya non Muslim dan tidak punya tujuan berbau Islam. Dalam hal main api, kasus ini sebagaimana kasus Bom Cirebon (15 April 2011) dan Bom Solo (25 September 2011).
Sedangkan dalam perspektif kedokteran jiwa, aksi bakar diri bukan merupakan cara yang pas untuk mengekspresikan diri atau menyatakan kekecewaan, karena masih banyak cara lain yang lebih bijaksana. Menurut dr. Andri, SpKJ (Psikiater, Dosen FK UKRIDA, Jakarta), biasanya aksi nekad seperti bakar diri ini dilakukan oleh mereka yang mengalami gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder). Ciri-cirinya, pelaku bersifat pasif agresif. Artinya, secara ekspresi emosional bersikap pasif, tetapi agresif secara perilaku. (http://nasional.kompas.com/read/2011/12/12/09270091/)
Terlepas dari apakah Sondang mengalami gangguan kepribadian –yang bisa berarti tidak sehat secara kejiwaan– yang pasti motif bakar diri yang dilakukannya tidak jelas. Meski tidak jelas, ternyata pendukungnya terkesan banyak, termasuk yang sekedar bersimpati. Bahkan Presiden SBY pun termasuk di antaranya.
Menurut Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turut bersedih atas meninggalnya Sondang Hutagalung. Bahkan, Presiden telah mengutus Menteri Perhubungan EE Mangindaan untuk menyampaikan rasa simpati Presiden dan pemerintah kepada keluarga Sondang, untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi keluarga mendiang Sondang Hutagalung.
Sepertinya SBY ingin memberi kesan sebagai sosok yang bijaksana. Meski aksi bakar diri konon ditujukan kepada SBY, namun ia seolah-olah sedang menunjukkan sikap kenegarawanannya dengan mengumbar sikap simpati. Hal seperti itu tentu saja tidak pernah dilakukan SBY terhadap kasus yang dilakukan Muhammad Syarif (Bom Cirebon 15 April 2011) dan Ahmad Yosepha Hayat (Bom Solo 25 September 2011). Mungkin karena beda tema. Syarif dan Hayat bertema terorisme, sedangkan Sondang bertemakan hak asasi manusia.
Aksi bunuh diri versi Sondang dipandang sebagai heroisme, sedangkan hal serupa –tapi tak sama– yang dilakukan oleh Syarif dan Hayat dipandang sebagai terorisme. Bahkan, sekelompok pengusung bid’ah menjadikan Salafi-Wahabi sebagai kambing hitam, untuk mengait-ngaitkan dan memaknai aksi bunuh diri bertema terorisme itu dengan ajaran Islam yang tidak sesuai dengan syahwat mereka, sebagaimana ditunjukkan dengan gigih-berani oleh Said Agil Siradj Ketua Umum PBNU.
Sampai saat tulisan ini dibuat, motif yang melatari aksi bakar diri yang dilakukan Sondang masih tidak jelas.
Juga belum jelas, apakah hanya sekedar nekad tapi kebablasan, atau untuk mendapatkan perhatian, atau justru dijadikan semacam ‘pengantin’ oleh kalangan tertentu, dalam rangka memunculkan momentum politis yang menguntungkan kelompoknya.
Namun sekelompok orang telah menafsirkannya sebagai aksi heroisme membela hak asasi manusia, dengan harapan demi tercapainya perubahan di Indonesia. Aksi solidaritas untuk Sondang cukup marak. Tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di berbagai kota lain di luar Jakarta.
Di Karawang, Jawa Barat, Senin 12 Desember 2011, sejumlah mahasiswa yang tergabung ke dalam GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) melakukan aksi solidaritas untuk Sondang di depan kantor Bupati Karawang. Menurut Moris Moy Purba (Ketua GMNI Cabang Karawang), aksi bakar diri Sondang adalah bentuk protes anak negeri atas kegagalan pemerintah.
Di Medan, Senin 12 Desember 2011, aktivis GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) menggelar aksi unjuk rasa sebagai bentuk keprihatinan terhadap Sondang. Menurut mereka, aksi bakar diri Sondang bukanlah tindakan bodoh tetapi bentuk baru melawan neo kapitalisme. Mereka selain menuntut SBY-Boediono mundur dari jabatannya, juga menebar ancaman (kosong) akan melakukan aksi serupa Sondang bila DPRD setempat tidak meneruskan tuntutan mereka kepada SBY. “Kami akan kembali lagi dan membakar diri di sini kalau ini tidak disampaikan.”
Di Pekanbaru, Riau, aktivis GMNI di sana menggelar aksi belasungkawa dan penghormatan terhadap Sondang sejak Senin 12 Desember hingga Selasa 13 Desember 2011. Menurut Josh Dowel (Ketua GMNI Cabang Pekanbaru), aksi bakar diri yang dilakukan Sondang merupakan bentuk kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah. Sedangkan menurut Royan Suryasepta (Sekretaris GMNI Cabang Pekanbaru), aksi bakar diri Sondang adalah lambang kekesalan masyarakat terhadap pemerintah.
Di Malang, Jawa Timur, pada hari Senin tanggal 12 Desember 2011, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Peduli Keadilan menggelar aksi solidaritas untuk Sondang, di depan gedung Dewan setempat. Menurut Adi Nugroho (koordinator aksi), aksi bakar diri yang dilakukan Sondang merupakan pukulan bagi pemerintah. Menurut Adi pula, pemerintah telah mengabaikan hak-hak rakyat atas pendidikan dan kesehatan.
Di Kendari, Sulawesi Tenggara, sejumlah mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO di sana, menggelar aksi solidaritas untuk Sondang dengan berjalan kaki menyusuri Jalan Ahmad Yani sejauh 3 kilometer menuju kantor DPRD Sultra, sambil membawa spanduk, bendera, dan poster berisikan tuntutan. Aksi yang berlangsung Selasa 13 Desember 2011 tersebut, mengusung desakan agar Presiden SBY turun dari jabatannya. Mereka juga menilai pemerintahan SBY-Boediono sebagai arogan.
Di Bali, sejumlah mahasiswa dan LSM di sana menggelar aksi keprihatinan dengan membagikan bunga mawar dan pita hitam sebagai tanda berkabung di depan kampus Universitas Udayana, Jalan Sudirman, Denpasar (Selasa, 13 Desember 2011). Menurut Widiantara (koordinator aksi), aksi bakar diri dipilih sebagai bentuk protes terhadap penguasa yang dianggap bebal tidak mau mendengarkan penderitaan rakyat.
Di Jakarta, pada Selasa 13 Desember 2011, puluhan mahasiswa dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi mengadakan aksi solidaritas terhadap Sondang, yang berlangsung sekitar pukul 15:30 wib di depan Istana Negara dengan menaburkan bunga di lokasi Sondang membakar dirinya.
Di Cianjur, Jawa Barat, Selasa 13 Desember 2011, sejumlah puluhan mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Suryakancana Cianjur, menggelar aksi solidaritas di Bundaran HI (Harimart Indah). Saat orasi, koordinator aksi bernama Agung mengatakan, “Aksi bakar diri Sondang merupakan bentuk keprihatinan atas bobroknya pemerintahan SBY.”
Tidak hanya mahasiswa yang menggelar aksi solidaritas Sondang, tetapi juga perkumpulan Marga Hutagalung di Medan menggelar aksi serupa di depan kantor DPD Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDI-P) Sumut, Jalan Hayam Wuruk Medan. Aksi yang berlangsung Selasa 13 Desember 2011, diisi dengan pembacaan puisi dan nyanyian untuk Sondang. Salah satu peserta aksi, Bukti Hutagalung mengatakan, aksi bakar diri yang dilakukan Sondang merupakan buntut kekecawannya terhadap pemerintah yang tidak pernah berpihak pada rakyat kecil.
Yang paling tragis, di Makassar aksi solidaritas untuk Sondang tidak sekedar orasi tetapi juga diisi dengan shalat ghaib di tengah Jalan AP Pettarani, dilanjutkan dengan membakar ban dan membawa replika manusia yang dimaksudkan sebagai sosok Sondang.
Aksi solidaritas yang berlangsung 14 Des 2011 ini diikuti puluhan mahasiswa. Mereka mengeluarkan pernyataan yang mendesak agar SBY-Boediono mundur dari jabatannya. Shalat ghaib untuk Sondang yang non Muslim jelas ngawur. Apalagi aksi bakar diri yang dilakukan Sondang bertentangan dengan ajaran Islam. Mahasiswa-mahasiswa itu jelas dua kali ngawur.
Meski tidak jelas, namun sejumlah tokoh –atau mereka yang ingin disebut tokoh dengan mendompleng aksi bakar diri Sondang ini, sudah begitu mengarah. Misalnya, sebagaimana diutarakan oleh Syarif Abdullah Alkadrie (Ketua PW Nas-Dem Kalbar). Ia mengatakan, aksi bakar diri Sondang bukan persoalan sepele, karena merupakan bentuk kekesalan terhadap rezim pemerintahan saat ini (Pontianak, 13 Desember 2011).
Sedangkan menurut Jeffrie Geovanie (Anggota Komisi I DPR RI), Sondang adalah pejuang. Aksi bakar dirinya merupakan simbol perjuangan bagi siapapun yang menginginkan perubahan. Meski tidak bermaksud menganjurkan, Jeffrie mengatakan, “… Ada atau tidak ada revolusi setelah kepergiannya, yang pasti Sondang telah memberi inspirasi bagi siapa pun, bahwa pada saat suara-suara kebenaran, kritik, protes, atau bahkan kecaman tidak didengarkan, maka hara-kiri bisa menjadi pilihan…” (Padang Ekspres, Selasa, 13 Desember 2011).
Politisi Partai Golkar Bambang Soesatyo mengatakan, aksi bakar diri Sondang merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam memberikan kesejahteraan, sehingga menghasilkan kekecewaan (frustasi) dan melahirkan aksi nekat. Bambang juga berharap pemerintah segera melakukan respon dan memberikan perbaikan-perbaikan, khususnya dalam bidang ekonomi dan hukum. (Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa 13 Desember 2011).
Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali mengatakan, aksi bakar diri Sondang telah menjadi tamparan keras bagi pribadi Presiden Susio Bambang Yudhoyono (SBY) maupun pemerintahannya serta penyelenggara negara. Sebab, aksi itu akan menjadi sejarah kelam yang tak bisa dilupakan rakyat. (Jakarta, 12 Desember 2011).
Sedangkan menurut Budiman Sujatmiko (anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), pemerintah harus bisa menangkap pesan yang disampaikan Sondang melalui aksi bakar dirinya, dan Sondang harus jadi yang pertama dan terakhir. “…Jangan ada lagi ‘Sondang-Sondang’ yang berikutnya…” (Jakarta, 12 Desember 2011).
Sementara itu menurut Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDIP), kematian Sondang Hutagalung merupakan tragedi yang harus diperingati sebagai tamparan keras atas kesalahan pengelolaan bangsa. Mega juga mengatakan, pesan Sondang melalui aksi bakar diri itu jelas merupakan kekecewaan terhadap perilaku elite pemerintah. (Bandung, 12 Desember 2011).
Muhammad Rodli Kaelani (Ketua Umum PANDU Indonesia) mengatakan, aksi bakar diri yang dilakukan Sondang merupakan bentuk ekspresi keprihatinan sosial atas kondisi kemiskinan dan ketidakadilan yang saat ini terjadi. Oleh karena itu, menurut Rodli, SBY harus melakukan tindakan yang lebih konkret dan efektif dalam melahirkan kebijakan dan menangani isu-isu kesejahteraan, ekonomi, korupsi, dan lain-lain. PANDU Indonesia yang merupakan sayap Partai Amanat Nasional (PAN) ini, turut prihatin dan berbela sungkawa atas meninggalnya Sondang melalui aksi bakar diri yang berlangsung pekan lalu. (Jakarta, 12 Desember 2011).
Dari sekian banyak komentar “sakit” yang “menilai positif” aksi bakar diri Sondang, alhamdulillah masih ada sedikit suara yang terdengar waras, sebagaimana diutarakan oleh Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin. Menurut politisi PPP ini, aksi bakar diri sebagaimana dilakukan Sondang, tidak pantas dilakukan. Apa pun motifnya, perbuatan itu justru merendahkan harkat dan martabat manusia. LHS juga berharap, agar motif aksi bakar diri yang dilakukan Sondang segera terungkap, dan kejadian yang sama tak terulang lagi di kemudian hari.
Dari kasus bakar diri yang dilakukan Sondang, kemudian menghasilkan sejumlah keberpihakan dari sejumlah kalangan, kita sebagai orang waras dapat menemukan fakta tentang betapa banyaknya pendukung Sondang, sesosok anak muda yang berpotensi dikategorikan sebagai pengidap gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder) ini. Boleh jadi ini merupakan sebuah gejala dari keadaan sakit (jiwa) yang diidap sebagian elite kita. Wallahu a’lam. [haji, tede/nahimunkar]