JAKARTA (VoA-Islam) - Kader NU yang masih lurus, pasti punya pandangan yang jernih, bahwa liberalisme tidak cocok untuk diterapkan oleh warga Nahdhiyyin. NU punya model dan pendekatan tersendiri, yakni Ahli Sunnah wal Jamaah (Aswaja).
Dikatakan Slamet Effendi Yusuf, seorang kader NU, ”Liberalisme adalah paham yang bermotif politik dan ekonomi. Sedangkan NU adalah organisasi keagamaan yang punya pendekatan Aswaja. Manhajul fikr (metode berfikirnya) NU adalah tasamuh, membangun pendapat yang tidak ekstrem. Liberalisme jelas tidak relevan dibicarakan di NU,” tukas Slamet.
Masih segar dalam ingatan, tatkala KH. Mas Subadar, kiai berpengaruh asal Pasuruan, Jawa Timur, melontarkan peringatan keras saat Muktamar NU di Boyolali, Desember 2004: "Bersihkan pengurus NU dari unsur Islam liberal." Sebelumnya, seruan yang sama juga terjadi saat Muktamar Pemikiran NU di Situbondo, Oktober 2003.
Komisi Bahts al-Masāil al-Maudhū’iyyah juga menolak metode hermeneutika yang dinilai sebagai agenda Islam liberal untuk menghancurkan Islam. Paham ini amat meresahkan para petinggi NU, sampai-sampai Ketua Umum PBNU KH.Hasyim Muzadi (ketika itu) pun harus turun tangan menertibkan.
“Saya minta nama NU tidak dibawa-bawa dalam gerakan pemikiran ini, karena bisa berakibat buruk bagi jam’iyyah NU yang komunitasnya sangat beragam”, kata Muzadi ketika memberi sambutan saat Muktamar Pemikiran Islam NU di Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah, Situbondo.
Muzadi kembali menegaskan dalam Laporan Pertanggungjawaban (LPJ)-nya pada Muktamar NU ke-31: ”Gerakan pemikiran anak-anak muda NU itu telah melabrak batas-batas doktrin Islam.” Beberapa kiai senior NU, bahkan mewanti-wanti agar orang-orang yang distigma sebagai ‘Islam liberal’ tidak masuk dalam kepengurusan NU.
Meski demikian, “Orang-orang liberal itu harus tetap dihargai sebagai warga NU. Tapi untuk dijadikan pengurus perlu pertimbangan,” kata KH. Ali Maschan Moesa, Ketua PWNU Jatim ketika itu.
Desakan agar NU dibersihkan dari virus liberalisme, dinilai Slamet Effendi Yusuf, seorang kader NU, sebagai berlebihan. Begitu pula, jika ada yang menginginkan NU harus mengembangkan paham liberalisme pun juga berlebih-lebihan. ”Tidak usah juga liberalisme menjadi hantu bagi orang NU. Tapi juga tidak perlu didesak-desakkan liberalisme berkembang di lingkungan NU. Untuk apa?” ungkap Slamet.
Slamet menilai, teman-teman muda NU yang terkagum-kagum dengan liberalisme, adalah anak muda yang sedang berproses mencari jatidiri. ”Mereka harus diajak dialog dan diarahkan agar tidak menyimpang dari manhaj NU. Saya yakin, suatu hari, anak muda yang pikirannya macam-macam, akan kembali pada pemikiran mainstrem di dalam Islam."
Sementara itu dikatakan Asrorun Ni’am, kader muda yang pernah aktif di IPNU, NU bukan disusupi. Pemikiran dari luar itu berkembang, bandulnya bisa ke kanan, bisa ke kiri. Tapi inti dari Ahli Sunnah wal Jamaah (Aswaja) -- sebuah pendekatan yang selama ini dimiliki NU -- adalah tidak ekstrim kanan dan tidak ekstrim kiri, tidak muktazilah juga tidak jabariyah. NU berdiri diantara liberalitas kaum muktazilah dan ekstrimitas kaum jabbariyah. NU tampil sebagai penyeimbang.
Gerakan liberal, lanjut Ni’am, tidak senafas dengan nilai-nilai keberagamaan NU yang rahmatan lil alamin. NU lebih mengedepankan al wasathoniyyah (modernisasi) dalam kehidupan bermasyarakat, membumikan nilai-nilai Islam yang bersifat universal secara hikmah. ”Orang yang terlalu liberal perlu direm untuk dikembalikan pada koridornya. Begitu juga, orang yang terlalu radikal perlu ditekan, agar tidak menjadi ekstrim.” Desastian