Gema azan kembali digugat. Azan yang berfungsi membangun shalat dituding pembuat gaduh, bising dan pengganggu. Wacana satu muazin untuk 30 masjid mengemuka. Keinginan kaum liberal dan Islamphobi?
Saat membuka Muktamar Dewan Masjid Indonesia (DMI) ke VI di Asrama Haji Pondok Gede, Wakil Presiden Boediono, Jumat (27/4) lalu, melontarkan pernyataan kontroversial. Dalam pidatonya, Boediono meminta agar DMI ikut mengatur suara adzan. Boediono ingin agar adzan terdengar secara sayup-sayup saja.
Wapres juga meminta DMI, agar masjid tidak jatuh pada orang-orang yang menyebarkan paham yang tidak Islami. "Seperti radikalisme, fanatisme sektarian, permusuhan terhadap agama dan kepercayaan orang lain, dan anjuran-anjuran provokatif yang bisa berujung kepada tindak kekerasan dan terorisme. Berikut kutipan dari rilis isi lengkap pidato Boediono yang ngawur itu.
“Kita semua berkepentingan agar masjid dijaga jangan sampai jatuh ke tangan mereka yang menyebarkan gagasan yang tidak Islami seperti radikalisme, fanatisme sektarian, permusuhan terhadap agama dan kepercayaan orang lain, dan anjuran-anjuran provokatif yang bisa berujung kepada tindak kekerasan dan terorisme. Islam adalah agama yang sangat toleran. Islam mengajarkan kepada kita bahwa jalan terbaik adalah jalan tengah.
Dewan Masjid Indonesia kiranya juga dapat mulai membahas, umpamanya, tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. Kita semua sangat memahami bahwa azan adalah panggilan suci bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban sholatnya. Namun demikian, apa yang saya rasakan barangkali juga dirasakan oleh orang lain, yaitu bahwa suara azan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari kita dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga kita.”
Adzan Digugat
Yang jelas, gugatan terhadap gema adzan bukanlah yang pertama. Harian The Jakarta Post pernah menggiring opini pembaca seputar azan di masjid-masjid dengan menggunakan pengeras suara (loud speaker). Dengan topic “Letter: Loudspeakers on Mosques”, pembaca diundang untuk meresponnya di kolom semacam surat pembaca.
Sebagai prolog, harian berbahasa Inggris itu mengusung wacana: pemerintah berencana mengatur azan di masjid dengan perbandingan satu muazin untuk 30 masjid. Muazinnya yang dipilih adalah yang memiliki suara indah dan enak didengar. Intinya, adanya penyeragaman azan. Konyolnya, suara azan tersebut diambil dari stasiun radio pemerintah. Itu sama saja, meniadakan peran muazin.
Wacana itu memunculkan pro-kontra. Namun yang dimunculkan adalah pendapat yang kontra. Diantara pembaca, ada yang berpendapat, akan ada perlawanan dari ratusan muazin yang tidak terpilih nantinya. Dan akan banyak muazin tidak lagi naik menara untuk menyerukan azan. Pendapat pembaca yang lain mengatakan, pada zaman nabi, azan tidak dikumandangkan dengan pengeras suara.Kenapa mereka tidak melakukan seperti zaman nabi dulu?
Pembaca dari Lampung menyatakan setuju, jika azan hanya dikumandangkan seorang muazin, tidak perlu setiap masjid mengumandangkan azan dengan pengeras suara. Sekarang ini banyak masjid yang berdekatan. Hanya dengan satu azan dari beberapa masjid, sebetulnya sudah cukup. Ironisnya lagi, ada pembaca yang mengatakan, azan di TV dan radio sebenarnya sudah cukup. ”Azan dari masjid sekitar bisa mengganggu,” katanya.
Sedangkan pendapat yang kontra juga dimunculkan. ”Saya tidak setuju. Suara muazin itu berbeda-beda, memiliki keunikan sendiri-sendiri. Itu akan hilang jika nanti diganti. Satu suara dari radio pemerintah akan seperti komunisme yang menyuarakan propaganda,” ungkap pembaca bernama Paolo L Scalpini dari Prancis.
Pendapat kontra lain mengatakan, dahulu memang tidak ada pengeras suara, tapi di abad modern ini, kita harus memanfaatkan teknologi sebagaimana orang-orang menggunakannya. Lagi pula hanya memilih satu muazin saja akan membuat orang melupakan nilai-nilai Islam.
Sebagai penutup, The Jakarta Post, memuat opini pembaca dari Jakarta dengan nada sinis. ”Jadi kenapa mereka menyerukan azan. Pada hakikatnya tidak ada gunanya juga seruan azan ini,” tukasnya.
Meniru Mesir
Wacana untuk melakukan penyeragaman azan, pernah digulirkan Pemerintah Mesir yang hendak menerapkan kebijakan baru aturan azan di Kota Kairo, pada tahun 2007. Dengan kebijakan baru ini, setiap waktu sholat tiba, suara adzan dipusatkan pada satu muazin saja yang disambungkan ke 4.000 pengeras suara yang ada di masjid-masjid besar di kota Kairo.
Kebijakan baru itu dibuat, karena kabarnya banyaknya keluhan terhadap suara adzan yang saling bersahut-sahutan dari berbagai masjid ketika waktu sholat tiba, dengan selisih waktu yang sedikit berbeda-beda, sehingga terdengar bising. Hal itu mendorong Menteri Wakaf Mesir Mahmud Zaqzuq menandatangi kontrak untuk menyediakan sekitar 4.000 pesawat penerima agar azan bisa dikumandangkan dalam waktu yang sama oleh masjid yang berbeda-beda.
Rencana untuk sentralisasi kumandang azan sebenarnya sudah dibicarakan sejak tahun 2004 lalu, tapi proyek sentralisasi itu mendapat perlawanan dari kalangan ulama, sehingga pelaksanaannya terhambat. Mereka yang menyampaikan keluhan, kebanyakan warga yang tinggal di dekat masjid. Sebuah komite kemudian dibentuk untuk mempelajari keluhan itu dan membuat proyek sentralisasi azan, termasuk studi mengenai aspek teknisnya.
Sebagai catatan, kementerian agama di Mesir saat ini bertanggung jawab atas sekitar 90 ribu masjid dan musholla-musholla yang tersebar di seluruh Mesir. Sekitar 4.000 masjid berada di wilayah Kairo Raya yang akan menjadi target pertama dari kebijakan ini. Rencananya, pemerintah Mesir akan mengumumkan muazin bersuara indah untuk dipilih saat mengumandangkan azan.
Dengan cara inilah, kaum liberal dan Islamphobi di Indonesia hendak meniru kebijakan pemerintah Mesir, perihal aturan azan. Atas dalih yang dibuat-buat, mereka menuduh, seruan azan dianggap pengganggu tidur, mengusik orang sakit, orang-orang jompo, balita, dan turis yang melancong.
Kebijakan itu, sebetulnya langkah awal untuk bertindak lebih jauh, yakni hendak melarang masjid-masjid mengumandangkan azan. Setidaknya, ada beberapa negara yang telah memberlakukan larangan azan karena alasan gangguan kenyamanan. Di selatan benua Afrika, misalnya. Mahkamah Agung Mauritius memerintahkan otoritas kota Quatre-Bornes agar melarang Masjid Hidayat Al-Islam menggunakan pengeras suara saat mengumandangkan azan. Larangan itu dikeluarkan (akhir Maret 2007), setelah salah seorang warga mengajukan gugatan hukum, karena merasa terganggu dengan suara muazin saat waktu shalat tiba. Yang menarik, protes atas larangan itu, bukan hanya dilakukan warga muslim, tapi juga non Muslim.
Di Azerbaijan, negeri yang mayoritas berpenduduk muslim, juga mengeluarkan larangan azan dengan pengeras suara (23/5/2007). Kemudian di Maroko, seorang menteri Partai Sosialis Progresif, Nouzha Skalli mengusulkan larangan azan Subuh dengan dalih agar tidak mengganggu turis.
Di Eropa, SVP -- parlemen Swiss (Partai Rakyat Swiss) bersama Partai Kristen ultra konservatif, sejak 2008, gencar mengkampanyekan anti-menara masjid. Itu artinya, sama sama saja melarang kumandang azan. Saat ini, ada sekitar 35.000 muslim di Swiss yang bertahun-tahun terus memperjuangkan agar agama Islam diakui sebagai agama resmi.
Zionis Israel juga memberlakukan aturan, tidak hanya larangan shalat di Masjid Al Aqsha bagi warga Al Quds dan muslim Arab yang berada di Palestina, melainkan juga melarang azan. Jauh sebelumnya, tahun 1930 dan 1940-an, Turki pernah menerapkan larangan azan dan mengganti seruan azan dari bahasa Arab kedalam bahasa Turki, bahkan mengubah masjid menjadi museum.
Di Indonesia sendiri, seperti di Kupang, masjid dilarang menggunakan pengeras suara untuk mengumandangkan azan. Sungguh memperihatinkan. Benarkah kumandang azan di masjid-masjid sebagai pengganggu? Ternyata tidak. Buktinya, Tatiana, Gadis Slowakia terbuka hatinya setelah mendengar suara azan saat ia berkunjung ke Kairo, Mesir (7 September 2008). Tatiana adalah salah satu umat Kristiani yang terpikat suara azan, lalu memutuskan untuk menjadi seorang muslimah.
“Ketika mendengar suara azan, jujur saja, saya merasakan getaran-getaran aneh dalam hati. Ketika itu saya seakan terhipnotis dan tak mendengar suara lain kecuali suara yang berkumandang melalui menara mesjid itu. Tak berapa lama saya pun bersyahadah,” akunya.
Aneh, jika azan dibilang pengganggu, dan membuat bising orang yang malas bangun pagi. Seharusnya umat Islam bangga, karena agama ini mengajarkan kedisiplinan. Wacana satu muazin untuk 30 masjid via stasiun radio pemerintah adalah mustahil dan terlampau mengada-ngada. Desastian