Bencinya Majalah Tempo pada Syariat Islam
Oleh: Ustadz Hartono Ahmad Jaiz
Ketidakrelaan Tempo itu tampaknya sejenis pula dengan ketidak relaan orang-orang yang disifati Allah Ta’ala ini:
120. Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS Al-Baqarah: 120).
Bila ketidak relaan itu bermuatan memusuhi Islam, maka jalurnya pun telah ditegaskan Allah Ta’ala:
82. Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. (QS Al-Maaidah/ 5: 82).
Bila tulisan itu dimaksudkan untuk menghujat syariat Islam, maka Allah telah menyifati:
32. Dan tidak ada yang mengingkari ayat- ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar. (QS Luqman/31: 32)
Dan Tiadalah yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang kafir. (QS Al-‘ankabut/ 29: 47).
Bila tulisan itu dimaksudkan merupakan kritik tajam bahwa syariat Islam diterapkan itu mencelakai, maka Allah Ta’ala telah berfirman:
2. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah;
3. Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah),
4. Yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (QS Thaha: 2-4).
Bila tulisan Tempo itu dimaksudkan bahwa syariat Islam itu tidak layak diterapkan dan seharusnya diganti yang lain, maka ancaman Allah ta’ala pun tegas:
115. Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu[348] dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS An-Nisaa’/ 4: 115).
[348] Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
Bila maksudnya untuk menyakitu Ummat islam, maka Allah ta’ala telah mengingatkan dengan member khabar:
186. Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan. (QS Ali Imran: 186).
Cukuplah jelaslah firman Allah Ta’ala itu bagi orang yang masih menggunakan pikirannya.
Inilah ulasan singkatnya.
Shahin dan vonis murtad atas Nashr Hamid Abu Zayd
Upaya Shahin untuk menegaskan murtadnya Nashr Hamid Abu Zayd hingga benar-benar Nashr yang menganggap al-Qur’an adalah munatj tsaqafi (produk budaya) divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir 1996 telah menjadi kenyataan sejarah. Nashr Hamid Abu Zayd kemudian justru lari ke Belanda dan diangkat sebagai guru besar Ulumul Qur’an (di antara muridnya ada yang dosen IAIN kini UIN Jogjakarta).
Abdus Shabur Shahin kini telah wafat pada hari Ahad (26/9 2010). Sedang Nashr Hamid Abu zayd pun telah mati, Senin pagi (5/ Juli 2010) di Cairo akibat terkena virus aneh, setelah pulang dari Indonesia karena ditolak kehadirannya di Indonesia oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) Riau, dan Jawa Timur.
Untuk melihat seberapa pergulatan awal dan formal antara Abdus Shabur Shahin dan tokoh sesat Nashr Hamid Abu zaid, berikut kami kutipkan tulisan Ustadz Hartono Ahmad Jaiz tahun 1993 sebagai berikut:
Ulama Mesir Tegar Menghadapi Kelompok Intelektual Sekular
Tegarnya ulama Mesir dalam menghadapi aneka usaha kelompok intelektual sekular pantas ditiru. Kasus terakhir, gagalnya ilmuwan sekular Dr Nashr Hamid Abu Zaid untuk meningkatkan statusnya menjadi profesor di Universitas Cairo adalah bukti ketegaran ulama Mesir dalam menghadapi sekularisasi.
Daud Rasyid MA, alumni Fakultas Darul Ulum jurusan Syari’ah Universitas Cairo, mengemukakan kasus ramainya masalah sekularisasi di Mesir itu kepada penulis, 18/8 1993.
Yang jadi pertanyaan, lanjut Daud Rasyid, kenapa hangatnya pempopuleran sekularisasi itu waktunya bersamaan antara di Mesir dan Indonesia. Sifatnya pun sama, sekularisasi itu didukung oleh media massa tertentu. Dan tokohnya saling kenal. Bahkan tokoh sekular Mesir, Hassan Hanafi, disebut-sebut oleh tokoh Indonesia seperti Nurcholis Madjid sering saling berjumpa dalam seminar di
Eropa, ungkap Daud. Penggerak sekularisasi itu adalah pengikut-pengikut Thaha Husein dan Ali Abdul Raziq yang dikucilkan oleh para ulama Mesir namun di Indonesia disanjung.
Pertanyaan kedua, lanjutnya, kenapa lontaran sekularisasi itu justru sengaja dilontarkan saat muslimin di berbagai tempat sedang dibantai oleh non Muslim seperti di Bosnia, Palestina, Somalia, Kashmir, dan Myanmar.
Kasus terakhir tersebut (gagalnya Dr Abu Zaid, asisten profesor pada jurusan Bahasa Arab, dalam meraih profesor), lanjut Daud Rasyid, justru diputar balikkan faktanya di Indonesia oleh majalah berita di Jakarta pekan lalu, dengan menyebut pemimpin pengujinya orang fundamentalis.
Kemudian 3 orang dari anggota itu ditugasi untuk meneliti karya ilmiyah anggota badan pengajar yang mengajukan diri untuk meningkatkan status.
Karya “ilmiyah” Dr Nashr Hamid Abu Zaid ini bukan saja tertolak dari segi ilmiyah, tetapi justru dari faktor aqidah pula. Panitia Ilmiyah Tetap Peningkatan Status di Universitas itu memutuskan gagalnya Dr Nashr Abu Zaid dalam meraih profesor setelah 3 anggotanya memeriksa karya ilmiyah Nashr. 3 pemeriksa itu: Dr Abdus Shobur Shahin profesor pada Fakultas Darul Ulum tempat Daud Rasyid belajar, Dr Mahmud Makki profesor pada Fakultas Adab, dan Dr Auni Abdur Rauf profesor pada Fakultas Bahasa-bahasa (Alsun). Laporan pemeriksa pertama menyatakan negatif, sementara laporan dua lainnya menganggap laik Dr Nashr. Lantas panitia mengesahkan laporan Dr Abdus Shobur Shahin yang menemukan hal-hal negatif dalam karya Abu Zaid itu, dan ditandatangani oleh profesor-profesor anggota lajnah: Syauqi Dhoif, Ahmad Haikal, Ramadhan Abut Tawwab, Nabilah Ibrahim, Mahmud Hijari, Abdus Salam Abdul Aziz, Auni Abdur Rauf, Mahmud Dzahni, Abdus Shobur Shahin; dan tak mau bertandatangan Dr Sayid Hamid Siyag. Kemudian Dewan Universitas (Majlis Al-Jami’ah) sepakat atas laporan Dr Abdus Shobur Shahin dan menolak peningkatan status Dr Nashr Hamid Abu Zaid.
Merendahkan Al-Quran
Dr Abu Zaid itu, menurut laporan Majalah Palestin Al-Muslimah Juli 1993, berpendapat bahwa al-Quran itu legende dan hasil budaya manusia, sedang Syafi’i adalah mulfiq muta’asshibpencampur aduk madzhab yang fanatis, serta sahabat bukanlah orang-orang pilihan.
Dr Abdus Shobur dalam laporannya menyebutkan, karya Dr Abu Zaid itu sangat merendahkan Al-Quran dan Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, menghina sahabat dan Imam Syafi’i rahimahullah, dan mengemukakan kesalahan- kesalahan besar tentang dzat Ketuhanan, serta pemikiran sekular dan marxisme berdasarkan teori meterialisme yang tertolak kebenarannya.
Majalah itu melaporkan, keputusan gagalnya dosen untuk meraih profesor seperti itu sudah biasa. Namun, dalam kasus Abu Zaid yang sekular itu, begitu Universitas memutuskan gagalnya sang tokoh, serentak sontak penulis-penulis sekular dan marxis ramai-ramai mengecam Dr Abdus Shobur Abu Shahin sebagai ekstrimis dan teroris pemikiran. sedang Universitasnya dianggap sebagaipembantai kebebasan mimbar ilmiyah dan pembersihan pemikiran. Kecaman-kecaman itu kemudian ditujukan kepada aliran Islam.
Kecaman dari golongan kiri dan sekular itulah yang disampaikan pula di Indonesia oleh sebuah majalah mingguan (maksudnya Majalah Tempo, red NM), ungkap Daud Rasyid. “Padahal seharusnya justru ketegasan para ulama Mesir dalam menolak usaha sekularisasi itulah yang perlu dihargai dan ditiru oleh ulama Indonesia,” keluh Daud Rasyid yang saat itu sedang menyiapkan buku ”Pembaruan” Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, menanggapi pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta, Rabu 18/8 1993M, 30 Shafar 1414H
(Dikutip dari buku Hartono Ahmad Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1994).