Jangan Batasi Badan Halal?
Oleh Lidus Yardi
Guru Pondok Pesantren KHA Dahlan Teluk Kuantan dan Sekretaris PD. Muhammadiyah Kuantan Singingi, Riau
VOA-ISLAM.COM - Langkah organisasi Islam Indonesia Nahdlatul Ulama (NU) yang meluncurkan badan sertifikasi halal sendiri -yaitu Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU)- telah memunculkan pro-kontra di tengah umat Islam. Padahal selama 24 tahun Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan LPPOM-nya berkerja untuk kepentingan sertifikasi halal telah dianggap berhasil dan efektif dalam memberi rasa aman terhadap produk yang akan dikonsumsi umat Islam Indonesia.
Di antara pendapat yang mendukung kebijakan Pengurus Besar NU tersebut disampaikan oleh Zaim Saidi, Direktur Wakala Induk Nusantara, sebagaimana dikutip koran Republika terbitan Rabu (20/2/2013) halaman 12 dengan judul berita Badan Halal tak Perlu Dibatasi. Tulisan ini dibuat untuk mengkritisi opini Zaim Saidi tersebut, yang penulis anggap cukup mewakili wacana badan sertifikasi halal tak perlu dibatasi.
Zaim berpendapat: Pertama, setiap orang atau lembaga berhak mengeluarkan label halal. Bahkan bukan sebatas Ormas Islam, penghulu kampung pun boleh mengeluarkan label halal. Kedua, pembatasan lembaga sertifikasi halal hanya akan menjadikan fatwa halal sebagai ladang bisnis. Ketiga, label halal kata Zaim, tidak dikenal dalam tradisi Islam tetapi mengekor tradisi Yahudi. Keempat, yang perlu dibentuk justru label haram karena lebih spesifik.
Menurut penulis, komentar Zaim ini berbahaya, curiga kepada ulama, dan menggunakan logika berfikir yang salah kaprah. Mengapa? Pertama, jika setiap orang atau lembaga bisa mengeluarkan sertifikasi halal justru sesungguhnya rentan membingungkan umat dan menimbulkan kekacauan. Karena tidak ada patokan label halal siapa yang harus dipegang. Padahal, setiap orang dan lembaga pasti memiliki motivasi dan kepentingan tertentu dalam pemberian sertifikasi.
Komentar Zaim menunjukkan sikap diri yang curiga dan tak menghargai ulama. Ini terlihat dari opininya, bahwa pembatasan pemberian sertifikasi halal menjadikan fatwa halal sebagai ladang bisnis. Bukankah selama ini fatwa halal terbatas kepada MUI? Kalau begitu, apakah MUI selama ini telah membisniskan fatwa? Zaim nampaknya pura-pura tidak memahami, bahwa tidak sembarangan orang atau lembaga bisa mengeluarkan fatwa.
Kedua, justru dengan tidak dibatasinya fatwa halal akan membuka lebar jurang bisnis. Maka tidak heran, seperti yang ditulis Republika, pelaku usaha merespon positif munculnya beragam lembaga sertifikasi halal. Logikanya sederhana, karena pengusaha dan pemilik suatu produk punya kepentingan dan pilihan untuk mendapatkan sertifikasi halal. Tidak dapat dari satu lembaga bisa lobi lembaga atau orang lain.
Ketiga, menganggap label halal tidak dikenal dalam tradisi Islam. Dalam benak Zaim nampaknya label halal itu sebatas kertas atau merk MUI yang ada tulisan “halal” berbahasa Arab yang selama ini kita lihat di kulit suatu produk. Padahal label halal bisa dimaknai suatu hukum Islam. Ia oleh MUI selama ini dikeluarkan dan diberikan kepada suatu produk karena memang dinilai halal oleh MUI melalui proses ijtihad yang berdasarkan pengamatan dan penelitian para pakar yang bekerja sama dengan MUI.
Maka pemberian label halal kepada suatu produk yang akan dikonsumsi umat Islam sangat Islami karena berdasarkan istinbat dalil-dalil yang relevan. Jadi, sertifikasi halal bukan mengekor tradisi Yahudi. Berlimpah ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam mengingatkan betapa pentingnya persoalan halal, haram, atau subhat mengenai makanan yang akan dikonsumsi umat Islam. Apakah ini (label) tradisi Yahudi?
Kalau kembali kepada nash agama dan mau berpikir jernih, maka Yahudi sesungguhnya yang tidak peduli dan tidak memiliki konsep halal dalam hidup mereka, sebagaimana digambarkan dalam Alquran. Allah ta’ala telah memberikan nikmat yang banyak kepada kaum Yahudi seperti makanan manis sebagai madu (manna) dan burung sebangsa puyuh, salwa (lihat QS Albaqarah: 57). Lalu apa balasan kaum Yahudi terhadap nikmat Allah ta’ala tersebut? Allah ta’ala berfirman: Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak memakan (makanan) haram (QS Al Maidah: 42).
Dalam ayat yang lain Allah ta’ala menggambarkan bagaimana watak kaum Yahudi dengan firman-Nya: Dan kamu akan melihat banyak di antara mereka (orang Yahudi) berlomba dalam berbuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram. Sungguh sangat buruk apa yang mereka perbuat (QS Al Maidah: 62). Perhatikan, Allah ta’ala mencela Yahudi dalam persoalan makanan sedangkan Zaim mengapresiasi dengan mengatakan label halal tradisi Yahudi.
Keempat, memberi label haram lebih baik dari pada label halal karena lebih spesifik. Demikian kata Zaim yang dikutip Republika. Maka, hanya pengusaha yang tak pandai berbisnis saja yang akan membuat suatu produk haram lalu dengan berani minta sertifikasi label haram kepada orang atau suatu lembaga di tengah masyarakat Indonesia—pengonsumsi--yang mayoritas Muslim ini. Tidak salah penulis katakan logika Zaim ini, siapa pun orangnya, salah kaprah, berbahaya, dan secara tidak langsung mencela ulama dan agama.
Oleh sebab itu, penulis menilai apa yang dilakukan oleh Pengurus Besar NU dengan meluncurkan Badan Halal NU (BH-NU) yang terpisah dengan MUI suatu langkah mundur yang patut dikaji ulang. Bukankah MUI selama ini merupakan representatif berbagai tokoh agama lintas organisasi dan lembaga Islam di Indonesia? Bukankah jargon bersatu dan berjamaah selama ini selalu didengungkan oleh NU, lalu mengapa kali ini NU justru bersikap egois dan memisahkan diri dari MUI? Wallahu a’lam. [Widad]