MafiaWar edisi 13 ini kembali mengulas konspirasi Cina Perantauan dan bahayanya bagi umat Islam Indonesia.
Konspirasi Mafia Cina ini sudah sejak 2011 silam menyiapkan nama Jokowi untuk menjadi calon presiden dan menjaga kepentingan mafia cina agar tetap lestari pasca turunnya SBY.
Grand design pengembangan skenario untuk menciptakan 'tokoh boneka' yang di gadang-gadang menjadi pemimpin, baik Gubernur ataupun Presiden via rekayasa opini publik yang di cetuskan aktivis-aktivis UGM (Universitas Gajah Mada)
Kemudian ide tersebut direalisasikan untuk merekayasa opini publik melalui media dan kemudian bergulir kencang dan di akomodasi oleh para pemilik modal.
Khusus untuk rekayasa Popularitas Jokowi, semula hanya melibatkan aktivis & pengusaha lokal Tionghoa : Imelda Tan (Paragon), Lukminto (Sritex) cs.
Baru setelah Jokowi menang untuk periode ke 2 sebagai Walikota Surakarta atau Solo, konglomerat Edward Suryajaya (ex Pemilik Group Astra, konglo terkaya RI) bergabung.
Awalnya, Skenario Rekayasa Opini Publik terhadap Jokowi ini hanya ditujukan untuk memenangkan Pilkada Jawa Tengah, kalahkan Bibit Waluyo, namun balik kanan bubar jalan dan putar haluan mengincar target baru, yaitu DKI Jakarta.
Perubahan target menjadi Cagub DKI dan terus jadi Presiden, dimulai saat Edward Suryajaya cs sukses konsolidasi kekuatan konglomerat tionghoa.
Konsolidasi konglomerat tionghoa itu tidak terlepas dari peran besar James Riady (pemilik Lippo grup) yg pada 2009 jadi tim koordinator dana SBY. James Riady berhasil himpun hampir semua konglomerat cina utk mendukung penuh Jokowi sebagai Gubernur DKI dan lanjut ke Presiden RI 2014.
Peran besar lain adalah dari Jenderal Luhut Panjaitan yang sukses konsolidasikan kekuatan konglomerat-konglomerat etnis tionghoa Ex buronan BLBI di Singapore yang berjumlah sekitar 20-an konglomerat. Kebanyakan dari mereka adalah buronan kasus korupsi BLBI yang merugikan negara kita Rp. 187 triliun (hutang pokok) plus Rp. 600 T (bunga) sampai 2032!
Kebanyakan dari mereka adalah buronan kasus korupsi BLBI yang merugikan negara kita Rp. 187 triliun (hutang pokok) plus Rp. 600 T (bunga) sampai 2032!
Mereka semua mendukung penuh Jokowi melalui media-media yang di bayar, uang, jaringan (china connection) dan turut berkampanye menangkan Jokowi.
Hasilnya tak mengherankan, laporan dari semua lembaga intelijen negara sama : konglomerat tionghoa (incl : Buronan BLBI) dan komunitas tionghoa solid mendukung ke Jokowi dan Presiden SBY pun sudah menerima laporan tersebut. Konfirmasi itu kami peroleh dari Jenderal purnawirawan yang menjadi pensihat presiden RI.
- Bahkan saking besarnya dana setiap hari pemberitaan tak lepas dari nama Jokowi, sudah kebelet betul agar Jokowi menjadi calon presiden dan bahkan membuat film berjudul namanya, 'Jokowi', yang dirilis pada 20 Juni 2013 lalu dan gagal di pasaran.
Sang produser KK Dheeraj sempat membuat promosi ‘konspiratif’ dan di setting berkesan Jokowi menolak filmnya ditayangkan, padahal ini cuma ‘gertak sambal’ supaya beliau ini tidak tercitrakan sebagai orang yang ‘haus publisitas’ dengan kecenderungan mau melambaikan tangan di 2014. Film ini telah menghabiskan 13 miliar rupiah.
Dari kompas.com pada 2 Mei 2013, Jokowi mengatakan, “Enggak tahu, saya belum bertemu sama yang buat. Di depan, saya ngomong kalau saya tidak mau. Saya mau ketemu, tapi enggak tahulah, wong belum mengerti. Saya ini bukan tokoh, tapi tikih kecil-kecilan.”
Pada awalnya Mafia cina ini tak cuma mengincar posisi Presiden RI dan Jokowi di usung, namun belakangan ketika Jokowi sudah di 'atas angin' mulailah ia juga memasarkan idelogis kapitalis-liberalis berbalut isu kerakyatan. Isu Kristenisasi massal tak urung ditanggalkan mereka dengan tokoh 'anjing galak' bernama Ahok alias Basuki Tjahaya Purnama untuk mengawal kristenisasi massal.
Awalnya angkat Jokowi, setelah itu angkat tokoh cina Ahok yang menjadi 'anjing galak' kristenisasi
Tokoh ulama Betawi KH. Fachrurozi Ishaq menilai kebijakan menempatkan lurah Kristen tersebut adalah agenda terselubung kristenisasi. Dengan memanfaatkan Jokowi dan Ahok yang memang di persiapkan untuk memimpin Indonesia pasca lengsernya SBY 2014 ini.
Sejak diangkat menjadi Lurah hasil lelang jabatan, 27 Juni 2013, penolakan warga Lenteng Agung terhadap Lurah Susan terus bergejolak dan perempuan itu tetap tidak diterima warga, antara lain karena perbedaan agama dengan warga yang dipimpinnya. Susan beragama Kristen, sedangkan warga Lenteng Agung yang berjumlah sekitar 50-an ribu mayoritas beragama Islam.
Menurut warga setempat, selama Susan menjabat sebagai Lurah Lenteng Agung, dampak negatifnya langsung terasa. Tergerusnya etika pergaulan sosial yang sudah membudaya di masyarakat Lenteng Agung. Ucapan salam diganti menjadi ‘selamat pagi’ atau ‘good morning’ bukan ucapan salam layaknya mayoritas warga Lenteng Agung.
"Saya sudah melihat dari awal ketika ada pelelangan lurah, bahwasanya Jokowi dan Ahok sudah menempatkan orang-orang non Islam di posisi penting tapi dengan cara lelang, padahal orang itu sudah disiapkan oleh dia, lelang itu strategi dia," ujar Kyai Ishaq saat konferensi pers Forum Umat Islam (FUI) mendukung warga Lenteng Agung yang menolak lurah Susan, Kamis (3/9/2013) di Jakarta.
"Sebentar lagi sekolah-sekolah, nanti kepala sekolah SD, SMP, SMA akan dipegang oleh orang-orang kristen," tambahnya.
"Kalo itu terjadi, saya akan berada di barisan paling depan untuk melawan itu semua," tegas ulama betawi ini.
Celoteh Ahok Kerap Meremehkan Islam & Namun Politisasi Agama Kristen
Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Jakarta, Hendardi, dalam tulisannya berjudul Demokrasi dan Politisasi Agama di Kompas (3/7/2009), menyatakan, politisasi agama tampak dalam seputar kesalehan personal kandidat, performa pakaian para istri kandidat, maupun pilihan agama dan orientasi keberagamaan seorang kandidat pesta demokrasi.
Politisasi agama, tulis Hendardi, bekerja dengan mengeksploitasi hal-hal yang merupakan identitas dan domain personal ke arena publik. Eksploitasi itu untuk dua kepentingan: menundukkan lawan atau untuk menghimpun dukungan baru.
Jika politisasi diperagakan untuk menundukkan lawan politik, bisa diduga pemicu politisasi dari seberang seorang kandidat. Sementara jika dimaksudkan untuk menghimpun dukungan baru dan memperluas konstituensi, politisasi agama sengaja didesain oleh diri sendiri.
Fenomena semacam itu, menurut Koordinator FSAI Yogyakarta Azis Anwar Fachrudin (Suara Karya, 05/07/2013), membawa sejumlah imbas negatif.
Pertama, fetisisme agama. Fetisisme adalah fenomena budaya populer. Ia menggunakan berbagai pesona dan daya pikat (charm) untuk memengaruhi bahkan mengendalikan orang-orang atau massa.
Kedua, dekonstruksi nilai kesucian dari simbol itu. Simbol yang menjadi tameng kesucian untuk mengiba rasa simpati justru membuat publik muak. Simbol yang suci itu bisa mengalami desakralisasi. Dekonstruksi nilai kesucian itu tak ubahnya sama dengan ketika simbol-simbol religi memasuki ruang komodifikasi agama, terutama saat bertepatan dengan momen-momen tertentu (Ramadhan, Idul Fitri, Natal, dan lain-lain).
Ketiga, banalitas agama. Politisasi simbol agama telah menciptakan suatu konsekuensi kultural. Yakni, terbaurnya ‘budaya luhur’ dengan ‘budaya rendah’. Akibatnya, agama menjadi sesuatu yang murah.
[Umar/voa-islam.com]