Sahabat Voa Islam,
Belakangan, sikap dua pemimpin ini bertolak belakang meski sama-sama sekutu dekat Amerika Serikat. Bedanya Presiden Afghanistan Hamid Karzai mulai membelot, satunya lagi Raja Arab Saudi tempat lahirnya Nabi Muhammad SAW ini terus menerus membela kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya Zionist Israel dengan menebar ancaman fatwa dan hukuman penjara 3 - 15 tahun bagi yang membela kehormatan saudaranya dengan jalan Jihad Fii Sabilillah.
Meski awalnya Hamid Karzai bisa menjadi Presiden Afghanistan selama dua periode, antara lain karena didompleng Amerika Serikat (AS) dan mulai jengah karena harga diri negara dan rakyatnya bagai budak telah mengusiknya. Sedangkan Raja Saudi malah menebar ancaman dan fatwa haramnya Jihad ke Mesir, Palestina, Suriah dan negeri muslim lainnya meski saudaranya mati dibantai AS dan tuannya Zionist Israel.
Berbeda dengan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi menyiapkan hukuman penjara 3 hingga 20 tahun bagi setiap warga negaranya yang terlibat dalam konflik di luar negeri. Demikian terungkap dalam sebuah dekrit kerajaan yang dikeluarkan pada Senin (3/2/2014) seperti dilaporkan Reuters, dekrit ini adalah sebuah langkah nyata untuk mencegah warga Arab Saudi bergabung dengan pemberontak di Suriah dan kemudian memunculkan risiko keamanan saat mereka kembali ke rumah.
Sebelumnya, otoritas agama Islam Arab Saudi telah mengeluarkan pernyataan menentang bergabungnya setiap warga Arab Saudi dengan militan Islam yang terlibat dalam perang sipil di Suriah. Namun, Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi memperkirakan, ada sekitar 1.200 waga negara mereka yang telah bergabung dalam perang Suriah.
Keputusan tersebut menggarisbawahi kekhawatiran tentang pemuda Arab Saudi yang terlibat dalam perlawanan menentang rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad. Hal ini sebelumnya juga pernah terjadi dalam perang Afghanistan dan Irak.
Mayor Jenderal Mansour Turki, juru bicara keamanan Arab Saudi, kepada Reuters mengatakan, bahwa 200-300 warga Arab Saudi telah kembali dari Suriah dan akan dimasukkan melalui program rehabilitasi kerajaan.
Beda Arab Saudi, Beda Afghanistan Meski Sama-Sama Budak AS
Sebelum menjadi orang nomor satu di Afghanistan, Hamid Karzai hanyalah seorang pelarian politik Afghanistan di India. Tapi berkat sokongan Washington, ia kembali ke negaranya, karir politiknya pun meroket.
Mula-mula sebagai Kepala Pemerintahan Transisi (2001) sampai akhirnya menang berturut-turut dalam dua kali Pemilu Presiden. Tidak heran jika Karzai disebut sebagai anak emas, salah satu antek atau boneka AS.
Di mata sejumlah negara, Karzai merupakan pemimpin negara Islam yang memperoleh perlakuan serba istimewa. Bukan hanya karir politiknya yang ditunjang, tapi manajemen pemerintahan Afghanistan, juga ikut dibantu AS, berikut dana biaya hidup.
Kedubes AS di Kabul, ibukota Afghanistan antara lain letaknya tidak jauh dari kantor Presiden Hamid Karzai.
Tak pernah ada yang membayangkan, kalau kelak Hamid Karzai membelakangi AS. Sebab selain gaya hidupnya yang kebarat-baratan, hampir semua keluarga dekatnya menetap di AS. Dan di negeri Paman Sam itu, keluarganya mengelola sebuah jaringan bisnis restoran yang tergolong sukses.
Tetapi pekan ini Karzai membalikkan semua label yang berkaitan kedekatannya dengan AS. Karzai memusuhi Washington. Menjelang masa jabatan kepresidenannya berakhir pada 5 April 2014, Karzai melakukan pembangkangan kepada Washington. Terutama yang menyangkut kebijakan pemberantasan terorisme dan tahanan politik.
Ia melepas 65 tahanan politik Afghanistan yang dipenjara AS. Para tahanan yang selama ini dipenjara di Pangkalan Militer AS, Bagram, Afghanistan, di mata Washington merupakan anggota jaringan teroris Al-Qaeda.
Memang sebelum melepas, Karzai sudah memberi tahu AS. Setuju atau tidak, para tahanan politik tetap dibebaskannya. Tapi sekalipun AS meminta Karzai untuk tidak melakukannya, Presiden yang dijuluki desainer Perancis sebagai seorang modis yang selalu berpakaian rapih, tetap meneruskan keputusannya.
AS menyebut pelepasan itu sebagai "sesuatu yang sangat disesalkan dan tidak dapat diterima". Sebuah pernyataan diplomatik yang mengekspresikan kemarahan. Sebaliknya menurut Karzai sebagai Presiden dia bertanggung jawab atas segala keselamatan dan nasib setiap warga Afghanistan
Karzai menolak pandangan AS jika para tahanan di pangkalan militer Bagram semuanya disebut sebagai teroris. "Ada memang yang beraliran keras. Tetapi kalau disebut teroris, itu tidak benar. Selebihnya pelaku tindak kriminal", kata Karzai kepada koresponden BBC TV di Kabul, Yalda Hakim.
Menurut Karzai, sebelum pembebasan dia berdiskusi dengan sejumlah tokoh Afghanistan, terutama para ahli hukum. Kesimpulan mereka, para tahanan politik itu tidak bisa disebut sebagai teroris.
Pasalnya, mereka sudah ditahan bertahun-tahun, tapi belum pernah diadili. "Bagaimana anda bisa menyebut seseorang sebagai teroris, kalau tidak ada pengadilan untuk membuktikan tuduhan?" Hamid Karzai beragumen.
Sikap Karzai yang membangkang kepada AS ini, selain dinilai oleh sejumlah pengamat sebagai sebuah ungkapan seorang nasionalis Afghanistan, juga disebut sebagai kebijakan untuk mempermalukan AS. Sebab selama ini AS merasa sudah 'menguasai' Afghanistan dan Kabul tak pernah melakukan perlawanan.
Pada saat yang hampir bersamaan, Senat AS memotong dana bantuan Washington pada "Proyek Afghanistan". Totalnya tidak tanggung-tanggung, mencapai US$1,1 miliar.
Dengan pemotongan dana secara drastis, tanpa pra kondisi kepada Afghanistan, kebijakan AS dianggap oleh Afghanistan sebagai tindakan yang semena-mena.
Sebagai negara miskin, siapapun yang memimpin Afghanistan, tak bisa mandiri. Selain butuh dukungan politik dari negara-negara lain-Barat terutama, Afghanistan juga butuh uang.
Nah kalau AS bisa semena-mena memotong anggaran padahal selama bertahun-tahun, hal serupa tidak pernah terjadi, lalu mengapa Afghanistan tidak bisa melakukan hal serupa terhadap AS dan secara tiba-tiba?
Sementara kebijakan AS untuk terus hadir di Afghanistan, sejatinya tidak diterima secara utuh oleh rakyat di Asia Tengah itu. Yang menerima hanya terbatas pada lingkaran elit di antaranya Hamid Karzai.
Elit Afghanistan bersedia menerima AS karena janji. Tapi janji AS menjadikan Afghanistan sebagai negara yang lebih baik dibanding kalau berada di tangan Uni Sovyet (kini Rusia), tidak terbukti. Akhirnya elit Afghanistan seperti Hamid Karzai pun kecewa. Muncul perasaan, sebagai pecundang. Harga diri sebagai sebuah bangsa, disakiti oleh bangsa asing.
Ternyata ketika yang berbicara bukan lagi mulut tetapi harga diri, maka duit atau dana sebanyak apapun bukan lagi segala-galanya. Keputusan Karzai melepas tahanan politik, merupakan refleksi kekecewaan dan bagian dari wujud kebangkitan nasionalisme Afghanistan. Sebab sebelumnya Karzai sudah merasa tersinggung.
Pada November 2013, Karzai secara terbuka mengatakan pada satu perkumpulan etnis Pashtun. Kelompok mayoritas dan berpengaruh di Afghanistan. "Saya tidak percaya pada Amerika dan Amerika tidak percaya kepada saya". Menurutnya AS lebih banyak berjanji.
Karzai membuat evaluasi. Selama 12 tahun AS hadir di Afghanistan, tak ada kemajuan yang berarti dalam kehidupan di negerinya. Tapi selama ini Karzai diam. Alasannya semata-mata untuk menjaga stabilitas politik dan etika diplomasi.
Di Afghanistan terdapat 15 ribu pasukan asing yang sebagian besar dari jumlah itu merupakan pasukan AS. Kehadiran pasukan asing ini tidak membuat Afghanistan menjadi sebuah negara aman apalagi damai. Karena pasukan asing juga sering dimusuhi warga setempat.
Kehadiran pasukan asing juga tidak menurunkan serangan-serangan bom bunuh diri. Soalnya bom bunuh diri justru sebagai protes atas berlarutnya kehadiran pasukan internasional yang dipimpin AS. Kehadiran pasukan AS dan kawan-kawan bermula dari alasan perburuan Osama bin Laden oleh Presiden George Bush jr.
Berawal dari peristiwa peledakan menara WTC New York, 11 September 2001. Bush menuduh pelaku peledakan, jaringan Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Tokoh pendiri Al-Qaeda asal Arab Saudi ini diyakini bersembunyi di Afghanistan bersama kelompok Taliban. Atas dasar itu AS mengirim pasukan pemburunya ke negara tetangga Pakistan itu.
Perburuan Osama bin Laden, sudah berhasil. Pasukan elit AS 2012 membunuh Osama yang bersembunyi di Pakistan. Kendati Osama sudah terbunuh, AS masih terus menangkap dan memenjarakan warga Afghanistan yang dituduh teroris atau pengikut Al-Qaeda.
Afghanistan tetap sebuah negara berlabel sarang teroris terbesar di dunia. Inilah salah satu kekecewaan bangsa Afghanistan. termasuk Karzai tentunya. Jumlah tahanan dari waktu ke waktu terus bertambah. Lalu apa artinya keberhasilan AS memburu Osama bin Laden?
Guyuran milyaran dolar ke Afghanistan, juga tidak berhasil mengubah Afghanistan dari status sebagai negara gagal (a failed state). Lalu untuk apa harus patuh pada Washington ?
Yang juga terjadi, Bagram sendiri merupakan penjara terburuk bagi tapol Afghanistan. Jauh lebih buruk dari penjara Guantanamao, Kuba, yang juga dikontrol AS. Lalu mengapa ada perlakuan berbeda?
Nah menarik ditunggu, apa reaksi berikutnya AS. Demikian pula bagaimana nasib Karzai setelah tak lagi menjadi Presiden Afghanistan - bekas boneka yang telah mempermalukan Washington, majikannya.
Sikap Raja Saudi Bagai Munafik & Takut Pada Jihad Suriah
Salim Al-Amri menulis, bahwa Raja Abdullah dari Arab Saudi telah memerintahkan pembentukan sebuah komite untuk menyiapkan daftar warga negara Saudi yang berjuang di luar negeri atau mendukung kelompok ‘ekstrimis’, baik secara finansial maupun secara moral.
Kebijakan yang diumumkan pada Senin, (3/02) itu termasuk pada mereka yang mendukung organisasi terlarang, dari mulai kelompok Ikhwanul Muslimin hingga Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS), yang cukup menonjol dalam pertempuran di Irak dan Suriah.
Seperti dilansir dari laman EA WorldView, bagi mereka yang terbukti bersalah bisa dihukum 3 sampai 20 tahun penjara.
Perintah Raja Abdullah ini dikeluarkan setelah gencarnya publisitas oleh media pro-pemerintah selama beberapa pekan tentang warga Saudi yang berjuang di luar negeri. Perdebatan semakin meningkat setelah presenter MBC, TV pro-pemerintah, menyebutkan nama dan mencela ulama yang mendorong pemuda Saudi untuk pergi berjihad ke Suriah.
Syaikh Salman Al-Audah, salah seorang ulama yang memiliki 4,3 juta pengikut di Twitter membantah telah berpartisipasi dalam hasutan apapun dan menantang presenter MBC untuk membuktikan tuduhan tersebut.
MBC TV juga mempertanyakan kegiatan salah seorang ulama Suriah di Saudi, Syaikh Adnan al-Ar’ur. Ulama salafi yang berasal dari Hama, Suriah dan kerap muncul dalam saluran anti-Syiah. Beliau sudah menonjol dalam debat televisi antara Sunni dan Syiah sebelum dimulainya pemberontakan Suriah pada Maret 2011.
Al-Ar’ur menjawab bahwa ia tidak pernah meminta warga Saudi untuk berperang di Suriah, namun ia menyerukan orang-orang untuk menyumbangkan hartanya dan mendoakan kemenangan bagi revolusi.
Setelah siaran tanggal 19 Januari, banyak komentator melihat hal itu sebagai awal dari kampanye rezim Saudi melawan ulama yang tidak mau mengikuti posisi pemerintah terhadap isu-isu lokal dan regional. Mereka mencatat MBC Group dimiliki oleh Waleed Al Ibrahim, saudara ipar almarhum Raja Fahd.
Kekhawatiran Saudi
Kontroversi semakin menyeruak saat membahas bantuan miliaran dolar yang diberikan oleh rezim Saudi untuk militer di Mesir setelah Kudeta Juli 2013, dan simpati dari beberapa ulama untuk ISIS di Irak dan Suriah .
Dalam episode lain pekan berikutnya, presenter MBC TV mengundang tiga ulama yang menentang partisipasi pemuda Saudi dalam konflik Suriah. Kementerian Urusan Islam Saudi kemudian mengirim memoradum kepada para imam-imam masjid di Saudi yang memerintahkan mereka untuk tidak berbicara tentang jihad dalam Khutbah Jum’at. Para ulama resmi di lembaga-lembaga seperti Dewan Ulama Senior Saudi telah menerbitkan fatwa yang melarang warga Saudi berjihad di Suriah.
Perintah Raja Abdullah dan kampanye resmi rezim Saudi tampaknya memiliki tujuan ganda. Bagi rezim, mereka berusaha untuk mengekang ancaman ISIS, tidak hanya sebagai kekuatan militer tetapi sebagai pemimpin takut adanya klaim dari Negara Islam saingan.
Bagi Raja Abdullah, rasa takut hilangnya keutamaan di dunia Islam Sunni juga menjadi alasan di balik dukungan rezim Saudi pada Jenderal Abdel Fatteh al-Sisi sebagai pemimpin de facto paska kudeta di Mesir.
Lebih dekat ke tanah air, rezim sekarang melihat “keamanan nasional” dalam konteks warga Saudi yang mungkin kembali dari konflik Suriah akan menantang sistem, sebagaimana beberapa pemberontakan yang berbuah menjadi perang sipil, seperti di Afghanistan dan Irak.
Indonesia mengikuti kemunafikan Arab Saudi atau membela harga diri meskipun miskin layaknya Presiden Afghanistan? Anda tentu bisa menilainya bukan?
[rojul/Salim Al-Amri/Fajar Shadiq/kiblat.net/inilah]