“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
Demikianlah ucapan sumpah jabatan presiden yang tertuang di dalam pasal 9 Undang-Undang Dasar 1945.
Setiap presiden Republik Indonesia sebelum menjalankan tugas dan kewajibannya harus diangkat sumpahnya di hadapan rakyat atau para wakil rakyat. Hal terpenting adalah seorang presiden secara sadar mengucapkan sumpah tersebut disaksikan oleh Allah Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. Selama lima tahun sejak sumpah itu diikrarkan, sang presiden terikat dengan apa yang menjadi sumpahnya atas nama Allah. Sumpah jabatan bukanlah perkara yang ringan bagi manusia. Ikrar yang terkandung di dalamnya merupakan penyataan kesediaan dengan sungguh-sungguh di hadapan Tuhan untuk siap memikul beban amanah yang sangat berat. Sangat ironis bila langkah awal dari sebuah amanah yang berat justeru dirayakan dengan pesta pora dan arak-arakan padahal belum satupun amanah yang berhasil dia tunaikan.
Adapun Inti-inti yang terkandung dalam sumpah seorang presiden itu adalah:
1. Ketaatan kepada Allah
Ikrar ‘Demi Allah’ menjadi ucapan dengan kaidah tertinggi dan paling sakral dalam sumpah di atas bila diucapkan oleh seseorang yang berqidah Islam. Ikrar ini berkonsekuensi ketaatan yang utuh kepada Allah karena yang mengucapkan sumpah telah secara sadar melibatkan Allah dalam sumpahnya. Segala ucapan, sikap dan tindakan seseorang yang telah bersumpah atas nama Allah tidak boleh melakukan hal yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah. Ikrar ini juga menuntut penghambaan seorang pemimpin kepada yang Yang Maha Kuasa. Presiden tidak boleh mengabaikan hukum dan peraturan yang telah digariskan oleh Tuhan. Sacara moralpun seorang presiden tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan tercela yang bertentangan dengan aturan Allah seperti sombong, berdusta, meninggalkan kewajiban beribadah dan perbuatan tercela lainnya.
2. Menjalankan kewajiban dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.
Ketika seseorang menjadi pemimpin suatu kaum maka dia bukan lagi milik golongan tertentu, partai tertentu, masyarakat tertentu atau agama tertentu. Seorang pemimpin wajib memperlakukan setiap kelompok secara adil. Sikap ini menjadi bagian dari ciri kenegarawanan dari seorang presiden.
3. Memegang teguh Undang-Undang Dasar 1945
Undang-undang Dasar adalah konsensus kebangsaan dan kenegaraan kita. Undang-undang di Negara kita merupakan konsensus yang melibatkan komponen-komponen bangsa. Konsep bernegara yang didasarkan pada konsensus tersebut adalah konsep yang cocok bagi Negara yang sangat mejemuk ini. Dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraannya maka seorang presiden harus berjalan di atas pijakan undang-undang dasar 1945. Itulah prinsip yang harus dipegang teguh oleh seorang presiden.
4. Menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.
Presiden harus mejadi contoh teladan dalam penegakan hukum. Instrumen hukum yang digunakan dalam sistem kenegaraan kita adalah Undang-undang dan peraturan. Negara dalam menjalankan hukum harus memandang sama setiap warga negara. Presiden sebagai seorang kepala negarapun tidak boleh menyimpang dari undang-undang dan peraturan negara tersebut. Bila seoarang presiden menyimpang atau melanggar undang-undang maka harus diperlakukan sama seperti warga negara lainnya tanpa perlakuan istimewa. Bahkan bila seorang pejabat Negara melakukan pelanggran hukum sepatutnyalah mereka dihukum lebih berat dibanding dengan rakyat biasa.
5. Berbakti kepada nusa dan bangsa
Seorang presiden berkewajiban menghormati, setia dan siap berkorban bagi tanah air dan bagi segenap warga bangsa yang menjadi tanggungjawabnya. Bakti seorang presidan bagi tanah airnya mencakup seluruh wilayah teritorial yang dibatasi oleh batas-batas Negara Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Pulau Rote. Bakti seorang presiden juga melingkupi seluruh warga bangsa dari berbagai suku, agama, ras dan golongan yang berada di wilayah negara maupun di luar negeri. Seorang presiden harus menjaga keutuhan wilayah negaranya dan menjamin kedaulatan warga negaranya dimanapun.
Bila seorang presiden melakukan pelanggaran sumpahnya apalagi sebagai muslim dia mengucapkannya atas nama Allah, maka dia harus menyadari konsekwensi dari pengkhianatan atas sumpahnya tersebut.
Konsekuensi yang timbul dari pelanggaran sumpah itu adalah:
1. Konsekuensi ideologis
Sebagai seorang yang beraqidah Islam maka seorang presiden harus memiliki kesadaran iman dan moral yang tinggi bahwa sumpah yang diucapkannya bersifat sakral berdasarkan keyakinan ideologis yang dianutnya. Menjaga dan menjalankan sumpah adalah kewajiban mutlak yang harus ditunaikan. Sumpah tidak boleh dijadikan sebagai alat penipu demi kepentingan-kepentingan duniawi. Jalan agama akan kehilangan kewibawaan dan sekralitasnya dalam pandangan manusia bila sumpah-sumpah telah didustakan, inilah akibat terburuk dari pelanggaran sumpah. Pelanggaran sumpah akan membuat manusia begitu dekat dengan bencana dan azab Allah. Akibat dari pelanggaran sumpah tertera dengan jelas dalam firman Allah pada surat an-Nahl ayat 94:
وَلَا تَتَّخِذُوا أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ فَتَزِلَّ قَدَمٌ بَعْدَ ثُبُوتِهَا وَتَذُوقُوا السُّوءَ بِمَا صَدَدْتُمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar.
Kemelaratan di dunia dan azab yang besar di akhirat adalah dua ganjaran yang pasti diterima oleh setiap pengkhianat sumpah. Kemelaratan di dunia bisa berbentuk penderitaan berupa kesibukan yang melelahkan, hilangnya keberkahan hidup, kesempitan rezeki, kesia-siaan waktu, hancurnya reputasi, kehinaan dalam kehidupan bahkan sampai pada penderitaan fisik dan lain sebagainya. Betapa melaratnya kehidupan seseorang bila jiwanya didera oleh kesempitan dan perasaan hina meskipun diliputi oleh kelimpahan harta benda dunia dan kekuasaan.
2. Konsekuensi hukum
Presiden bukanlah orang yang kebal terhadap hukum. Hukum akan bereaksi terhadap apapun bentuk penyimpangan dan pelanggaran. Pelanggaran sumpah adalah sebuah bentuk penyimpangan yang serius dari seorang presiden. Presiden yang juga sebagai warga negara harus tunduk dihadapan hukum apabila melakukan pelanggaran sumpah jabatannya karena prinsip penegakan hukum kita berdiri di atas nilai-nilai equality of the law (Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945).Presiden tidak boleh menggunakan pengaruh kekuasaannya untuk melakukan intervensi dan manipulasi terhadap hukum karena tindakan demikian merupakan bentuk otoritarianisme kekuasaan.
3. Konsekuensi politik
Bila pisau hukum tak mempan untuk menindak seorang presiden yang melanggar sumpah karena kekuasannya yang sangat kuat maka konsekwensi politik atas tindakannnya akan sangat fatal. Otoritarianisme kekuasaan akan menimbulkan kegaduhan politik yang multi efek hingga dapat menimbulkan aksi-aksi massa yang besar. Dampaknya bisa mengarah pada instabilitas akibat kerusuhan sosial dan krisis ekonomi. Kekuasaan politik seorang presiden akan sangat menentukan nasib pemerintahannya. Legitimasi politik itu ditentukan oleh seberapa besar pengaruh seorang presiden di lembaga parlemen. Pelanggaran sumpah oleh seorang presiden akan mempengaruhi dinamika politik di lembaga parlemen yang memiliki kewenangan melakukan impeachment (pasal 7a perubahan ketiga UUD 1945). Seorang presiden bisa kehilangan legitimasi politik yang bisa berujung pada pemakzulan bila ternyata melanggar sumpah atau melakukan suatu perbuatan tercela.
Betapapun hebatnya kekuasaan seorang presiden, dia hanyalah seorang manusia biasa yang juga mempunyai keterbatasan dan kelemahan. Oleh karena itu mari kita doakan semoga sang presiden dapat mengemban amanahnya dengan baik dan mari kita kawal bersama agar beliau dapat bekerja dengan jujur dan sungguh-sungguh tanpa pengkhianatan terhadap sumpah yang telah diikrarkannya agar negeri ini terhindar dari musibah dan azab Allah.
Penulis: Nanang Masaudi