Penulis : Nuim Hidayat
Meski Kartini bukan tokoh ideal untuk dijadikan pahlawan wanita Indonesia, tapi banyak hikmah yang bisa diambil ketika Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Pertama, Kartini ikhlas dipoligami Bupati Jepara. Jadi Kartini bukan hanya setuju dipoligami tapi ia mempraktekkan dirinya ikhlas dipoligami.
Pendapat ini menepis banyak pendapat aktivis-aktivis wanita Islam yang sering menyatakan ‘Saya setuju poligami asal bukan saya’. Pendapat ini bertentangan dengan sikap para sahabat wanita Rasulullah SAW.
Lihatlah Aisyah ra yang dirinya ikhlas ketika Rasululullah menikahi wanita selainnya. Kedua, Kartini di masa akhir hidupnya mendapat hadiah Al Quran terjemah dari Kiyai Soleh Darat, ulama ahli tafsir yang terkenal di Jawa.
Kartini juga ‘sempat mengaji’ Al Quran pada kiyai yang hebat ini. Ketiga, meski baru dalam cita-cita, Kartini mempunyai harapan yang tinggi agar wanita Indonesia berpendidikan. Tidak tinggal di rumah saja mengurusi dapur.
Karena dengan pendidikan yang tinggi wanita akan bisa mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya. Dan siapa lagi yang mendidik anak-anak kalau bukan ibunya? Bagaimanapun suami membantu mendidik anak, istri tetap memegang peran penting.
Karena dialah yang mengandung, menyusui dan merawatnya sejak kecil. Maka kalau istri-istri adalah orang yang cerdik cendekia akan lahir pula anak-anak yang cerdik cendekia. Insya Allah. [sharia]