JAKARTA (voa-islam.com)- Perang Asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara non militer, tetapi memiliki daya hancur tidak kalah hebat bahkan dampaknya lebih dahsyat dari perang militer. Sasaran Perang Asimetris ini ada tiga :
1. Membelokkan sistem sebuah negara sesuai arah kepentingan kolonialisme/kapitalisme. 2. Melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat. 3. Menghancurkan food security (ketahanan pangan) dan energy security (jaminan pasokan dan ketahanan energi) sebuah bangsa, selanjutnya menciptakan ketergantungan negara target terhadap negara lain dalam hal "food and energy security”.
Bentuk "Perang Asimetris" diantaranya melalui "mengubah kebijakan negara sasaran" dengan ciri non kekerasan. Pertanyaannya kini, “Bagaimana modus Perang Asimetris yang sering dilakukan oleh Cina?”
Sejak reformasinya, Cina mengalami masa transformasi dan konvergensi ke arah kapitalisme yang melahirkan One Country and Two System, yakni sistem negara dengan elaborasi ideologi sosialis/kamunis dan kapitalis.
Dengan kata lain, model perekonomian boleh saja bebas sebagaimana kapitalisme berpola mengurai pasar, namun secara politis tetap dalam kontrol negara cq Partai Komunis Cina.
Artinya, para pengusaha boleh di depan membuka ladang-ladang usaha di luar negeri, tetapi ada back up militer (negara) di belakangnya. Itulah titik poin konsepsi One Country and Two System yang kini tengah dijalankan oleh Cina di berbagai belahan dunia.
Ciri lain Cina dalam menerapkan reformasi politiknya, jika kedalam gunakan 'pendekatan naga’ terhadap rakyatnya, sangat keras, tegas, bahkan tanpa kompromi demi stabilitas di internal negeri. Sebaliknya ketika Cina melangkahkan kaki keluar, tata cara diubah menerapkan ‘pendekatan panda’ (simpatik), dalam bentuk.
Menebar investasi atau “bantuan dan hibah” dalam ujud pembangunan gedung-gedung, infrastruktur dan lainnya, sudah barang tentu dengan persyaratan “tersirat” nya yang mengikat. Pendekatan panda merupakan ruh atau jiwa pada model "perang asimetris" yang sering dikerjakan oleh Cina.
Turnkey Project Management, adalah sebuah model "investasi asing" yang ditawarkan dan disyaratkan oleh Cina kepada negara peminta dengan “sistem satu paket,” artinya: Mulai dari top management, pendanaan, materiil dan mesin, tenaga ahli, bahkan metode dan tenaga (kuli) kasarnya di dropping dari Cina.
Modus Turnkey Project ini relatif sukses dijalankan di Afrika sehingga warganya migrasi besar-besaran bahkan tak sedikit yang menikah dengan penduduk lokal. Mereka menganggap Afrika kini sebagai tanah airnya kedua.
Beberapa investasi Cina di Indonesia, sebenarnya telah menerapkan modus ini. Memang bukan barang baru, karena sejak dulu sudah berjalan antara lain:
1. Sinar Mas (Indah Kiat) ketika membangun pabrik pulp dan paper.
2. Pembangunan pembangkit tenaga listrik di Purwakarta, hampir semua tenaga kerja mulai dari direksi hingga kuli bangunan didatangkan dari negeri Cina.
3. Pembangunan Lippo Karawachi dekade 1990-an dikerjakan oleh para pekerja Cina, termasuk di Muara Jawa, Kutai Kertanegara, dan lainnya.
Demikian juga yang akan terjadi di Medan, Cina membawa sekitar 50.000 orang tenaga kerjanya dari Cina.
Bila investasinya di Medan saja mendatangkan sekitar 50.000-an orang, lalu berapa warga lagi bakal migrasi melalui investasi Cina pada 24 pelabuhan laut, 14 pelabuhan udara dan sekitar 8000-an KM jalur Kereta Api di Indonesia, selain rencana mempererat hubungan bilateral Cina - Indonesia menargetkan pertukaran sepuluh juta warganya dalam berbagai bidang pada dekade 2020 an nanti?
Rencana tersebut tentu berpeluang menimbulkan persaingan budaya antara warga Cina dengan pribumi. Bisa terjadi pertarungan untuk mempertahankan siapa lebih dominan, mengingat jumlah 10 juta jiwa itu bukan sedikit.
Bila dikaitkan dengan pemahaman "Perang Asimetris" dan kebijakan "One County and Two System" nya, maka "Turnkey Projek Manajement", pada hakekatnya merupakan "Perang Asimetris" sebagai strategi Cina untuk menguasai Indonesia secara non militer.
Secara perlahan memasukkan warganya ke Indonesia, kemudian mendesak keluar warga pribumi Indonesia pada peran di sektor-sektor strategis di Indonesia diganti warga Cina, hingga akhirnya, pemilik Indonesia bukanlah orang-orang keturunan nusantara, tetapi orang-orang Cina.
Pertanyaan sederhana: Apakah Jokowi dan Pemerintah tidak mengetahui Skenario ini sebagai Ancaman Negara atau justru merupakan bagian dari Skenario ini? Jawabannya adalah:
Let them think, let them decide (biarlah rakyat berfikir dan biarkan rakyat memutuskan) dalam menilainya sebagai "pemilik kedaulatan" dan "pemberi "mandat". (Arthanto/sharia/voa-islam.com)