View Full Version
Jum'at, 18 Sep 2015

Pengungsi Suriah Kepedihan, Kesengsaraan, dan Pengorbanan Tanpa Batas

BRUSSEL (voa-islam.com) – Entah berapa banyak lagi pengungsi dan imigran yang bakal menyeberangi daratan Uni Eropa? Berapa lama mereka harus menjalani penderitaan panjang? Laki-laki, perempuan, anak-anak harus  berjalan kaki, tidur di jalan-jalan, kehujanan, dan kedinginan.

Berapa lagi perbatasan negara Eropa yang harus mereka lewati? Sungguh tak terperikan. Anak-anak harus berjalan kaki beratus kilo, dan ibu-ibu yang menggendong bayi, serta harus berurusan dengan polisi dan tentara. Sekarang semua negara di Uni Eropa menutup perbatasan mereka.

Berapa banyak negara Uni Eropa yang mau memberikan suaka kepada para pengungsi dan imigran? Jutaan orang Suriah dan Irak yang terlibat perang terus mengalir meninggalkan Turki, dan memasuki wilayah negara-negara Eropa. Ini tragedi masalah kemanusiaan yang paling menyedihkan. Masalah pengungsi paling besar sejak Perang Dunia II.

Komisi Uni Eropa berdebat tanpa mencapai kesepakatan tentang masalah kuota, bahkan termasuk jumlah migran yang tiba di negara Uni Eropa. Ini menjadi masalah bagi 28 negara Eropa Barat dan Timur yang tergabung dalam Uni Eropa.

Kepala Komisi Uni Eropa Jean-Claude Juncker yang akan berbicara di depan konferensi tahunan kepala negara-negara di kawasan Baltik, Hungaria, Polandia, Slovakia dan Republik Ceko yang sangat marah dengan kedatangan para pengungsi dan imigran.

Sebaliknya, negara-negara Eropa Barat memberikan tepuk tangan dan menyatakan 'welcome' bagi para imigran, seperti negara Jerman dan negara-negara Eropa Barat lainnya. 

"Bayangkan 28 negara harus bertemu bersama-sama. Tentu saja, mereka akan setuju ... seperti di parlemen negara itu, "kata Virginie Guiraudon, seorang profesor di Pusat Nasional untuk Penelitian Ilmiah di Pusat Studi Eropa. "Masalahnya adalah dengan negara-negara Eropa Timur  dan Eropa Tengah yang 'ingin memiliki kue dan memakannya'." 

Hungaria, mengeluarkan sikap kontroversi dengan isu ras dan agama, yang menjadi dasar penolakannya terhadap imigran dan pengungsi. Sekarang negara bekas komunis itu membangun kawat pagar sepanjang 175 kilometer dan setinggi empat meter di sepanjang perbatasan dengan Serbia.

Hungaria, hari Jumat memperingatkan bahwa pengungsi dan imigran yang melintasi perbatasan negara itu secara ilegal akan ditangkap, mulai minggu depan, ungkap seorang pejabat Hungaria. Negara-negara eks komunis Eropa Timur adalah salah satu dari tiga negara, bersama dengan Italia dan Yunani, sebagai titik transit utama bagi para migran dan pengungsi yang mencoba menyeberang ke Jerman dan Swedia, yang dipandang sebagai lebih ramah.

Hungaria berjuang mengatasi 150.000 imigran yang telah menyeberangi perbatasan tahun ini, menciptakan ketegangan dengan otoritas di daerah perbatasan dan stasiun kereta api utama. Bahkan, berlangsung kekerasan yang sangat menyedihkan. Sejumlah pengungsi mengalami luka-luka akibat tindak kekerasan polisi. Sekjen PBB Ban Ki-moon, mengecam kekerasan terhadap pengungsi oleh polisi Hungaria.

Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier, selama pertemuan dengan rekan-rekannya di Praha, Jumat, mendesak negara-negara Eropa tengah untuk menyetujui diusulkan sistem kuota redistribusi. "Jika kita bersatu dalam menghadapi situasi seperti ini kita harus bersatu, dan tantangan tersebut tidak dikelola oleh satu negara," kata Steinmeier, menyerukan "solidaritas Eropa."

Kekhawatiran lebih lanjut atas perlakuan Hungaria terhadap imigran terungkap pada hari Jumat, karena rekaman video muncul menunjukkan imigran di tempat kamp penampungan ​​diberi makan “seperti binatang" kata salah satu relawan. 

Human Rights Watch mengatakan Jumat bahwa para imigran dan pencari suaka berada dalam "kondisi buruk" di dua pusat penahanan imigran di perbatasan Serbia, dan menuduh Hongaria melanggar kewajiban internasional. 

Para tahanan pengungsi di Roszke yang ada menunjukan dalam kondisi penuh sesak, kotor, lapar, dan kurang perawatan medis," kata Peter Bouckaert, Direktur Human Rights Watch dalam sebuah pernyataan di online "untuk pengungsi". 

Jerman, memimpin negara-negara Eropa Barat yang bersikap lebih murah hati, mengharapkan bisa menampung sekitar 800.000 pengungsi pada akhir tahun ini, dan lebih dari 626.000 pengungsi di negara seluruh Uni Eropa di tahun lalu. Selama akhir pekan lalu saja, lebih dari 20.000 pencari suaka menyeberang ke Munich.

Komisaris Tinggi PBB untuk pengungsi (UNHCR) menempatkan jumlah imigran dan pengungsi yang tiba di pantai Eropa melalui laut lebih dari 380.000 tahun ini, dan jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dari 219.000 imigran tahun 2014 lalu.

Diperkirakan lebih 3.000 orang, termasuk anak-anak dan perempuan, dilaporkan tewas atau hilang di laut Mediterania tahun ini, ungkap UNHCR. Sungguh begitu menyedihkan nasib para pencari suaka. 

Seluruh dunia terhenyak dan menyorot tentang foto kematian seorang anak Suriah berumur tiga tahun, Aylan yang berkebangsaan Kurdi, yang terdampar di pantai Turki, kemudian memicu kemarahan di seluruh Eropa, akhirnya membawa ratusan ribu pengungsi mencapai Eropa 

"Eropa terlalu lama lebih  memfokuskan kontrol perbatasan, dan menjaga pengungsi keluar dari perbatasan," kata Lousie Carr, koordinator aksi dari Amnesty International France, mengatakan kepada Al Arabiya News selama protes pro-pengungsi di Paris lalu Sabtu lalu.

Di bawah slogan "Pas en notre nom" (bahasa Perancis, "tidak dalam nama kami"), lebih dari 8.500 orang berkumpul di jantung ibukota Perancis yang mengungkapkan solidaritas kepada para pengungsi yang tiba di Eropa setiap hari dan mendesak Uni Eropa menyelamatkan para imigran dan pengungsi.

Demonstrasi yang lebih kecil diadakan di kota-kota lain di Perancis pada hari yang sama. "Saya pikir ada realisasi di kalangan masyarakat dari apa yang telah terjadi. Dan kita perlu bergerak maju dari sekarang", kata Carr. "Gerakan menyelamatkan pengungsi adalah fakta dan kita perlu mengakui hal ini dan kita perlu membuat kebijakan yang dapat bekerja menyelamatkan pengungsi tidak mendorong mereka pergi", tegasnya.

Valentin Le dily, Direktur Umum Anti Diskriminasi, LSM SOS Racisme, yang berpusat di Paris mengatakan kepada Al Arabiya News bahwa banyak orang mengambil bagian dalam demo hari Sabtu, karena mereka "emosional dan terkejut” melihat penderitaan para pengungsi dan imigran yang terdampar di daratan Eropa. 

"Sekarang pekerjaan asosiasi relawan seperti kita ini, membuat mereka mengerti ini adalah menyelamatkan nasib nyawa ribuan orang meninggal di perjalanan untuk mencari suaka di Eropa," kata Le dily. 

"Prancis telah memiliki kesadaran sepanjang sejarahnya tentang  imigran," kata Le dily, dan ia menambahkan bahwa pada tahun 1970, Perancis menampung lebih dari 100.000 pengungsi dari Kamboja. "Itu bukan masalah untuk menampung mereka semua, dan sekarang kita berbicara tentang 20.000 pengungsi . Itu hanya sebuah desa kecil Perancis ", tambahnya.

Perubahan mendadak Presiden Prancis Francois Hollande mengenai kesiapan negaranya menyambut pengungsi menimbulkan keterjutan awal pekan ini. Setelah mendorong Italia menutup perbatasannya untuk menghentikan imigran yang ingin masuk ke Perancis, Hollande mengumumkan bahwa negaranya akan menerima 24.000 pencari suaka.

Sebuah survei terbaru yang dilakukan oleh harian Odoxa Le Parisien-Aujourd' menunjukkan bahwa 55 persen dari 1.000 orang yang diwawancarai menentang setiap pelonggaran aturan imigrasi, termasuk akomodasi bagi mereka yang melarikan diri dari perang, dan rakyat Perancis lebih suka Perancis melakukan intervensi ke Suriah sebagai gantinya.

Namun, aktivis hak asasi berpikir banyak orang yang siap untuk melakukan sesuatu tentang krisis kemanusiaan yang dialami para pengungsi. "Sesuatu telah terjadi yaitu pengungsi ke Eropa," kata Le dily.

"Kami telah mengumumkan ini selama bertahun-tahun, terutama sejak beberapa bulan terakhir dan kami hanya sendirian. Jadi, kami senang bahwa kami akhirnya melihat warga Perancis berkumpul di sini di tempat yang sangat bermakna ini di La Republique di Paris, "tambahnya, mengacu pada simbolik persegi, di mana ratusan ribu berbaris setelah serangan Charlie Hebdo.

Di antara para demonstran adalah Charlotte Herzog, seorang karyawan di sebuah stasiun radio Perancis, yang mengatakan bahwa situasi di Suriah telah membangunkan dirinya dari tidur di malam hari. "Saya di sini, karena sekarang saya tahu apa yang terjadi, saya tidak bisa berpura-pura bahwa saya tidak tahu," kata Herzog, yang memegang gambar Aylan, dan terus menghantui dirinya. 

"Kami tidak perlu gambar ini untuk mengetahui bahwa tidak ada perdamaian di mana-mana ... gambar itu merupakan gambar terakhir yang meneteskan kepedihan yang tanpa tara”, tuturnya. Rakyat Suriah memang sangat menderita akibat perang, dan di pengungsian. Mereka harus tercerabut dari negaranya akibat perang dan Bashar al-Assad. (mashadi/voa-islam.com)

 


latestnews

View Full Version