JAKARTA (voa-islam.com) - Sejak lama Kedutaan Besar Amerika di Jakarta membantu kaum LGBT di Indonesia. Dalam acara ‘International Day Againts Homophobia 2012’ Kedubes Amerika menerima kunjungan dari para aktivis LGBT Indonesia.
foto: Kedubes Amerika di Jakarta sedang menjamu para aktivis LGBT
Kedubes Amerika juga membuat laporan/analisa panjang tentang kondisi LGBT Indonesia. Laporan yang dibuat USAID ini diberi judul: “Hidup Sebagai LGBT di Asia, Laporan Nasional Indonesia, Tinjauan dan Analisa Partisipatif Tentang Lingkungan Hukum dan Sosial Bagi Orang dan Masyarakat Madani Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).”
Laporan ini merupakan hasil dokumentasi berbagai presentasi dan diskusi dalam Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia yang diselenggarakan pada 13-14 Juni 2013 di Bali. Laporan ini ditulis oleh: Dédé Oetomo dan Khanis Suvianita, dibantu oleh Kevin Stevanus Senjaya Halim, Jamison Liang, Safir Soeparna dan Luluk Surahman.
Dalam laporan ini ditulis:
“Terima kasih juga kami sampaikan kepada Jamison Liang dan Safir Soeparna sebagai pelapor hasil pertemuan. Dialog Komunitas LGBT Nasional Indonesia dan laporan nasional mendapatkan dukungan dari UNDP dan USAID melalui prakarsa regional ‘Being LGBT in Asia’ (Hidup Sebagai LGBT di Asia). Prakarsa pembelajaran bersama ini, yang mencakup delapan negara yaitu Cina, Filipina, Indonesia, Kamboja, Mongolia, Nepal, Thailand dan Viet Nam, bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang berbagai tantangan baik hukum, politik maupun sosial yang dihadapi kelompok LGBT, aspek hukum dan kebijakan yang terkait, serta peluang akses mereka akan layanan peradilan dan kesehatan. Prakarsa ini juga akan membahas kebutuhan berbagai organisasi LGBT, ruang gerak mereka, kapasitas organisasi-organisasi ini untuk Laporan LGBT Nasional Indonesia.”
Dalam laporan ini juga dituliskan:
“Melalui prakarsa ini, ‘Being LGBT in Asia’ mendorong pemahaman akan hak asasi manusia yang dimiliki kelompok LGBT dan tentang stigma dan diskriminasi yang dihadapi mereka di dalam kawasan. Prakarsa ini juga menggariskan langkah-langkah bagi UNDP dan sistem PBB, USAID dan Pemerintah AS; serta mitra kerja pembangungan lainnya, menuju pelaksanaan pembangunan yang inklusif terhadap LGBT melalui hasil penelitian seperti laporan ini, di samping berbagai produk sosial dan multimedia lain. Akhirnya, prakarsa ini menyoroti pandangan-pandangan yang dikembangkan oleh para peserta LGBT dalam dialog komunitas, sekaligus membina hubungan antara para pemangku kepentingan yang berusaha memajukan hak asasi manusia untuk LGBT di seluruh Asia.
Hasil Temuan Laporan ini menyajikan gambaran umum hak-hak LGBT di Indonesia dalam kaitan secara luas dengan hukum, kebijakan pemerintah, sikap sosial budaya dan agama, serta secara khusus dalam kaitan dengan kesempatan kerja dan tempat tinggal, pendidikan dan generasi muda, kesehatan dan kesejahteraan diri, urusan keluarga, media dan teknologi informasi komunikasi (TIK), hukum, hak asasi manusia dan politik serta kapasitas organisasi LGBT. Laporan ini mengidentifikasi berbagai perbedaan antardaerah dalam hal penerimaan terhadap LGBT dan organisasinya, serta bagaimana pengaruh opini masyarakat Indonesia terhadap hukum serta korupsi berdampak terhadap hak-hak LGBT. Bagian tambahan menelusuri situasi khusus mengenai hak-hak LGBT di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.”
Menurut laporan USAID ini, meskipun beragam perilaku seksual dan identitas gender telah dikenal di wilayah Nusantara pada masa-masa terdahulu, identitas homoseksual baru muncul di kota-kota besar pada awal abad ke-20. Baru pada akhir tahun 1960-an, gerakan LGBT mulai berkembang melalui kegiatan pengorganisasian yang dilakukan oleh kelompok wanita transgender, atau yang kemudian dikenal sebagai waria. Mobilisasi pria gay dan wanita lesbian terjadi pada tahun 1980-an, melalui penggunaan media cetak dan pembentukan kelompok-kelompok kecil di seluruh Indonesia. Mobilisasi ini semakin mendapatkan dorongan dengan maraknya HIV pada tahun 1990-an, termasuk pembentukan berbagai organisasi di lebih banyak lokasi.
Pada dasawarsa tersebut juga terjadi sejumlah pertemuan nasional awal, dengan disertai beberapa perkembangan penting dalam gerakan LGBT, antara lain pembentukan aliansi dengan berbagai organisasi feminis, kesehatan seksual dan reproduktif, gerakan pro-demokrasi dan HAM, serta kalangan akademis. Setelah peristiwa dramatis tahun 1998 yang membawa perubahan mendasar pada sistem politik dan pemerintahan Indonesia, gerakan LGBT berkembang lebih besar dan luas dengan pengorganisasian yang lebih kuat di tingkat nasional, program yang mendapatkan pendanaan secara formal, serta penggunaan wacana HAM untuk melakukan advokasi perubahan kebijakan di tingkat nasional.
Namun keberhasilan ini sangatlah sederhana dipandang secara keseluruhan, dengan banyaknya organisasi dan individu yang berhasil melakukan perubahan-perubahan kecil namun tanpa terjadi perubahan besar, baik dalam perundang-undangan maupun penerimaan oleh masyarakat.
Selanjutnya dalam laporan ini tertulis:
”Sebagai gambaran umum tentang hak asasi LGBT di Indonesia, hukum nasional dalam arti luas tidak memberi dukungan bagi kelompok LGBT walaupun homoseksualitas sendiri tidak ditetapkan sebagai tindak pidana. Baik perkawinan maupun adopsi oleh orang LGBT tidak diperkenankan. Tidak ada undang-undang anti-diskriminasi yang secara tegas berkaitan dengan orientasi seksual atau identitas gender. Hukum Indonesia hanya mengakui keberadaan gender laki-laki dan perempuan saja, sehingga orang transgender yang tidak memilih untuk menjalani operasi perubahan kelamin, dapat mengalami masalah dalam pengurusan dokumen identitas dan hal lain yang terkait.
Sejumlah Perda melarang homoseksualitas sebagai tindak pidana karena dipandang sebagai perbuatan yang tidak bermoral, meskipun empat dari lima Perda yang terkait tidak secara tegas mengatur hukumannya. Kebijakan yang terkait dengan hak-hak LGBT cukup bervariasi, dengan adanya sejumlah komisi nasional yang mengakui dan memberikan dukungan bagi kelompok LGBT, serta mengungkapkan dukungan resmi bagi kelompok LGBT karena wabah HIV.
Namun secara umum pihak kepolisian gagal melindungi kelompok LGBT dari berbagai serangan oleh para aktivis Islamis dan preman.
Sementara orang LGBT yang tergolong gelandangan karena berkeliaran di tempat umum dapat menjadi korban perlakuan semenamena dan pemerasan yang dilakukan oleh petugas pemerintahan. Sikap sosial budaya terhadap beragam orientasi seksual dan identitas gender mencerminkan kontras antara mereka yang bersikap progresif dan bersedia menerima dengan populasi jauh lebih besar yang biasanya tidak memiliki pengetahuan tentang masalah-masalah tersebut. Orang transgender mempunyai visibilitas yang lebih besar. Sebagian besar masyarakat tidak mengenal orang LGBT yang membuka diri.
Orang dengan orientasi seksual atau identitas gender yang beragam mungkin mendapatkan sekedar toleransi dari pada penerimaan, meskipun hal ini hampir mustahil dapat diharapkan dari anggota keluarga.”
“Populasi Indonesia sebagian besar adalah pemeluk agama Islam, Katholik dan Kristen. Pada umumnya ajaran agama-agama ini ditafsirkan secara konservatif sehingga tidak setuju homoseksualitas dan mempengaruhi pandangan masyarakat secara keseluruhan dengan cara yang negatif, meskipun ada sejumlah individu religius yang lebih progresif dan bersikap menerima. Tercatat ada berbagai perbedaan dalam pengembangan komunitas dan kegiatan LGBT di tingkat daerah, dengan tantangan lebih besar dihadapi di provinsi-provinsi yang konservatif karena dominasi ajaran Islam dan Kristen. Kegiatan pengorganisasian juga lebih mudah di kota besar dan menghadapi tantangan lebih besar di daerah yang penduduknya jarang, sehingga timbul kesulitan dalam hal komunikasi dan transportasi. Khusus di provinsi Aceh, kegiatan pengorganisasian LGBT menghadapi tantangan besar karena hak khusus provinsi tersebut untuk menetapkan hukum berdasarkan Syariah, sehingga menimbulkan kesulitan secara umum dalam mengangkat permasalahan LGBT dan besar kemungkinan pemberlakuan Perda setempat yang bersifat anti-LGBT. Sebagai catatan akhir sehubungan dengan hak-hak LGBT di Indonesia adalah pandangan masyarakat Indonesia terhadap hukum dan penegakannya sebagai hal yang sarat korupsi. Konteks ini secara luas berdampak negatif pada upaya pengembangan hak-hak LGBT di Indonesia, karena para aktivis dan individu bisa jadi merasa tidak yakin bahwa peraturan undang-undang dan kebijakan mampu melindungi mereka. Di samping itu mereka juga enggan mengupayakan melalui jalur hukum dan lembaga peradilan atau melakukan advokasi untuk memperjuangkan perubahan di bidang ini, karena adanya faktor persepsi korupsi ataupun korupsi nyata yang mereka hadapi,”tulis dokumen 85 halaman ini. Laporan ini memang cukup tendensius, karena senantiasa mengarahkan kelompok Islamis sebagai masalah.
Berikut kutipan laporannya:
“Laporan ini juga membahas perlindungan hak-hak LGBT di berapa bidang khusus, yaitu kesempatan kerja dan tempat tinggal, pendidikan dan generasi muda, kesehatan dan kesejahteraan diri, urusan keluarga, media dan teknologi informasi komunikasi (TIK) dan hukum, hak asasi manusia serta politik. Diskriminasi terhadap individu LGBT di tempat kerja belum mendapatkan perhatian yang berarti.
Belum ada undang-undang anti-diskriminasi maupun kebijakan atau pernyataan yang jelas sehubungan dengan orang-orang LGBT di tempat kerja. Wanita lesbian dan pria gay yang gender-conforming (menyesuaikan peran gender) dapat menghindari diskriminasi dengan merahasiakan perilaku mereka. Sebagian besar diskriminasi diarahkan pada kelompok waria yang juga mengalami masalah dengan KTP, baik dalam pengurusannya maupun karena di KTP tidak tercantum gender pilihan mereka. Masalah-masalah ini dapat membawa dampak lanjutan pada kesempatan mendapatkan tempat tinggal, dengan kelompok waria menghadapi berbagai tantangan dalam mendapatkan pekerjaan tetap, kartu identitas dan berhadapan dengan prasangka buruk. Kurangnya pendidikan tentang seks dan seksualitas di lingkungan sekolah pada umumnya dan soal-soal yang terkait dengan seksualitas LGBT, dapat berdampak buruk pada rasa percaya diri pemuda LGBT, belum lagi karena kurangnya informasi dan bimbingan dari orang tua. Ada beberapa organisasi LGBT dan LSM yang menyediakan sumber daya dan menyelenggarakan berbagai acara untuk mengatasi kesenjangan tersebut.
Bullying (penggertakan disertai perlakuan sangat merendahkan) terhadap mahasiswa LGBT juga menjadi hal yang memprihatinkan. Informasi dan sumber daya tentang kesehatan dan kesejahteraan kelompok LGBT di Indonesia terutama dikaitkan dengan HIV dan penyakit menular seksual (PMS).
Layanan kesehatan seksual dan reproduksi ditujukan kepada orang-orang heteroseksual. Padahal ada kebutuhan akan layanan konseling dan perhatian terhadap permasalahan psikoseksual dan kesejahteraan seksual, juga kebutuhan akan informasi dan dukungan bagi kelompok transgender sehubungan dengan terapi hormon, serta kebutuhan untuk memperluas dan meningkatkan pelatihan petugas kesehatan agar lebih peka terhadap permasalahan dan orang-orang LGBT. Keluarga barangkali merupakan sumber pengaruh terbesar dalam kehidupan kelompok LGBT, namun penerimaan oleh pihak keluarga dibatasi oleh tekanan budaya yang kuat untuk menikah secara heteroseksual dan mendirikan keluarga, demikian juga pengaruh dari agama.
Perkawinan semu adalah hal yang umum. Program pembinaan mata pencaharian dapat memberi peluang bagi orang individu LGBT untuk hidup secara mandiri, lepas dari keluarganya. Untuk meningkatkan penerimaan lingkungan sosial budaya terhadap kelompok LGBT, kampanye kesadaran umum dan kerjasama dengan pihak-pihak yang mendukung, dianggap sebagai strategi utama. Liputan media massa di Indonesia tentang permasalahan LGBT cukup bervariasi, mulai dari mendukung hingga bermusuhan. Diperlukan pelatihan aktivis LGBT mengenai urusan media dan juga pelatihan bagi pekerja media mengenai permasalahan LGBT, disertai dengan pendekatan lebih strategis untuk hubungan media.
Sementara itu, teknologi informasi dan komunikasi digunakan oleh individu maupun organisasi LGBT untuk menyebarkan informasi dan mengembangkan serta menampilkan materi budaya, meskipun menghadapi beberapa masalah terkait dengan pemblokiran situs web oleh penyedia jasa internet atas desakan pemerintah. Media ini menunjukkan potensi untuk mendorong pengembangan komunitas LGBT.
Kemajuan telah dicapai dalam hak-hak LGBT karena gerakan yang mengambil prinsip dan strategi hak asasi manusia secara universal selama beberapa tahun terahir, dengan sejumlah organisasi dan individu LGBT yang berpartisipasi pada peninjauan dan proses hak asasi manusia nasional, mengangkat kesadaran akan permasalahan orientasi seksual dan identitas gender. Termasuk dalam upaya ini adalah pencalonan individu LGBT sebagai anggota Komnas HAM yang pada akhirnya tidak berhasil, namun membawa sejumlah manfaat bagi masyarakat LGBT dengan meningkatkan kesadaran dan kebanggaan sebagai hal yang dapat diharapkan mendorong aktivisme lebih lanjut.
Belum ada tokoh yang secara terbuka LGBT dan menjadi politisi sukses, namun terdapat potensi untuk bekerja sama dengan para calon pejabat politik yang tidak memusuhi LGBT. Hasil temuan dialog yang paling akhir adalah meneliti kapasitas organisasi-organisasi LGBT di Indonesia.
Jumlah organisasi yang ada di Indonesia relatif besar, terdiri dari: dua jaringan nasional dan 119 organisasi yang didirikan di 28 provinsi dari keseluruhan 34 provinsi di Indonesia, beragam dari segi komposisi, ukuran dan usia. Organisasi-organisasi ini berperan aktif di bidang kesehatan, publikasi dan penyelenggaraan kegiatan sosial dan pendidikan.
Organisasi-organisasi yang disurvei menilai bahwa akses mereka ke sumber pendanaan pada umumnya lemah, di samping menghadapi berbagai tantangan di bidang sumber daya manusia dan pengurusan organisasi. Kepimpinan organisasi dipandang lebih positif. Para organisasi menghadapi berbagai tantangan dalam memahami cara mendaftarkan diri sebagai badan hukum, mengorganisir kegiatan dengan ancaman kekerasan dari preman dan kelompok Islamis, serta kurangnya dukungan dan perlindungan dari pihak pemerintah maupun kepolisian.
Keterlibatan organisasi-organisasi ini pada kegiatan advokasi dan penyusunan kebijakan negara dapat ditingkatkan. Rekomendasi Dialog Nasional ini menghasilkan sejumlah rekomendasi yang ditujukan kepada komunitas LGBT Indonesia, pemerintah Republik Indonesia dan lembaga-lembaga internasional sebagai hal yang perlu ditindak lanjuti dan diprioritaskan selama tiga tahun ke depan.” [adivammar/IZ/sharia]