Oleh: Muslimaturrohmi*
HATI IBU mana yang tidak teriris perih, miris dan pedih mendapati kenyataan bahwa buah hatinya yang dikandung selama 9 bulan dalam buayan selama di rahimnya akhirnya menjadi korban pelecehan seksual, direngggut kesuciannya oleh seorang laki-laki tak bertanggung jawab.
‘Pilu’ (19 tahun)sebut saja nama gadis remaja ini, dia tumbuh di sebuah keluarga yang sederhana di salah satu desa di Lumajang. Dia tidak tumbuh selayaknya anak remaja pada umumnya, karena ‘keterbatasan akal’ yang dia sandang sejak kecil.
Kondisi ini tidak menyurutkan kejahatan seorang laki-laki bejat untuk mengoyak keperawanan gadis malang ini. Kondisi ‘Pilu’ yang terbatas membuat polisi terkendala mengusut kasus ini karena keterangan dari korban yang kerap berubah-ubah.Sungguh tragis, mungkin kasus ini bukan hanya sekali menimpa para remaja kita, masih banyak diluar sana menimpa, ribuan bahkan jutaan remaja bahkan anak-anak. Astaghfirullah...
Kasus kekerasan seksual pada anak masih menjadi permasalahan yang tidak dapat dianggap remeh oleh negeri yang mayoritas negeri berpenduduk muslim ini, jumlahnya terus mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Data yang dimiliki Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menunjukkan, peningkatan tersebut bisa berlanjut tiap tahunnya. Berdasarkan data tentang pelecehan seksual pada anak di Indonesia selama beberapa tahun belakangan, terungkap sebuah fakta yang begitu mengerikan.
Tak bisa dipungkiri bahwa maraknya kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak-anak dan perempuan adalah dampak dari liberalisme nilai-nilai sosial. Pornografi yang semakin deras ke tengah masyarakat telah mendorong bagi banyak orang melakukan kejahatan seksual..."
Kasus kekerasan seksual pada anak bentuknya semakin beragam dan menakutkan. Mulai dari perkosaan, sodomi, pedofilian, serta bentuk percabulan lain sangat mendominasi kasus yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. (Liputan6.com/3/9/2014).
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengklasifikasikan Jawa Timur dalam wilayah yang tegolong darurat kekerasan anak. Hal ini dibuktikan dari fakta serta pengumpulan data selama satu tahun terakhir. Pengumpulan data kasus di 34 provinsi dan 179 kota/kabupaten di Indonesiam mencapai 21 juta lebih kasus. Yang mengejutkan 58 persennya adalah kasus kejahatan seksual dan Jawa Timur berada di posisi ketujuh. (Madiunpos.com/07/08/2015).
Tak bisa dipungkiri bahwa maraknya kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak-anak dan perempuan adalah dampak dari liberalisme nilai-nilai sosial. Pornografi yang semakin deras ke tengah masyarakat telah mendorong bagi banyak orang melakukan kejahatan seksual. Kaum perempuan sekarang tidak lagi merasakan keamanan, bahkan di tempat umum dan keramaian sekalipun. Beberapa kali pelecehan seksual terjadi di tengah keramaian seperti angkutan umum, seperti di pasar bahkan di tempat peribadatan.
Anak-anak juga semakin tak terlindungi, bahkan dari perbuatan kawan sebayanya sendiri. Beberapa kasus tindak pemerkosaan justru dilakukan oleh teman sepermainan dan masih duduk di bangku SD bahkan keluarga terdekatnya termasuk orang tua kandungnya sekalipun.
Nilai kebebasan yang dikandung sistem ini menjadi racun mematikan bagi akal dan naluri manusia. Hingga seorang ayah kandung tega menggauli darah dagingnya sendiri. Membuat saudara kandung mengeluarkan hasrat buruk terhadap saudaranya sendiri. Ketika pemahaman agama tidak menjadi standar perilaku, maka hawa nafsu menjadi penentu. Akibatnya, orang berlomba memenuhi kebutuhan jasmani sesuka hatinya. Liberalisme telah menghilangkan ketakwaan individu.
Negara Abai
Pada sisi lain, maraknya kekerasan seksual pada anak menjadi gambaran betapa lemahnya jaminan keamanan bagi anak-anak. Bahkan orang tua yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi sumber ancaman bagi anak-anak. Hal ini menggambarkan bahwa keluarga tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai tempat yang aman bagi anak. Bahkan Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait menyatakan maraknya kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga dekat, adalah indikasi dari keluarga yang gagal. Oleh karena itu dibutuhkan keluarga yang perhatian kepada anak dan keluarga ramah anak. (Liputan6.com/24/01/2014).
Selain keluarga, lingkungan dan Negara juga telah abai memberikan jaminan keamanan kepada anak-anak. Kehidupan masyarakat yang saat ini diwarnai oleh kehidupan materialistis dan hedonis, akan membentuk individu yang hanya mengutamakan terpenuhinya kebutuhan jasmani. Bahkan Negara memfasilitasi hal tersebut. Maraknya pornografi dan pornoaksi menjadi bukti bagaimana syahwat dibiarkan menuntut pemuasan. Rendahnya kontrol masyarakat juga membuat banyaknya kasus yang tidak dilaporkan. Akibatnya para pelaku masih bebas berkeliaran dan mengancam keselamatan anak.
Semua itu adalah buah dari sistem sekuler. Sistem yang membawa kerusakan pada masyarakat dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan manusia. Sistem ini membuat manusia tidak lagi menjadi mulia karena perilakunya seperti binatang..."
Ringannya hukuman bagi pelaku kekerasan seksual menjadi bukti tambahan lemahnya jaminan negara atas keamanan anak. Hukuman masih tidak memberikan efek jera. Pelaku tindak pencabulan anak di bawah umur umumnya akan dijerat Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dengan hukuman antara 3 sampai 10 tahun penjara.
Sementara dalam KUHP, tindak pemerkosaan diancam hukuman penjara maksimal 15 tahun penjara. Namun para hakim sangat jarang menjatuhkan hukuman maksimal. Solidaritas Masyarakat Anti Kekerasan mengusulkan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dihukum minimal 20 tahun penjara dan maksimal seumur hidup. (beritasatu.com, 17/1).
Semua itu adalah buah dari sistem sekuler. Sistem yang membawa kerusakan pada masyarakat dan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan manusia. Sistem ini membuat manusia tidak lagi menjadi mulia karena perilakunya seperti binatang. Oleh karena itu Sudah seharusnya sistem rusak ini dibuang jauh-jauh dan digantikan dengan sistem Islam dalam tatanan daulah Khilafah Islamiyyah.
Daulah khilafah membangun masyarakat Islam diatas landasan keimanan, yang meyakini adanya hari pembalasan. Negara menjadi ‘perisai’ yang melindungi seluruh warga negaranya, termasuk anak-anak. Negara wajib menjaga kebersihan pikiran dan lingkungan dari kemaksiatan. Islam juga menetapkan hukuman berat bagi pelaku tindak kekerasan seksual apalagi kepada anak, sehingga akan memberikan efek jera pada yang lain. Oleh karena itu, anak akan terbebas dari kekerasan seksual ketika hidup dalam naungan Daulah Khilafah. Wallahu a’lamu bish shwwaab.
*Penulis adalah tim kontak lajnah khusus sekolah MHTI dan S1 FKIP UNEJ