JAKARTA (voa-islam.com)--Meski Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah resmi dibubarkan pemerintah, namun bukan berarti persoalan selesai. Banyak pihak yang merasa belum puas jika HTI hanya sekadar dibubarkan. Tapi menginginkan agar eks anggota HTI juga diberi sanksi.
Di beberapa instansi negara, ada keinginan agar eks HTI yang menjadi PNS untuk diberi sanksi. Misalnya Kementerian Riset dan Teknologi, dan Pendidikan Tinggi berencana melakukan pemecatan kepada dosen atau pegawai di PTN yang terlibat di HTI.
"Mereka bisa dikenai sanksi administrasi, kalau tidak mau kembali ke Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kami mengimbau dulu, akan persuasif dulu," ujar dia kepada wartawan baru-baru ini.
Sementara, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo juga telah menginstruksikan kepada setiap kepala daerah untuk memantau keterlibatan PNS dalam organisasi anti-Pancasila.
Tjahjo mengatakan bahwa pihaknya punya wewenang membuat tindakan tegas untuk memecat PNS yang terlibat ormas anti-Pancasila. Terutama bagi mereka yang sulit diajak kembali kepada Pancasila. Bagi yang mau terima, maka ancaman pemecatan tak berlaku.
Selain itu, usulan ekstrim disampaikan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat. Djarot mengusulkan agar PNS yang terlibat organisasi anti-Pancasila seperti HTI untuk dicabut kewarganegaraannya.
"Kami usulkan dicabut kewarganegaraannya sekaligus gitu. Makanya yang mau ke Suriah di sana terus lah," kata Djarot di Balai Kota DKI, Senin, 24 Juli 2017.
Djarot menilai, PNS yang tidak sepaham dengan ideologi Pancasila tidak pantas menjadi seorang PNS. Ia menyarankan agar PNS yang anti Pancasila untuk pindah kerja, juga negara.
"Kalau dia punya ideologi lain ya silahkan mana negara yang punya ideologi yang sesuai dengan dia, pindah saja. Sekalian gitu lho, jadi kan jelas komitmen ideologis kita," ujarnya.
Usman Hamid, Direktur Amnesti Internasional Indonesia mengatakan bahwa apa yang dilakukan instansi negara dengan menebar ancaman kepada eks anggota HTI sangat berlebihan.
"Itu kalau jadi tindakan pemaksaan dan perlakuan sewenang-wenang itu bisa menjadi bullying, persekusi, dan bisa membahayakan jiwa orang tersebut," kata Usman, Selasa (25/7/2017) seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Hal senada juga diungkapkan Din Syamsudin, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah. "Itu kebijakan yang eksisif melampaui batas, kita ingatkan, satu jangan kemudian merambah ke mana-mana, mungkin ada Ormas lain nanti ya seperti ada anggota pendukung, simpatisan jangan lupa ini berhubungan dengan pikiran," tutur Din di Jakarta, Selasa (25/7).* [Dbs/Syaf/voa-islam.com]