Oleh:
Yons Achmad
Pengamat media dan pendiri Kanetindonesia.com
KISAH penyinyir reuni 212, tamat di acara ILC semalam. Acara dengan tema “212, Perlukah Reuni?” yang dipandu wartawan senior Karni Ilyas itu benar-benar bisa menguliti sekaligus menelanjangi para penyinyir gerakan 212. Harapan fans penyinyir pupus sudah. Penampilan “jagoan” mereka NOL besar, kualitas isi pembicaraan dan cara penyampaian juga rendah, singkatnya tidak bermutu. Dalam bahasa Fadzli Zon tidak intelek. Itulah gambaran penampilan para penyinyir gerakan 212 yang diwakili pegiat sosial Abu Janda (Permadi Aria) dan Denny Siregar, keduanya pendukung Jokowi-Ahok.
Dalam kamus gaul zaman now, nyinyir sering diartikan orang yang “banyak bacot”, suka mengeritik orang atau kelompok dengan sangat pedas. Itulah yang sering dilakukan Abu Janda dan Denny Siregar. Nyinyir tak habis-habisnya dengan gerakan Islam, kelompok Islam, khususnya kelompok 212. Abu Janda dengan video-videonya, Denny Siregar dengan tulisan-tulisannya di dunia maya.
Mungkin mereka merasa sangat besar dan banyak pengikutnya di dunia maya. Tapi, debat di dunia nyata mereka mati gaya. Argumen-argumennya dangkal, data-datanya tidak valid. Penampilan dan gaya berdebatnya sangat polos, sangat minim pengalaman.
Denny Siregar mulai bicara dengan gagap, grogi. Isinya hanya menyoal jumlah massa yang hadir pada reuni 212 di Monas. Saya mengira, Denny akan bicara galak dan lantang seperti beberapa tulisannya yang sempat saya baca. Tapi, di ILC tak terbukti. Setelah bicara sekian menit tak ada lagi argumen. Dia hanya bisa duduk dan diam saja. Setelah “kalah perang”, bukan mengakui kedangkalan dan minimnya ilmu berdebat (beragumen), malah dalam tulisan di blognya, menyalahkan Karni Ilyas yang katanya hanya bisa membuka dan menutup acara. Itulah penampilan tokoh penyinyir kita kali ini.
Sementara Abu Janda, orasinya agak lumayan bagus. Sepertinya, dia memang sudah terbiasa bicara di depan banyak orang. Abu Janda tampil sebagai sosok yang bak paling cinta Pancasila dan NKRI. Sayangnya, nada bicaranya penuh kedengkian dan kebencian terhadap alumni 212. Oleh Felix Siauw dinilai, apa yang disampaikan Abu Janda sebenarnya juga bentuk ujaran kebencian. Lalu isinya? Dia membawa data tentang bendera Rasulullah yang ternyata keliru. Dia juga kurang ajar, meragukan hadis yang menurutnya ditulis setelah ratusan tahun. Oleh Prof Mahfud MD, Abu Janda yang mengaku anggota Banser NU ini dinilai tak paham dengan tradisi NU dalam memandang sebuah hadis.
Terlepas dari pro kontra acara ILC. Saya memandang acara ini tetap perlu terus dirawat. Sebab, bisa membuka ruang dialog. Mana yang argumennya dalam, mana yang argumennya dangkal. Juga bisa membuka kebenaran atas sebuah kasus, sehingga masyarakat menjadi cerdas dalam menyikapi setiap fenomena atau peristiwa.
Di ILC kita juga bisa mengambil pelajaran dari orang-orang pintar (pakar). Tapi, apa boleh buat, kita juga bisa terhibur bahkan terbahak melihat para “idiot” tampil, seperti para penyinyir reuni 212 di acara ILC itu.*