Taufik Hidayat
(Wasekum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat)
Kata professional boleh mengandung beberapa makna, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016) salah satu arti professional adalah “mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir)”. Ada juga professional yang diartikan bersikap independen dengan tidak tercampur antara kepentingan subyektifitas pribadi dengan obyek pekerjaan yang sedang dilakukan. Dua makna ini menjadi bahasan yang menarik untuk kita eksplorasi terkait dengan posisi kita sebagai muslim yang tujuan hidup kita hanya menghambakan diri Kepada Allah SWT semata.
Istilah professional tentunya berakar dari kata profesi, istilah profesi merupakan istilah yang baru mulai diperkenalkan pada abad 19-an dengan dimulainya zaman industrialiasi secara massif di bumi Eropa. Istilah ini merujuk pada otoritas kecakapan intelektual yang mempunyai hak paten tertentu atau sertifikasi tertentu untuk mendapatkannya. Dengan kompleksitas permasalahan di dunia modern yang semakin luas maka profesi menjadi lebih formal dengan terbentuknya asosiasi asosiasi profesi selayaknya di dunia industri. Akhirnya profesi menjadi sebuah kebutuhan dasar di masyarakat modern yang diperlakukan selayaknya dunia industri yaitu adanya imbalan/upah tertentu untuk melakukan kecakapan intelektual tersebut. Jika ada profesi yang tidak mendapatkan imbalan maka hal ini diluar kelaziman masyarakat modern.
Dalam ajaran Islam, tentunya ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi yang mengharuskan pembayaran sebuah pekerjaan tentulah sudah mafhum diketahui. “Bayarlah upah pekerjamu sebelum keringatnya kering” merupakan hadis yang sering kita dengar dari para ustadz kita. Bagaimana dengan pekerjaan yang tidak dibayar (gratis) atau istilah keren hukumnya Pro Deo atau Pro Bono, tentunya pekerjaan jenis ini dikategorikan pekerjaan yang sifatnya sosial atau fi Sabilillah dan hanya layak diberikan kepada orang yang tidak mampu. Dalam syarat syarat prosedur berpekara yang ditampilkan website Mahkamah Agung dijelaskan salah satu syarat untuk berperkara secara Pro deo adalah melampirkan surat keterangan tidak mampu (SKTM). Jadi jika ada bantuan hukum gratis kepada orang yang mampu, hal ini juga diluar dari kelaziman prosedur hukum yang berlaku.
Makna kedua tentang profesional yang mengharuskan independensi merupakan cara berpikir dunia materialistik. Dalam epistemology ilmu, yang dikenalkan di dunia barat tentunya terdapat paradigma/world view yang mekanistik dimana seorang ilmuwan harus bersikap netral/bebas nilai (Value Free) terhadap objek penelitiannya tanpa harus terikat dengan nilai nilai moral. Memang masalah ini menjadi perdebatan aksiologi dikalangan ilmuwan sehingga muncul World View ke dua yang humanistik sebagai perlawanan paradigma yang materialistik tersebut.
Kegalauan tentang ini pernah dialami oleh ilmuwan jenius Albert Einstein ketika dia melihat Partai Nazi mengembangkan senjata gas urat syaraf melalui ilmuwan kimia Jerman penerima nobel yaitu Fritz Haber. Einstein yang tadinya merasa ilmuwan harus bersikap netral/bebas nilai akhirnya mengambil sikap drastis untuk melakukan perlawanan dengan meminta perlindungan ke Amerika Serikat dan mengembangkan bom atom di Amerika sebagai langkah pembalasan terhadap gas urat syaraf yang dikembangkan Fritz Haber tadi. Dua ilmuwan penerima nobel pada akhirnya harus bersikap, apakah berpihak pada negaranya (Fritz Haber) atau berpihak kepada kaumnya Yahudi (Albert Eisntein). Apakah ilmuwan/cendekiawan kita tetap mau bebas nilai /netral/independen/Professional???
Paradigma materialistik tersebut diatas, tentunya bertentangan diametral dengan ajaran Islam. Dalam Islam, kita diajarkan untuk tidak boleh memisahkan antara apa yang diniatkan dalam hati, terucap dalam lisan dan apa yang kita kerjakan. Muslim tidak boleh bebas nilai terhadap pekerjaan yang dilakukanya seperti paradigma materialistik yang saya sebutkan diatas. Banyak ayat ayat yang mengancam kita tentang tidak sinkronnya antara hati, perkataan dan perbuatan diantaranya QS. As-Shaf ayat 3. Dalam istilah lain antara pola pikir, pola ucap dengan pola tindak harus serasi. Bagaimana dengan argumen menolong orang yang zalim maupun dizalimi, tentunya ini terkait dengan nasihat yang kita berikan kepada orang yang zalim atau dizalimi tersebut bukannya alih alih menjadi bithona (Staf Ahli/Pembela) apalagi dilegitimasi dengan menerima surat mandat secara formal. Hal ini sudah jelas dilarang dalam QS Ali-Imran ayat 118.
Pertanyaannya kemudian apakah ajaran Islam membolehkan kita membela hak hak orang pelaku kezaliman/kejahatan seperti pencuri/pemerkosa/PKI/Koruptor atas nama profesionalitas atau independensi?. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus melihat substansi masalahnya yaitu pembelaan hak-hak. Dalam ajaran Islam, negara melalui aparatur penegak hukumnya wajib menjamin hak–hak setiap warga negara baik dalam keadaan tidak menjalani proses hukum maupun ketika menjalani proses hukum akibat kesalahannya. Jika negara sudah dapat menjamin bahwa setiap hak hak warga negara tidak akan dizalimi sedikitpun, maka pembelaan atas hak hak para pelaku kezaliman/kejahatan tadi tidak perlu dibela-bela baik oleh pengacara maupun apapun namanya.
Bagaimana jika aparat penegak hukum melakukan abuse of power dengan tidak menegakkan hak-hak para pelaku kejahatan tadi, apakah solusinya memperbanyak pengacara/Lawyer untuk mendampinginya?. Kalau kita kembali kepada ajaran Islam, Rasululullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam jutsru fokus mengancam kepada aparat penegak hukumnya seperti hakim sehingga terjamin hak warga negara tidak dizalimi sedikitpun. Seperti Hadis dari Abu Buraidah dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir nomor 4446 dimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda: “Hakim itu ada tiga macam, dua di Neraka dan satu masuk Surga; (1) seorang hakim yang mengetahui kebenaran lalu memberi keputusan dengannya, maka ia di Surga, (2) seorang hakim yang mengadili manusia dengan kebodohannya, maka ia di Neraka, dan (3) seorang hakim yang menyimpang dalam memutuskan hukuman, maka ia pun di Neraka.”
Kalau kita buka lebih banyak lagi kitab kitab hadits tentunya kita akan dapatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam banyak mengancam profesi Hakim yang tidak amanah yaitu yang tidak menegakkan hak-hak para pelaku kejahatan seadil-adilnya. Karena inti penegakkan/pembelaan hak-hak para pelaku kejahatan ada di keputusan hakim bukan kepintaran retorika si pengacara yang terkadang membolak balikkan pasal pasal hukum. Posisi hakim menjadi sentral dalam masyarakat Islam karena dia seperti “Setengah Dewa”, satu sisi dia harus menghukum kesalahan si pelaku kejahatan seadil adilnya sesuai porsi kejahatannya dan satu sisi dia juga tidak boleh menzalimi hak-hak si terdakwa.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana kalau para pelaku kejahatan tidak ada pengacara yang mendampingi mereka untuk mengurus perkaranya?. Tentunya perkara hukum yang tidak terkait dengan kejahatan masih dibolehkan dalam Islam untuk didampingi, tetapi pelaku yang jelas jelas umpamanya PKI, Homoseksual, Penipu, Pembohong, Koruptor tentunya harus kita hindari. Mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka sendiri di depan hakim tanpa perlu berbelit belit menghindar dan jika hakim berlaku adil maka putusannya tentu tidak menzalimi hak hak terdakwa diluar dari porsi kesalahannya.
Apakah kita tidak zalim terhadap mereka dengan membiarkan mereka sendiri tanpa ada yang mengurus ? Justru pertanyaan ini harus dibalik, Apakah pelaku kejahatan tidak zalim dengan melakukan kejahatan yang membuat orang lain susah/mati? Bukankah dengan tidak ada orang yang mendampingi/mengurus mereka itu adalah balasan terhadap kejahatan mereka itu sendiri dan menjadi ibroh bagi orang lain?. Sehingga kita harapkan pelaku kejahatan akan berkurang karena mereka melihat betapa menderitanya ketika melakukan kejahatan sehingga terisolir dari masyarakat dan tidak ada yang membantu mengurus perkaranya. Bukankah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga melakukan teknik isolasi ini terhadap Ka’ab bin Malik yang melakukan kesalahan dengan tidak ikut perang Tabuk. Sehingga Ka’ab bin Malik bertobat dan sadar akan kesalahannya. Tentunya setelah pelaku kejahatan ini bertobat dan menjalani hukuman sesuai putusan hakim yang adil maka kita sebagai ummat Islam akan tetap menerima mereka seperti biasa. Wallahu’alam. [PurWD/voa-islam.com]