View Full Version
Selasa, 12 Mar 2019

Ritual Adat Batui dalam Timbangan Aqidah Islam (Bagian Satu)

Oleh:

Mukhlish AK, pemerhati budaya lokal

 

PADA Desember 2018 silam, dunia media sosial- terutama oleh nitizen yang berada di wilayah Kabupaten Banggai-diramaikan dengan perdebatan tentang ritual adat Batui. Hal ini dipicu dengan tersebarnya video di media sosial kegiatan ritual adat di Batui. Pada video itu, tampak sekelompok orang laki-laki dan perempuan yang sedang berdzikir yang diiringi dentuman musik gendang dan gong. Tampak pula sebagian orang yang kesurupan dengan memperagakan berbagai gaya yang berbeda.

Dari hasil konfirmasi langsung penulis pada beberapa tokoh dari Batui, acara tersebut bernama ritual mosawe yang sebelumnya diawali dengan ritual adat molabot tumpe.

Video tersebut mendapat tanggapan yang luar biasa dari masyarakat, terutama mereka yang berada di Kabupaten Banggai. Hemat penulis hal itu disebabkan setidaknya oleh dua hal yakni: pertama, sensifitas aktivis Islam terhadap hal-hal yang dianggap menyimpang dari aqidah Islam, sehingga harus diluruskan. Kedua, rasa trauma yang mendalam terhadap berbagai musibah, terutama gempa dan tsunami yang terjadi di Pasigala (Palu, Sigi dan Donggala). Masyarakat muslim menyakini bahwa musibah-musibah tersebut bukanlah terjadi secara kebetulan. Musibah tersebut sebagai peringatan atau azab dari Allah Swt. karena kemaksiatan manusia terlebih hal-hal yang berbau syirik.

Perdebatan pun terjadi, terutama di media sosial. Para aktivis Islam menyatakan bahwa mereka mengecam acara tahunan tersebut. Acara tersebut dianggap sangat kental dengan nuansa mistik bahkan syirik. Mereka pun menolak acara itu kembali diadakan bulan Desember 2018 ini. Acara tersebut dianggap sebagai acara yang dapat mengundang bencana. Apalagi, menjelang acara tersebut dilaksanakan gempa sempat terjadi beberapa kali dan cukup terasa di Wilayah Kabupaten Banggai.

Sebaliknya masyarakat Batui yang menjadi pegiat acara tersebut menyatakan bahwa acara itu adalah bentuk menjaga amanah dari leluhur yang diwujudkan dalam ritual adat ‘tumpe’ dan rasa syukur yang diwujudkan dalam bentuk ritual adat ‘mosawe’.

Bagaimana sesungguhnya tradisi ritual tumpe dan monsawe ini dalam timbangan aqidah dan syariah Islam? Penulis akan berusaha untuk menjawab masalah ini dengan tetap menjaga sikap ilmiah. Diawali memahami realitas (fakta) kedua ritual tersebut kemudian menghukuminya dengan dalil-dalil Alquran dan Hadits yang relevan.

Untuk memahami realitas ritual adat penulis mengambil sumber primer dengan melakukan interview langsung pada beberapa tokoh asli Batui yang memahami hal ini. Hanya untuk keperluan tertentu, penulis tidak menyebut namanya secara langsung. Sedangkan sebagai sumber skunder, penulis mengambil informasi dari video dan artikel tentang ritual adat Batui tersebut yang banyak tersebar diberbagai media online.

Menjadikan aqidah Islam sebagai timbangan dalam memahami masalah ritual adat Batui ini menjadi suatu keharusan. Hal itu setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, secara umum kaum muslimin memang wajib terikat pada rambu-rambu yang diajarkan oleh Allah Swt. dalam Alquran dan Hadits, sebagai konsekuensi logis dari ikrar syahadat mereka. Kedua, masyarakat Kabupaten Banggai umumnya dan Batui khususnya mayoritas beragama Islam, maka menjadikan keyakinan masyarakat mayoritas sebagai tolok ukur sangatlah relevan.

Adapun hukum adat, ia tidak boleh berdiri sendiri. Adat harus dibawah kontrol agama. Adanya semboyan “Adat bersendikan Syara’/kitabullah”, membuktikan bahwa para pendahulu kita telah berusaha memposisikan adat dalam bimbingan agama. Para ulama juga telah merumuskan bahwa salah satu sumber hukum Islam adalah adat atau ‘urf (walau dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat)[1], tentu dengan batasan adat yang tidak menyimpang dari syara’. Sehingga menjadikan hukum adat terlepas dari hukum agama adalah sikap yang tidak tepat.

Penelitian sederhana ini hanya ingin menunjukkan pada khalayak, mana diantara dua pendapat diatas yang berpijak pada nash-nash agama sehingga layak untuk dijadikan pegangan dan mana pendapat yang tidak berpijak pada nash-nash agama sehingga layak untuk ditinggalkan.

 

B. POKOK MASALAH

Makalah atau artikel akan membahas 2 pokok masalah yakni :

1. Bagaimana realitas pelaksanaan ritual adat Molabot Tumpe dan Mosawe?

2. Bagaimana pandangan Islam (aqidah dan syariah) terhadap pelaksanaan ritual adat Molabot Tumpe dan Mosawe?

C. PEMBAHASAN

1. Realitas Adat Molabot Tumpe dan Mosawe

a. Sejarah singkat munculnya Molabot Tumpe dan Mosawe

Menurut sumber hasil interview (sebut saja Bapak Amir[2]), yang hal ini juga dapat dibaca diberbagai media on line, adat tumpe dan mosawe ini ada sebagai bagian dari hasil interaksi sejarah antara Kerajaan Banggai, Kerajaan Batui dan Jawa. Dimana raja Banggai yang memiliki menantu anak raja Batui. Raja Banggai ini memiliki burung Maleo.

Terdapat beberapa versi tentang asal muasal burung maelo tersebut. Pertama, menurut Amir, burung tersebut adalah milik raja banggai. Suatu ketika burung maleo ini dibawa ke pulau Jawa. Namun di Pulau Jawa burung ini tidak bisa berkembang. Sang burung meleo pun akhirnya dibawa kembali ke Banggai.[3] Kedua, menurut Arifin Ahmad, burung tersebut memang berasal dan dibawa dari Pulau Jawa.[4] Ketiga, menurut Haji Jabar, burung itu dari Batui. Dahulu Raja Motindok dari Batui memberikan burung maleo sebagai hadiah pada Abu Kasim, cucunya di Banggai. Namun karena di Banggai tidak ada pasir, burung maleo tidak bisa bertelur, maka dikembalikan lagi ke Batui.[5] Pada hal ini sudah menimbulkan masalah, versi mana yang tepat?

Namun ketiga narasumber sepakat bahwa di Pulau Banggai sang burung maleo tidak dapat bereproduksi. Sang maleo dibawa ke Batui dengan suatu perjanjian, bahwa telur pertama dari sang maleo harus diantarkan ke Banggai, sebagai sang pemilik sesungguhnya dari sang burung. Karena dataran Batui memiliki pasir yang bagus, menjadikan sang meleo dapat kembang dengan baik.

Terjadilah adat mengantar telur pertama maleo dari masyarakat Batui ke Banggai. Menurut Baharuddin H. Shaleh tradisi tersebut sudah dimulai tahun 1621 M hingga hari ini.[6] Acara tersebut terus dilaksanakan hingga hari ini sebagai amanah (sumpah) dari leluhur mereka. Peristiwa inilah yang disebut sebagai ritual adat molabot tumpe. Setelah mengantar telor itu masyarakat Batui melakukan syukuran atas ditunaikan amanah itu, inilah yang disebut dengan ritual mosawe.

Sayangnya, menurut Amir, sejarah ini hanya berupa cerita dari mulut ke mulut dan tidak ada manuskrip sehingga sangat mungkin terjadi penambahan.

 

2. Gambaran Ritual Tumpe dan Mosawe

Ritual adat tumpe adalah ritual yang diadakan dalam mengantarkan telur pertama dari para burung maleo. Bagaimana menentukan telur itu sebagai telur pertama? Masyarakat Batui memahami dari warna cangkangnya. Biasa cangkang yang berbintik-bintik, itu adalah yang lebih duluan keluar. Sedangkan telur baru cangkangnya lebih bersih.[7]  

Sayangnya saat ini, burung maleo ini telah langka. Hal ini sebabkan hutan Bangkiriang, tempat burung maleo telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Untuk mendapatkan telur itu, masyarakat Batui tak jarang harus membelinya dari daerah Bungku, Morowali[8] maupun tempat-tempat lain.[9]

Prosesi molabot tumpe, akan diawali dengan pengumpulan telur burung maleo oleh perangkat adat Batui sebanyak 160 butir. Setelah itu telur dikumpulkan di rumah ketua adat, dilanjutkan dengan menyiapkan perahu dan pengantar telur maleo sebanyak 7 orang, terdiri 3 orang dari ketua-ketua adat dan 4 orang pendayung. Sebelum diberangkatkan ke Banggai, telur maleo akan dibungkus dengan daun komunong (sejenis Daun Palma).[10] Walau dalam berbagai video tampak bahwa  rombongan pengantar telur ini berjumlah cukup banyak.[11]

Bagi masyarakat Batui belum boleh memakan telur burung maleo selama telur tersebut belum dipersembahkan (diantar) ke Banggai. Konon bila ada masyarakat Batui yang melanggar ketentuan, biasanya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya sakit. Dan bila itu terjadi dan kebetulan kulit telur maleo jatuh ke sungai atau ke laut, maka kulit tersebut akan hanyut sampai ke Banggai. Kejadian itu lazimnya akan mendatangkan hujan deras dan angin kencang.[12]

Bersambung...

 

Catatan kaki:

[1] Tentang masalah ini, bisa dibaca dalam berbagai Kitab Ushul Fiqh.

[2] Beliau adalah salah satu tokoh Batui yang tinggal di Luwuk.

[3] Hasil Interview penulis

[4] Lihat Video: Batui full Movie

[5] Lihat : https://foto.kompas.com/ photo/detail/ 2016/12/05/ 1480953089-a4a98df0-395/tumpe-ritual-menjaga-tradisi-di-batui.

[6]  Lihat video: Batui Full Movie

[7] lihat penjelasan dari seorang narator dalam video: Batui Full Movie

[8] lihat penjelasan dari seorang narator dalam video: Batui Full Movie

[9] Penulis sendiri ketika melakukan perjalanan menuju Palu mendapatkan informasi bahwa para pengumpul telur burung maleo di Sabo, Tojo Una-Una, biasa menjual telur-telur tersebut pada karyawan PT. DS LNG Batui. Hemat penulis, telur tersebut juga untuk kepentingan ritual adat tumpe.

[10]http://chesachyntia.student.umm.ac.id/2016/08/24/budaya-kota-luwuk-banggai-sulawesi-tengah.

[11] Lihat video di Youtobe yang berjudul: Melihat Rangkaian Upacara Adat Melabot Tumbe untuk Penjemputan telur Burung Maleo, News MNCTV.

[12]http://chesachyntia.student.umm.ac.id/


latestnews

View Full Version