View Full Version
Selasa, 17 Sep 2019

Aroma Liberalisme dalam The Santri

 

Oleh:

Ainul Mizan, 

Guru tinggal di Malang, Jawa Timur

 

FILM The Santri besutan Livi Zheng yang diinisiasi oleh PBNU, direncanakan akan tayang di bulan Oktober mendatang, bertepatan dengan peringatan Hari Santri (www.m.cnnindonesia.com, Senin 16/9/2019). Film ini akan dibintangi sejumlah pendatang baru seperti Azmi Iskandar, Wirda Mansur dan Veve Zulfikar.

Sinopsis film The Santri ini mengisahkan kehidupan di sebuah pondok pesantren yang lagi mempersiapkan peringatan Hari Santri. Pada momen itu pula akan diumumkan 6 orang santri terbaik yang akan diberangkatkan dan bekerja di Amerika Serikat. Pertanyaannya, mengapa yang dipilih adalah Amerika Serikat?

Hal ini sejalan dengan pernyataan Livi Zheng bahwa film terbarunya, The Santri akan dipasarkan ke Amerika Serikat. Menurutnya di Amerika Serikat akan lebih mudah menembus pasar. Sebelumnya Livi Zheng mengungkapkan bahwa ia mempromosikan eksotisme Bali di AS melalui filmnya, Beats of Paradise (www.poskotanews.com, 15 Agustus 2019).

Sedangkan Livi Zheng sendiri memang seorang sutradara dari Indonesia yang pernah meraih penghargaan “Culture Ambassador” di Amerika Serikat. Tentunya film–film besutannya termasuk The Santri menjadikan AS sebagai barometernya. Konsekwensinya di dalam film The Santri tidak bisa dilepaskan dari nilai–nilai yang sejalan dengan nilai yang berlaku di AS.

Dengan menjadikan cita–cita dan keinginan seorang santri untuk bekerja di AS, di dalam adegan film The Santri, ini saja sudah memberikan indikasi adanya propaganda menjadikan AS sebagai kiblat modernitas kaum milenial.

Di samping adanya kecenderungan yang menguat dari  kaum Muslimin, terutama kaum milenialnya untuk dekat dengan Islam. Maraknya fenomena hijrah di tengah para artis, yang menandakan kejenuhan akan gaya hidup liberal. Begitu pula, adanya sikap apatis terhadap Demokrasi yang semakin hari semakin karut marut, ditandai dengan pemerintahan yang abai terhadap rakyatnya. Di lain sisi, semakin menguatnya Islam Politik. Hal demikian bisa dilihat dari kebarakaran jenggotnya para petinggi negeri ini terhadap menguatnya fenomena bendera tauhid dan khilafah. Artinya nilai – nilai AS melemah secara drastis, kalau tidak boleh dibilang sudah tidak diminati.

Pada aspek yang lain, menguatnya China menjadi pesaing ekonomi AS di kawasan. Mega proyek OBOR China mampu memberikan tekanan ke beberapa negara dengan utang yang ditawarkannya. Indonesia pun harus kepincut dengan menandatangani 28 proyek yang akan diikutkan OBOR (www.m.liputan6.com, 29 April 2019). Parahnya, pemindahan ibu kota ke Kalimantan pun disinyalir mendekati jalur sutra OBOR.

Dengan kata lain, AS sedang sibuk memperkuat pengaruhnya dan memperbaiki citranya di Indonesia.

Langkah strategisnya adalah dengan menanamkan nilai dan peradabannya. Penulis melihat bahwa ada 2 (dua) nilai utama yang kental dalam film The Santri, yaitu Liberalisme dan Sinkretisme.

Menurut Wikipedia, paham liberalisme merupakan sebuah paham yang mencita – citakan terbentuknya suatu masyarakat yang bebas, dengan dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi individu. Maka yang lahir adalah liberalisme budaya dan perilaku.

Salah satu bentuk liberalisme budaya dan perilaku yang ada di dalam The Santri adalah aktivitas pacaran. Dibuatlah sebuah prototype baru seorang santri jaman milenial. Tidak tabu bagi mereka untuk sekedar berinteraksi dengan lawan jenis, apalagi hanya sekedar main mata.

The Santri, sebuah film yang akan dirilis di Hari Santri mendatang 22 Oktober 2019, telah menggeser jauh idealisme seorang santri. Seorang santri yang berkomitmen menimba ilmu agama dengan baik, menjaga perilaku islami, dan senantiasa berkhidmat kepada para ulama pejuang yang mukhlisin. Seketika Hadrotusy Syaikh Hasyim Asyari menyerukan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, segera kaum santri menyambutnya dengan gempita. Mereka bertekad mengusir penjajah.

Semangat mengusir penjajahan dalam segala bentuknya patutnya untuk selalu menjadi komitmen santri. Merekalah yang diharapkan menjadi pelita – pelita umat. Bukan justru kaum santri menjadikan AS sebagai kiblat pemikiran dan budayanya.

Bagaimanakah kaum santri saat ini akan menjadi pelita umat yang di tangan mereka terletak harapan besar untuk membebaskan umat dari penjajahan bila mereka dijejali dengan budaya hedonis dan liberal?

Bagaimanakah pula kaum santri akan mencurahkan pikirannya untuk kemajuan umat, bila kaum santri disibukkan dengan memikirkan cinta dan harta?

Bagaimanakah kaum santri bisa dicetak sebagai kader yang bisa menjadi contoh sebagai muslim yang bertaqwa, sementara itu perilakunya menerjang batasan – batasan syariat Islam?

Ketika propaganda liberalisme budaya dan perilaku sudah menjadi trend kehidupan kaum muda,maka masuklah propaganda liberalisme aqidah  dan keyakinan. Di dalam film The Santri ini digambarkan bahwa tatkala ke-6 santri terbaik ini diterbangkan ke AS, mereka membawa tumpeng syukuran untuk diberikan kepada para pendeta di sebuah gereja.

Memang agenda liberalisme aqidah dan keyakinan akan berhasil efektif dilakukan dengan mengajak anak–anak kaum Muslimin untuk sekadar berjalan–jalan ke luar negeri. Tentunya ke luar negeri ini adalah ke negara–negara yang menjadi kiblat modernisasi dan liberalisme seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris dan yang lainnya.

Dengan melihat keteraturan dan kecanggihan kota dan kehidupan toleransi yang bebas di sana, diharapkan mereka mempunyai pandangan yang bersahabat dengan dunia barat dan peradabannya.

Adalah Rufa’at At Tahthowi dan Khoiruddin at Tunisi yang merupakan dua pelajar muslim di era Khilafah Utsmaniyyah, dikirimkan untuk program pertukaran pelajar. Sekembalinya, keduanya kemudian menjadi corong – corong ide Nasionalisme yang selanjutnya menjadi racun mematikan bagi kesatuan wilayah ke-Khilafahan Islam.

Tidak jauh berbeda dengan Rufa’ah dan Khoiruddin at Tunisi, sekembalinya dari luar negeri, tiba – tiba mereka menjadi orang  yang inklusif dengan peradaban barat. Ambil contoh, Muhammad Abduh yang menyatakan bahwa pemerintahan Inggris itu lebih islami. Atau ungkapan yang senada dengan itu, misalnya ‘kami sudah menemukan Islam di Amerika, Jepang dan lainnya’. Biasanya di Indonesia, kalangan yang getol menyuarakan liberalisme berkedok modernism adalah kalangan Islam liberal dan kawan – kawannya.

Puncaknya, bahaya yang paling besar dari liberalisme aqidah dan keyakinan adalah sinkretisme agama. Idealisme bahwa Islam adalah satu – satunya agama yang diridhoi di sisi Alloh SWT, akhirnya luntur. Kaum muslimin tidak lagi merasa keberatan untuk sekadar mengucapkan selamat hari raya kepada penganut agama lain. Mereka bersedia untuk duduk bersama di gereja guna merayakan Hari Natal bersama. Mereka pun sudah berani mengatakan bahwa semua agama itu benar dan tidak boleh ada klaim kebenaran satu agama tertentu atas yang lain. Tentunya yang dimaksudkan adalah Islam.

Ya, mereka inilah yang akan dipasang menjadi ikon-ikon kebebasan dan permusuhan terhadap upaya perjuangan penerapan Syariat Islam secara paripurna.

Entri poin yang dituju adalah kaum muslimin itu sendiri. Mereka menjadi antipati terhadap ajaran agamanya sendiri. Tentunya hal demikian merupakan penikaman terhadap ajaran – ajaran Islam yang mulia.*


latestnews

View Full Version