Oleh:
Ainul Mizan*
ISTILAH radikalisme saat ini menjadi senjata mematikan yang begitu ampuh. Banyak orang yang menjaga jarak dengan radikalisme. Entah mulai kapan ada konvensi menstempelkan radikalisme kepada mereka yang cuman sekadar ingin menyampaikan ajaran Islam dengan apa adanya. Hasilnya memang umat Islam ini terbelah. Sebuah keterbelahan yang kontraproduktif bila ingin berbicara tentang ukhuwah islamiyah.
Suara–suara kritis dari rakyat itu mutlak dibutuhkan. Di samping itu, suara-suara kritis itu bernarasi untuk mengoreksi kebijakan dari kekuasaan. Tentunya adanya koreksi ini akan melahirkan perbaikan dalam pengurusan semua urusan rakyat. Lebih dari itu, mengoreksi kekuasaan merupakan bagian dari kewajiban di dalam ajaran Islam.
Baru–baru ini, Ganjar Pranowo menjadi berang dengan fenomena pengibaran bendera tauhid di SMK Negeri 2 Sragen (inews.id, Jumat 18/10/2019). Pengibaran bendera tauhid tersebut dilakukan oleh guru dan siswa. Bahkan ia akan menurunkan tim khusus untuk mengungkap terpaparnya paham radikal atau tidak.
Kecintaan umat Islam kepada lafadz tauhid termasuk yang ada di bendera tidak akan pernah bisa dipadamkan oleh tudingan radikalisme. Buktinya para guru dan siswa tersebut memandang bendera tauhid itu bagus milik semua umat Islam, bukan milik golongan tertentu. Lantas, apakah mereka diberikan sanksi hanya lantaran mereka bangga dengan tauhidnya?
Selalu yang digaung – gaungkan adalah terpapar paham radikal. Mengapa tudingan paham radikal itu ditujukan kepada Islam? Ajaran–ajaran Islam tentang jihad dan negara Islam dipandang sebagai paham radikal yang membahayakan.
Sesungguhnya kemerdekaan Indonesia dari penjajahan bisa diraih berkat umat Islam mengobarkan jihad melawan para penjajah. Begitu pula, tersebarnya ajaran Islam di nusantara termasuk di pulau Jawa berkat adanya dakwah yang dilakukan oleh para ulama dan mubaligh yang sengaja diutus oleh negara Islam yakni al Khilafah termasuk Kesultanan Islam yang ada di nusantara. Artinya ajaran–ajaran Islam yang dipandang radikal dan berusaha dipersekusi dengan berbagai macam cara tersebut yang sebenarnya akan mampu membebaskan Indonesia dari penjajahan dalam berbagai bentuknya.
Sementara di sisi yang berseberangan terdapat kalangan yang seolah kebal hukum. Ada Abu Janda di dalam vlognya, dengan tegasnya menyatakan bahwa bendera tauhid itu adalah benderanya teroris. Entah si Abu Janda ini mendapat bisikan dari mana sehingga dengan lantangnya menyatakan hal yang demikian. Yang pasti tudingan Abu Janda tanpa disertai dengan bukti – bukti ilmiah. Abu Janda dalam melontarkan pernyataannya justru menunjukkan akan fenomena lunturnya intelektualitas.
Yang mengherankan adalah sosok intelektual seperti Pak Lukman Syaifuddin, termasuk Pak Ganjar Pranowo ikut – ikutan latah bernada yang sama dengan Abu Janda, walaupun dengan narasi yang berbeda. Dimanakah letak intelektualitas itu?
Begitu pula pernyataan Moeldoko terkait aksi Bela Islam. Menurutnya Islam itu tidak perlu dibela. Tuhan itu tidak perlu dibela (www.cnnindonesia.com, Kamis 17/10/2019). Pernyataan seperti ini hanya menunjukkan ketiadaan keberpihakan terhadap Islam dan umatnya. Justru hanya menegaskan adanya pembiaran terhadap adanya kriminalisasi dan persekusi terhadap ajaran Islam.
Abu Janda seolah menjadi ikon akan lunturnya intelektualitas dalam menyematkan istilah terorisme dan radikalisme ini. Padahal mungkin saja Abu Janda tidak ada niatan untuk menjadi ikon di dalamnya. Akan tetapi sanksi sosial itu lebih kejam. Masyarakat bisa dengan jujur menilai siapakah yang betul–betul memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara, termasuk siapakah yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dengan mengatasnamakan rakyat, bangsa dan negara.
Memang pilihan diserahkan kepada masing – masing orang. Mengingat pilihan itu erat kaitannya dengan masalah keberpihakan. Hal ini juga berlaku bagi Abu Janda sendiri. Ia bisa mengambil pelajaran dari fragmen kisah sahabat Kholid ibnul Walid, Wahsyi dan ataukah berlaku layaknya Abdullah bin Ubay bin Salul.
Terkait sahabat Kholid bin Walid ra. Yang selalu menjadi catatan buram sejarah hidupnya adalah sumbangsihnya terhadap kekalahan kaum muslimin dalam perang Uhud. Maka ketika di masa Islam, ia benar – benar bertekad untuk mengabdikan seluruh hidupnya dalam jihad di jalan Allah SWT. Akhirnya tinta emas sejarah menuliskan kiprah perjuangannya demi Islam. Terbukti bahwa Islam telah menghapus catatan buram sebelumnya.
Sedangkan Wahsyi, seorang budak yang telah membunuh pamanda Rasul SAW yakni Hamzah bin Abdul Mutholib ra. Walaupun memang stempel sebagai pembunuh Hamzah masih melekat pada dirinya. Rasul SAW sendiri mau ditemui oleh Wahsyi untuk menyatakan keIslamannya. Hanya yang disayangkan adalah Wahsyi akhirnya bunuh diri, sesuatu perbuatan yang sangat dilarang di dalam Islam.
Dari fragmen Wahsyi terlihat bahwa tidak mudah untuk mengubah image yang sudah dibangunnya sendiri sedari awal. Ketika sedari awal dikenal sebagai kalangan pembenci Islam dan umatnya, tentu membutuhkan waktu yang panjang dan pengorbanan yang besar guna memperbaiki diri.
Di samping itu, keinginan untuk mengubah imej dari ikon negatif harus didasari oleh kejujuran dan kebenaran hati dalam ber-Islam. Tidak seperti sikap yang ditampilkan oleh sosok Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia adalah sosok dan ikon kemunafikan. Lahirnya menampakkan ke-Islamannya. Sedangkan yang ada di dalam hatinya menampakkan permusuhan terhadap Islam dan umatnya.*Penulis adalah guru tinggal di Malang, Jawa Timur