Oleh:
Ana Nazahah, Revowriter Aceh
GADGET addict di Indonesia sudah menjadi ancaman nyata. Kecanduan pada benda persegi empat ini, berpotensi depresi hingga gila.
Dikutip wikipedia.com. Kecanduan atau ketagihan adalah saat tubuh atau pikiran kita dengan buruknya menginginkan atau memerlukan sesuatu agar bekerja dengan baik. Kecanduan juga bisa dipandang sebagai keterlibatan terus-menerus dengan sebuah zat atau aktivitas meskipun hal-hal tersebut mengakibatkan konsekuensi negatif.
Berbicara tentang candu, Karl Marx pencetus dan pemilik ide marxisme, sebuah aliran komunisme juga memandang agama sebagai "candu" yang dimanfaatkan oleh kelas penguasa untuk memberikan harapan palsu bagi kelas buruh, tetapi di lain pihak, ia juga memandangnya sebagai bentuk protes kelas buruh terhadap keadaan ekonomi mereka yang buruk. Ujung-ujungnya, Marx menolak keberadaan agama.
Itulah alasan mengapa beberapa pemerintahan berhaluan Marxisme-Leninisme pada abad ke-20 seperti Uni Soviet yang kini Rusia dan Republik Rakyat Tiongkok membuat peraturan untuk memperkenalkan konsep ateisme negara. Karena mereka menganggap agama sebagai candu yang berbahaya.
Pertanyaannya, apakah benar setiap hal yang berpotensi negatif harus dipisahkan dari kehidupan, tanpa melihat sisi positifnya? Apa tidak masalah, meski itu sangat bermanfaat bagi kemajuan manusia? Lalu bagaimana dengan Muslim, apakah kaum Muslim dibenarkan meninggalkan hukum Syara', karena sejarah, fakta tertentu dan berbagai kebijakan?.
Kiranya diskursus ini perlu kita bincangkan. Dari berbagai polemik yang menimpa umat hari ini. Baik terkait kecanduan terhadap teknologi, kecanduan pada agama dan paham sekulerisme yang sedang kita emban sebagai prinsip dalam berkehidupan.
Di dalam Islam ilmu pengetahuan dan teknologi sangat diapresiasi. Selama untuk kemajuan dan kebaikan umat.
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (TQS. Az-Zumar: 9).
Namun jika teknologi berujung kepada masalah dalam kehidupan, maka wajib ada evaluasi, bahwa ada kesalahan dalam praktik penggunaan teknologi. Kemajuan teknologi tidak dibarengi dengan keimanan dan ketakwaan. Sehingga berujung kecanduan yang membahayakan.
Adapun dengan paham atheisme, yang menganggap agama sebagai candu dalam kehidupan dan menghalangi kemajuan. Semua bermula saat para- raja dan kaisar di Eropa dan Rusia pada abad ke 20 memeras, menganiaya dan menghisap darah rakyat atas nama agama dan menjadikan pemuka agama sebagai perisai untuk mencapai keinginan mereka. (Peraturan Hidup dalam Islam, Taqiyuddin an-Nabhani).
Lantas bagaimana dengan kita, mengapa mengambil sekulerisme untuk dijadikan azas dalam kehidupan? Apakah hukum Allah yang menciptakan munusia dan alam semesta tidak cukup baik dari hukum buatan manusia?
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) mana yang lebih baik daripada (hukum) Allah? Bagi orang-orang yang meyakini?” (Al Maidah : 50).
Pada kenyataannya, sekulerisme adalah biang masalah. Segala problem hidup terjadi karena manusia tidak diatur oleh aturan Sang pencipta. Sekiranya seluruh penduduk bumi bertaqwa, tentu hidup manusia tidak seruwet ini. Malah sebaliknya, rahmatan lil'alamin yang tercipta.
فَاَمَّا الَّذینَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَ اعْتَصَمُوا بِهِ فَسَیُدْخِلُهُمْ فی رَحْمَهٍ مِنْهُ وَ فَضْلٍ وَ یَهْدیهِمْ اِلَیْهِ صِراطاً مُسْتَقیماً»
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang kepada (agama)-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar (surga) dan limpahan karunia-Nya, dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” (an- Nisa : 175). Wallahu'alam.*