Oleh:
Ulfiatul Khomariah
Founder Ideo Media, Pemerhati Masalah Sosial dan Politik
TUHAN tidak perlu dibela! Narasi yang sudah lama menuai kontroversi ini kembali digaungkan lagi. Beberapa hari yang lalu, Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan bahwa Islam dan Tuhan tak perlu dibela. Pernyataan Moeldoko berawal dari pertanyaan peserta kuliah umum Tantangan Ketahanan Nasional Masa Kini. Sang peserta bertanya kepada Moeldoko apakah faktor agama mempengaruhi stabilitas negara Indonesia seperti terjadi di negara-negara Timur Tengah lewat fenomena Arab Spring.
“Apakah agama berpengaruh terhadap stability? Iya. Sekarang ini banyak yang mengklaim paling benar dengan agamanya. Dia sudah bisa mendefinisikan dengan masuk surga, orang lain masuk neraka,” kata Moeldoko dalam kuliah umum di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (17/10). Menurut Moeldoko persoalan agama sangat mempengaruhi stabilitas negara. Kemudian dia menyebut salah satu kelompok saat mencontohkan Intoleransi.
Sebagaimana yang dilansir di laman (cnnindonesia.com, 17/10/19), “mengapa harus ada apa itu Front Pembela Islam? Apa yang dibela? Ya sorry ya, aku langsung ngomong blak-blakan saja kan gitu. Memangnya Islam sedang dijajah oleh orang lain apa? Apalagi itu dibela? Tuhan kok dibela? Ngapain? Dia enggak perlu pembelaan!” Kata Moeldoko disambut tepuk tangan peserta kuliah umum.
Sebenarnya, pernyataan “Tuhan tidak perlu dibela” sudah muncul sejak puluhan tahun yang lalu. Tiga puluh tujuh tahun silam, Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur itu mencoba menyambangi pernyataan ini. Ia menulis satu kolom di majalah Tempo, Juni 1982 dengan tajuk yang sudah tidak asing lagi untuk didengar. “Tuhan Tidak Perlu Dibela.”
Tulisan Gus Dur ini kemudian sering kali dijadikan senjata oleh kelompok yang risih dengan perjuangan umat Islam bahwa “Tuhan Tidak Perlu Dibela”. Mereka seringkali menggaungkan pernyataan ini untuk meng-counter aksi dan perjuangan umat Islam yang kerap kali melakukan pembelaan terhadap agamanya. Tak luput cap intoleran, radikal, teroris, anti pluralisme, dll kerap kali dilontarkan kepada umat Islam yang membela agama-Nya. Namun apakah demikian adanya, benarkah Agama dan Tuhan tidak perlu dibela?
Agama Wajib Dibela!
Memang benar. Islam dan Tuhan tidak butuh dibela, tapi kitalah yang butuh untuk membela Islam. Kok bisa? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu tidak cukup jika hanya menggunakan aspek logika saja, tapi perlu juga melihat apa yang tertulis di dalam Al-Quran, terlebih jika kita seorang Muslim. Dan bagi yang bukan Muslim, setidaknya mereka bisa memahami mengapa kaum Muslimin tergerak untuk membela agamanya.
Perlu kita pahami, dalam kehidupan ini semua pasti membutuhkan pembelaan. Baik orang-orang lemah maupun Tuhan (atau agama) sama-sama perlu dibela, walaupun sebab pembelaannya berbeda-beda. Orang-orang kecil dan lemah dibela karena mereka tak berdaya untuk membela dirinya sendiri. Ini sesuai dengan ajaran Islam. Tuhan dan agama-Nya juga perlu dibela, karena alasan yang berbeda, bukan karena Dia lemah dan tak mampu menolong diri-Nya sendiri. Tapi karena kita memang butuh untuk membela agama-Nya.
Jadi mengapa kita harus membela Allah dan agama-Nya? Karena kita memang wajib dan butuh untuk membela dan menolong agama-Nya. Sebagaimana yang tertulis dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana ‘Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”….’ (QS 61: 14)
Kata yang digunakan pada ayat di atas adalah ansharullah yang bermakna penolong atau pembela Allah. Jadi jelas bahwa hal ini diperintahkan oleh Allah, bukan direka-reka oleh kaum Muslimin. Selanjutnya, mengapa kita butuh membela agama-Nya? Jawabannya sudah jelas, karena kita lemah dan butuh pertolongan-Nya. Saat kita membela dan menolong agama-Nya, maka itu akan menjadi jalan bagi kita untuk mendapat pertolongan dari-Nya, terutama di saat tidak ada pembela dan pelindung lain selain daripada-Nya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:
“Hai orang-orang mu’min, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS 47: 7).
“Dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di bumi dan tidak (pula) di langit dan sekali-kali tiadalah bagimu pelindung dan penolong selain Allah.” (QS 29: 22).
Semua alasan diatas dan seruan firman-Nya ini tentu sangat berarti bagi seorang Muslim, kecuali jika hatinya berpenyakit dan dipenuhi sifat munafik. Jadi sudah jelas! Kita butuh untuk membela Islam. Hal seperti ini juga sudah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat yang mengikutinya. Bahwa kita umat Muslim wajib menolong agama-Nya, karena itulah Allah juga akan menolong kita, baik di dunia maupun di akhirat.
Lalu bagaimana dengan pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan tidak perlu dibela? Tentu tidak ada yang bisa memaksa jika seseorang berpandangan bahwa Allah dan agama-Nya tidak perlu dibela dan karenanya ia menolak untuk membela-Nya. Tapi ia tentu juga tidak mengharapkan pertolongan dan pembelaan dalam hal apa pun dari-Nya, termasuk saat ia nanti mati dan menghadap kepada-Nya.
Melemahkan Kebangkitan Islam
Jika kita telusuri lebih mendalam dan sedikit peka dengan perkembangan politik saat ini. Ujung dari pernyataan Tuhan dan Islam yang tak perlu pembelaan itu adalah cara mereka untuk melemahkan kebangkitan umat Islam. Karena umat Islam dituntut untuk bersikap pasif saja. Cukup menjadi objek derita dari apa yang menimpanya. Mulai dari serangan pemikiran, invasi, ketidakadilan, perpecahan umat, kemiskinan, kebodohan, penindasan, diskriminasi, penyakit masyarakat, dan semua yang melemahkannya.
Ketika umat muslim dituntut untuk tak perlu membela agama-Nya, maka sebenarnya pula ini menihilkan makna dari iman kepada Allah itu sendiri. Mengapa demikian? Karena ketika kita beriman kepada Allah swt, maka konsekuensinya adalah kita cinta kepada Allah. Dan cinta akan menghasilkan sebuah loyalitas terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya. Ketika kecintaan dan loyalitas kepada Allah tumbuh, maka ia akan berupaya mewujudkan kerelaan untuk berkorban. Mengorbankan seluruh apa yang dimilikinya, bahkan jiwanya, untuk membela syariat-Nya, saudara-saudaranya, dan keyakinannya.
Dan cukupkah kita berdiam diri saja saat melihat agama dinistakan, umat muslim dilecehkan, rakyat kecil ditindas dan tak mendapat keadilan? Haruskah kita pasif dan bersikap apolitis terhadap semua itu? Tidak. Karena diam adalah selemah-lemahnya iman. Kanjeng Nabi SAW pernah berkata,“Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia merubah dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, jika tidak bisa juga maka dengan hatinya, itulah selemah-lemah iman.”
Diam saat ditindas, tidak punya pilihan saat diperlakukan tidak adil dan hanya berserah diri dengan keadaan, sama halnya dengan menjadikan umat ini menjadi manusia yang fatalis dan pasif. Dan ketika berhadapan dengan penyeru kesesatan, cukupkah umat diam atau paling banter hanya mendoakannya? Padahal bukan seperti ini yang dimaksud beriman kepada Allah dan agama-Nya. Mengaku beriman itu harus ada pembuktian. Dan pembuktian itu bukan hanya diyakini dalam hati saja, tapi juga harus diwujudkan dengan perbuatan yakni dengan membela agama-Nya.
Intinya, Islam itu wajib dibela, ditegakkan dan diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Kedzaliman dan kesewenang-wenangan itu harus dilawan, kebatilan dan kefasikan itu harus diluruskan. Amar ma’ruf nahi munkar itu harus ditegakkan. Rasulullah mengisyaratkan, kebatilan yang disikapi hanya dengan hati adalah tanda selemah-lemahnya iman. Dan tidak malukah kita kepada Sang Pencipta jika menghadapnya dalam keadaan selemah-lemahnya iman? Wallahu a’lam bish shawwab.*