Oleh:
Ainul Mizan
UNDANG-UNDANG kewarganegaraan India hasil amandemen telah disahkan. UU ini memberikan pengakuan kewarganegaraan kepada orang non muslim yang mengungsi ke India dari 3 negeri muslim yakni Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan. Asalkan mereka bisa menunjukkan adanya pengekangan agama yang diterimanya.
Sedangkan kepada warganya sendiri yang muslim diperlakukan dengan adanya pembuktian atas status kewarganegaraannya di India. Hal tersebut berpotensi untuk mengabaikan hak-hak warga muslim yang jumlahnya sekitar 200 juta jiwa.
Wajar bila UU tersebut disebut sebagai UU anti muslim. Jika warga minoritas non muslim dari Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan diakui hak kewargaannya, mengapa hal demikian juga tidak berlaku kepada warga minoritas muslim yang berada di India dari Sri Lanka?
Pihak Amnesti Internasional meminta agar UU kewarganegaraan tersebut dicabut. UU tersebut menciderai HAM dan pluralisme agama.
Memang sejak masa Perdana Menteri Narendra Modi, kebijakan - kebijakan pemerintah terlihat tidak memihak kepada kaum muslim.Narendra Modi pernah mengangkat seorang pendeta Hindu anti Islam yang bernama Yogi Adityanath sebagai pemimpin di Uttar Pradesh. Bahkan waktu Modi menjabat sebagai Menteri Utama di Gujarat disinyalir terlibat insiden pada tahun 2002. Insiden tersebut telah menewaskan 1000 orang muslim. Hal itu terjadi ketika ada sebuah penyerangan oleh kelompok Hindhu nasionalis terhadap pemukiman muslim Gujarat.
Narendra Modi diidentikkan dengan sebuah gerakan Hindutva. Sebuah gerakan nasionalis Hindhu yang ekstrim. Mereka menginginkan tanah India itu dikuasai oleh orang - orang Hindhu. Seorang pemimpin senior Dewan Hindhu dunia, Praveen Togadia menyatakan bahwa prosentase orang Hindhu mesti menjadi 100 persen.
Pada tahun 1925, organisasi Hindhu nasionalis, Rashtriya Swayasemvak Sangh (RSS) melancarkan propaganda Hindutva. Sebelumnya propaganda Hindutva diawali pada tahun 1923 oleh Vinayar Davordak Sanarkar, yang merupakan ideolog Hindutva lewat tulisannya "Who is a Hindhu".
Ideologi Hindutva semakin menguat ketika partai sayap kanannya, yakni Baratiya Janata memerintah pada tahun 1998. Baratiya Janata yang merupakan partainya Narendra Modi. Hal itu juga menyebabkan serangan terhadap warga kristen meningkat, di samping terhadap warga muslim.
Keadaan diskriminasi demikian tidak pernah terjadi di dalam sejarah Islam. Kaum non muslim yang mau hidup damai sebagai warga negara di dalam naungan keKhilafahan Islam mendapatkan perlindungan harta, jiwa dan kehormatannya. Merekalah yang kemudian disebut dengan warga dzimmi. Bahkan Rasululloh Saw sendiri menegaskan bahwa barangsiapa yang menganiaya seorang kafir dzimmi, maka sesungguhnya kata Rasulullah, orang tersebut telah menganiaya Rasul. Demikianlah jaminan yang didapatkan oleh warga non muslim tatkala berada di dalam naungan kekuasaan Islam.
Adalah rakyat kota Homs Syria yang notabenenya beragama Nasrani ikut berjuang bersama pasukan keKhilafahan Islam guna menghadapi serbuan pasukan salib. Mereka telah merasakan keadilan Islam.
Begitu pula tatkala terjadi penaklukan Konstantinopel, Sultan Muhammad al Fatih memperlakukan penduduknya dengan sangat manusiawi. Padahal notabenenya penduduk Konstantinopel beragama Nasrani. Entoh, Islam tidak menempatkan mereka sebagai penduduk jajahan. Mereka bukanlah sapi perah bagi sang penakluk.
Penaklukan Islam itu bersifat sebagai pembuka jalan hidayah bagi manusia. Dengan pandangan demikianlah, Islam mampu melebur penduduk asli dan warga Islam yang jadi pendatang untuk bersama membangun wilayahnya menuju kemakmuran.
Demikianlah yang dilakukan oleh Muhammad al Fatih. Dalam waktu sekejap, Konstantinopel disulap menjadi wilayah yang makmur dan maju sehingga layak menjadi ibukota bagi sebuah keKhilafahan Utsmaniy yang agung dan berwibawa.
Tentunya diskriminasi yang menimpa umat Islam termasuk umat kristen yang terjadi di India, termasuk pula yang menimpa muslim Uighur sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai kebebasan yang diagungkan selama ini. Bukankah diskriminasi demikian merupakan contoh bentuk penjajahan terhadap hak manusiawi. Karena sesungguhnya Allah menciptakan manusia itu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Memang, manusia membutuhkan keadilan dari aturan Sang Pencipta keberagaman manusia itu sendiri, Allah. Dengan demikian kerahmatan bagi alam semesta bisa terwujud.