Oleh:
Ainul Mizan, Pemerhati Sosial Politik
SEORANG artis, Tara Basro melalui akun media sosialnya, menampilkan beberapa foto dirinya yang berpose sensual. Bahkan di antara foto tersebut, terdapat pose foto tanpa busana di akun twitternya. Pada fotonya tersebut terdapat caption, "Worthy of Love" dan "Percaya sama diri sendiri" (www.kompas.com, 6 Maret 2020).
Unggahan tersebut menuai kontroversi. Humas Kominfo, Ferdinandus Setu menilai foto Tara Basro tersebut termasuk menampilkan ketelanjangan. Tambahnya, Tara Basro telah melanggar UU ITE pasal 27 ayat 1.
ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) mendesak agar Kominfo mencabut pernyataannya. Menurutnya, Kominfo telah menyebarkan rasa ketakutan dalam berekspresi. Imbuhnya, yang dilakukan Tara Basro itu bermuatan pesan melawan body shaming. Perempuan harus percaya pada dirinya.
Bahkan aktivis perempuan, Tunggal Pawestri menyatakan pandangan Kominfo termasuk misoginis dan menyalahkan tubuh perempuan.
Anehnya, pada tanggal 5 Maret 2020, Menkominfo menganulir pernyataan humasnya. Menurutnya, unggahan Basro tidak melanggar kesusilaan. Itu hanyalah bagian dari ekspresi seni.
Framing misoginis seolah menjadi hantu yang harus dihindari. Framing misoginis dipakai untuk menyudutkan pihak - pihak yang berusaha membatasi kebebasan ekspresi bagi perempuan.
Sementara pandangan misoginis merupakan pandangan kebencian terhadap perempuan. Hal demikian kebanyakan dimiliki laki - laki, walaupun ada juga perempuan yang memiliki pandangan misoginis. Bersikap sombong, egois dan kompetitif terhadap perempuan merupakan beberapa sikap dari orang misoginis.
Framing misoginis ini digunakan sebagai tameng guna menciptakan sosok perempuan yang merdeka dan bebas tanpa batasan - batasan yang tidak nyaman. Bahkan aturan agama tidak terlepas dari framing misoginis. Jika sudah demikian, tidak ada lagi yang mereka takuti.
Beberapa aturan agama (Islam) yang dituduh misoginis di antaranya kepemimpinan laki - laki atas perempuan, perempuan tidak boleh menjadi kepala negara, hak waris perempuan separoh dari laki - laki dan lainnya. Aturan - aturan tersebut dianggap lebih menguntungkan laki - laki. Lantas, mereka menuduh para ahli fiqih kebanyakan laki - laki. Jadi susah melepaskan pandangan misoginis dari aturan agama yang dihasilkannya.
Padahal jika ditela'ah lebih jujur, justru Islam telah mengangkat harkat dan martabat perempuan. Ambil contoh salah satu hadits Nabi yang menyatakan bahwa, "Surga itu berada di bawah telapak kaki seorang ibu."
Bukankah ini adalah kemuliaan bagi seorang perempuan?
Islam memberikan hak kepada perempuan untuk berpendidikan, bersosialisasi, termasuk hak waris dan lainnya.
Islam telah memberikan kewajiban dan larangan yang sama antara laki - laki dan perempuan sebagai hamba Allah. Keduanya berkewajiban melaksanakan sholat, puasa, zakat dan lainnya. Keduanya juga dilarang melakukan perbuatan dosa dan maksiat.
Pada aspek gender, Islam memberikan kekhususan kepada perempuan. Adanya kewajiban menyusui anak, mengasuhnya, masa nifas termasuk masa iddah. Bukankah aturan - aturan tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap keberadaan perempuan?
Berbeda sekali dengan jaman Yunani dan Romawi kuno akan sikapnya terhadap perempuan. Pada abad 4 SM Psedo-Demosthenes menyatakan di depan majelis warga negara, “kita harus memiliki pelacur untuk kesenangan, selir untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari, dan pasangan kita untuk memberi kita anak-anak yang sah dan menjadi penjaga setia rumah kita”.
Cukup kiranya kutipan Demosthenes memberikan gambaran akan nasib perempuan waktu itu. Betul - betul perempuan tidak berharga hanya berkutat di kasur, sumur dan dapur. Mereka tidak memiliki hak - hak sosial. Semestinya peradaban Yunani dan Romawi kuno yang layak disebut misoginis.
Dengan framing misoginis ini, mereka ingin menciptakan sosok perempuan yang baru. Perempuan yang bebas berekspresi dan berkarya seni, bahkan walau harus menampilkan ketelanjangan. Semuanya dibalut demi profesionalitas.
Terbersit satu pertanyaan, Kalau begitu, model masyarakat yang bagaimana yang ingin mereka wujudkan? Sementara para perempuannya dibolehkan untuk berpose sensual dan telanjang kalau diperlukan, demi menunjang sebuah pesan atau target yang ingin dicapainya.
Adapun yang terjadi dalam sebuah masyarakat yang bebas nilai atau sekuler, adalah kerusakan demi kerusakan.Tingginya angka kejahatan seksual termasuk pemerkosaan, menghiasi kehidupan masyarakatnya.
Seperti dilangsir oleh style.tribunnews.com, edisi 7 Maret 2019, bahwa terdapat 10 negara yang angka pemerkosaannya tertinggi di dunia. Di antaranya adalah berikut ini.
Di Amerika Serikatnya, 1 dari 3 orang perempuan mengalami pemerkosaan. Sekitar 19,3 persen perempuan, paling tidak pernah mengalami sekali tindakan pemerkosaan dalam hidupnya.
Di tahun 2017, Swedia termasuk peringkat ke-2 negara yang tingkat pemerkosaannya tinggi. 1 dari 4 orang perempuan mengalami pemerkosaan.
Sedangkan Afrika Selatan menduduki peringkat pertama tingginya angka pemerkosaan. Sekitar 500 ribu kasus dilaporkan tiap tahunnya. Menyusul kemudian ada Kanada, Australia, Finlandia, Zimbabwe dan lainnya.
Sementara itu di Indonesia, di tahun 2017 terdapat kasus kekerasan terhadap perempuan (termasuk pemerkosaan) sebanyak 348.446 kasus. Tentunya ini hanyalah fenomena gunung es. Buktinya, sampai perlu ada regulasi guna menangani tindak kekerasan terhadap perempuan ini melalui RUU PKS (pemberantasan Kekerasan Seksual). Belum lagi kasus perzinaan.
Demikianlah potret masyarakat yang meminggirkan norma agama dalam mengatur pergaulan antara laki - laki dan perempuan. Kebebasan yang didewakan telah menjerumuskannya ke dalam dekadensi moral yang akut. Alih - alih memperbaiki, framing misoginis adalah racun yang ditebarkan untuk menghambat aktifitas dakwah, amar makruf nahi munkar.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan masyarakat yang bersih berhias keimanan dan ketaqwaan adalah yang pertama, menggusur asas sekulerisme dalam kehidupan. Framing misoginis akan subur di dalam masyarakat yang sekuler. Selanjutnya, negara mengadopsi Sistem Islam tentang pergaulan laki - laki dan perempuan dalam masyarakat. Dan akan lebih sempurna kemaslahatan terwujud, tatkala negara mempunyai political will untuk menerapkan hukum Islam secara paripurna.*