"Barat itu maju karena meninggalkan agamanya. Sedangkan Umat Islam mundur justru karena meninggalkan agamanya."
(Anonim)
Sejak kapal-kapal perang AS merapat di pelabuhan karena Covid-19 dan alasan perbaikan 'dry dock', China mengambil alih patroli jalur Laut China Selatan yang sebelumnya didominasi militer AS dan sekutu regionalnya. Tak tanggung-tanggung, sebagai penguasa kawasan, China nampaknya ingin unjuk kekuatan dengan banyak melakukan manuver perang kepada para sekutu AS guna menunjukkan dominasi China terhadap kepemilikan wilayah perairan laut China Selatan. Hingga kini, tensi ketegangan yang terjadi antara dua negara adidaya dunia dan kawasan itu makin memanas.
China setidaknya telah mengambil beberapa peran provokatif dengan melibatkan diri dalam konflik kecil dengan beberapa negara sekutu regional AS yang terhubung di perairan selama periode pandemi. Sebagai negara yang mengklaim memiliki batas teritorial sendiri atas hak bersejarah di wilayah Laut China Selatan, China membuat sembilan titik garis batas putus-putus atau yang disebut 'nine dash line'. Sembilan garis batas yang dihubungkan dari Pulau Hainan tersebut mengklaim wilayah seluas 2 juta km persegi di Laut Cina Selatan sebagai wilayah China, sehingga mengambil kurang lebih 30% laut Indonesia di Natuna, 80% laut Filipina, 80% laut Malaysia, 50% laut Vietnam, dan 90% laut Brunei.
Hal ini bertentangan dengan keputusan Pengadilan Arbitrase Tetap Internasional (Permanent Court of Arbitration/PCA) yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang telah memutus China melanggar kedaulatan Filipina berdasarkan the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982.
Harta Tersembunyi Laut China Selatan
Laut China Selatan merupakan perairan yang mencakup banyak negara di Asia Tenggara. Kekayaan yang terkandung di dalamnya seperti perairan dengan hasil perikanan yang menggiurkan, cadangan minyak dan gas yang diperkirakan oleh pejabat AS setara dengan cadangan minyak di Meksiko, bahkan merupakan cadangan minyak kedua terbesar setelah Arab Saudi. Laut ini juga sekaligus salah satu laut yang paling penting secara strategis dan paling diperebutkan di abad ke-21.
Bagian utara laut ini mencapai pesisir China, yang mengklaim haknya atas perairan ini secara historis sejak beberapa abad yang lalu. Kini, Beijing mengklaim lebih dari 95 persen Laut China Selatan dan mengandalkan kawasan tersebut sebagai pemasok 85 persen impor minyak mentah China. China juga mengklaim pulau-pulau kecil di Laut China Selatan dan telah membangun sekitar 1.300 hektar lahan untuk menopang sebagian besar infrastruktur militer, termasuk landasan pacu yang cukup panjang untuk bisa menampung pesawat pengebom.
Selama berabad-abad, Laut China Selatan memegang peranan penting bagi keberlangsungan ekonomi negara-negara di sekitarnya, yaitu Vietnam, Malaysia, Brunei, Filipina, bahkan Indonesia. Kawasan perikanan Laut Natuna yang berbatasan dengan Laut China Selatan juga menyimpan cadangan gas alam penting bagi Indonesia. Hal ini juga menarik minat bagi negara-negara yang tidak mengklaim kawasan tersebut untuk andil dalam memanfaatkan seluruh potensi Laut China Selatan yang cukup berharga.
Korea Selatan dan Jepang misalnya, meski keduanya tidak mengklaim kepemilikan atas Laut China Selatan, namun kedua negara ini mengandalkan kawasan bebas di wilayah tersebut untuk memenuhi lebih dari separuh kebutuhan energi mereka. Amerika Serikat tentu saja, sebagai negara pengusung kapitalis tak akan tinggal diam. Dengan alasan melindungi kebebasan jalur navigasi dan mengamankan kepentingan negara-negara sekutunya, Amerika mempertahankan kehadiran militernya dalam jumlah besar di kawasan tersebut. Angkatan Laut AS bahkan telah menempatkan beberapa kapal induk dan kapal perang untuk rutin berpatroli di sekitar perairan dan berencana meningkatkan jumlah armada Pasifik yang bertugas di luar negeri hingga sekitar 30 persen pada tahun 2021.
Peran Muslim dalam Penguasaan Maritim
Negeri-negeri muslim hari ini mengalami kemunduran yang sangat jauh dari kemajuan yang pernah dicapainya dahulu ketika peradaban Islam masih berkuasa. Kemunduran yang paling terasa salah satunya adalah dari lemahnya visi maritim yang diemban oleh masing-masing negeri muslim yang kini telah tersekat di lebih dari 50 negara bangsa. Kaum muslimin jauh tertinggal tidak hanya dalam penguasaan teknologi maritim dan alutsista militer di lautan, berbanding terbalik dengan negara-negara besar seperti Amerika dan China. Mereka juga banyak tersibukkan dengan urusan teknis seperti sengketa batas maritim dan kini harus berhadapan dengan penyelesaian covid-19 yang mengharuskan beberapa negeri muslim memotong anggaran militernya.
Jika kita kembali ke periode keemasan peradaban Islam, kita akan menjumpai bahwa armada militer laut kaum muslimin sesungguhnya adalah armada yang sangat diperhitungkan. Dalam satu dekade sejak penaklukan Mesir, umat Islam sudah berhadapan dengan Byzantium (Kekaisaran Romawi). Dalam persaingan itu, umat Islam berhasil menguasai Laut Tengah bagian timur, yakni Cyprus sekitar tahun 30 H (649 M), dan Rhodes pada tahun 52 H (672 M). Padahal saat itu Kekaisaran Romawi memiliki armada angkatan laut yang hebat dan kuat di Laut Tengah. Mereka menjadi salah satu kekuatan militer terkuat di dunia pada zamannya.
Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill dalam karyanya Islamic Technology: An Illustrated History menjelaskan,
"Bangsa Arab sangat cepat menanggapi kebutuhan akan angkatan laut yang kuat untuk mempertahankan dan mempersatukan daerah kekuasaannya." Mu'awiyah dari dinasti Umayyah tercatat sebagai pendiri armada angkatan laut Islam. Mu'awiyah memiliki lima puluh armada laut yang tangguh. Pasukan laut inilah yang akhirnya berhasil menaklukkan Cyprus (649 M), Rhodes (672 M), dan kepulauan lainnya di sekitar Asia Kecil.
Dengan penaklukan Afrika Utara (647 M- 709 M) dan Spanyol (705-715 M), sekitar 40 tahun kemudian, armada angkatan laut Islam di seluruh Laut Tengah menjelma sebagai yang terkuat dan tak terkalahkan hingga dua abad berikutnya. Pasukan ekspedisi dari Afrika Utara menduduki Sisilia pada tahun 211 H (837 M). Angkatan laut tersebut bahkan masuk ke wilayah pantai Italia dan Prancis Selatan.
Beberapa abad kemudian, saat Kesultanan Ustmani (Ottoman) menaklukkan Konstantinopel (ibu kota Kekaisaran Byzantium) pada tahun 1453, pemerintahan Ustmani mulai mengembangkan Istanbul (kota Islam) sebagai pusat pelayaran. Bahkan, Sultan Muhammad II menetapkan wilayah perairan Golden Horn sebagai pusat industri dan gudang persenjataan maritim. Dia juga mengangkat komandan angkatan laut, Hamza Pasha, untuk membangun industri dan gudang persenjataan laut.
Kesultanan Ustmani juga membuat sebuah kapal di Gallipoli Maritime Arsenal. Dengan komando Gedik Ahmed Pasha (tahun 1480 M), Kesultanan Ustmani bahkan memperkokoh basis kekuatan lautnya di Istanbul. Maka tak heran, jika marinir Turki mendominasi Laut Hitam dan menguasai Otranto. Di era kekuasaan Sultan Salim I (1512 M-1520 M), Kesultanan Turki Ustmani memodifikasi pusat persenjataan maritim di Istanbul. Pada masanya, pembangunan dan perluasan pusat persenjataan maritim dilakukan dari Galata sampai ke Sungai Kagithane di bawah pengawasan Laksamana Cafer. Pembangunan dan perluasan ini rampung pada tahun 1515 M. Proyek besar ini menyedot dana hingga sekitar 50 ribu koin.
Selain mengembangkan pusat persenjataan Maritim Istanbul, Sultan Salim I juga memerintahkan membuat beberapa kapal laut berukuran besar. Selang beberapa tahun kemudian, sebanyak 150 unit kapal selesai dibuat. Dengan kekuatan yang dahsyat itu, Sultan Salim I pernah mengatakan, "Jika Scorpions (pasukan Kristen) menempati laut dengan kapalnya, jika bendera Paus dan raja-raja Prancis serta Spanyol berkibar di Pantai Trace, itu semata-mata karena toleransi kami.”
Dengan memiliki armada kapal laut terbesar di dunia pada abad ke-16 M, Turki Ustmani telah menguasai Laut Mediterania, Laut Hitam, dan Samudera Hindia. Tak heran, bila kemudian Turki Ustmani kerap disebut sebagai kerajaan yang bermarkas di atas kapal laut. Ambisi Sultan Salim I menguasai Lautan akhirnya tercapai. Bahkan, sekembalinya Sultan Salim I dari Mesir, ia berpikir kembali akan pentingnya membangun kekuatan di lautan yang lebih kuat. Sebelumnya, kekuasaan Ustmani Turki telah menguasai pelabuhan penting di Timur Mediterania, seperti Syiria dan Mesir. Gagasan Sultan Salim I ini terus dikembangkan oleh sultan-sultan berikutnya. Berkat kehebatannya, Turki Ustmani sempat menjadi adikuasa yang disegani bangsa-bangsa di dunia, baik di darat maupun di laut.
Pentingnya Memahami Visi Maritim Islam
Umat Islam menanggung kompensasi yang sangat besar ketika meninggalkan ajarannya. Penerapan syariat secara kaffah yang pernah berlangsung sepanjang 1300 tahun peradaban Islam yang penuh kemajuan seharusnya mampu menyadarkan umat hari ini akan kondisinya yang terpuruk. Demikian juga yang terjadi saat ini, di mana kemunduran di segala bidang demikian terasa dan membuat umat ini tidak lagi memiliki taji dan wibawa di hadapan bangsa-bangsa yang banyak memerangi Islam dan kaum muslimin.
Kesadaran akan politik luar negeri Islam sebagai bagian dari ajaran Islam, yakni menyebarkan Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad, merupakan visi maritim Islam di masa emas peradaban Islam. Visi inilah yang menginspirasi para khalifah dan ksatria-ksatria Islam untuk bangkit dan berjuang meluaskan kekuasaan Islam agar risalah Islam menerangi dunia. Visi maritim berbasis akherat ini menjadi spirit yang menguatkan dan menjadi daya dorong bagi tentara-tentara Islam untuk bersungguh-sungguh(badilan juhdi) dalam setiap penaklukan(futuhat).
Kesadaran politik Islam juga memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap kemajuan maritim Islam. Bagaimana keagungan dan kecemerlangan Islam jauh lebih diprioritaskan oleh para pelaut Islam saat membesarkan dunia kemaritiman Islam. Kita lihat pada visi Bapak Maritim Islam seperti Mu'awiyah bin Abi Sofyan yang memperkuat armada laut agar bisa mewujudkan bisyarah(kabar gembira) dari Nabi akan penaklukkan Konstantinopel di seberang lautan. Kesadaran politik Islam juga mengilhami para pahlawan maritim dalam meluaskan wilayah kekuasaan Islam dan mengembangkan berbagai teknologi kemaritiman seperti alat navigasi, astrolob dan sebagainya.
Sangat terasa bahwa visi maritim inilah yang hari ini juga memperkuat dominasi negara-negara adidaya dalam memperebutkan teritorial Laut China Selatan. Seperti China dengan visi Belt And Road Initiative(BRI) atau Amerika dengan visi penguasaan dunia dengan hegemoni penjajahan kapitalisnya. Kita bisa melihat bagaimana mereka tidak mengindahkan sama sekali hukum internasional tentang pengaturan batas wilayah maritim yang telah disepakati secara internasional.
Islam dengan visi maritimnya akan memberikan penjagaan penuh terhadap wilayah batas teritorial negara dengan mengerahkan mujahid-mujahid yang bersiap berjaga dengan ketinggian keimanan di perbatasan (Ribath). Sebagaimana sabda Nabi saw :
رِبَاطُ يَوْمٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا
“Ribath (bersiap siaga) satu hari di jalan Allah lebih baik dari dunia dan apa saja yang ada di atasnya.” (HR Bukhari).
Dengan visi maritim tersebut, Islam tidak hanya akan menjadi kuat dan berpengaruh, namun juga akan disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Wallahu 'alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google