Oleh: Alga Biru
“Hukumnya dibecandain, komedinya dibaperin”, tulis netizen membela Bintang Emon lewat tagar twitter #BINTANGEMONBESTBOY. Ternyata benar kata orang-orang tua dulu bahwa ada dua hal yang menjadi ciri khas orang Indonesia.
Pertama, suka kasihan.
Kedua, suka lawakan.
Namun lawak politiknya sudah keterlaluan. Kita berada pada suatu titik yakni mencandai penegakan hukum dan menyeriusi sentilan anak muda. Rupanya kelakuan Muhammad Nuh nge-prank motor bertandatangan presiden itu masih kurang lucu untuk kita tertawakan Andaikan buta sebelahnya mata Novel Baswedan tidak nyata, tentulah kita tidak perlu ambil pusing.
Selucu apa penegakan hukum kita? Selucu Rika Sonata (Oktober 2018) terdakwa penyiraman air keras dihukum 12 tahun, Heriyanto (Juli 2019) malah lebih parah karena dikenai hukuman 20 tahun penjara, lalu tiba-tiba terdakwa kasus Novel Baswedan hanya dihukum 1 tahun penjara.
Novel Baswedan berkicau lewat akun pribadinya, “Saya juga tidak yakin kedua orang itu pelakunya. Ketika saya tanya penyidik dan jaksanya mereka tidak ada yang bisa jelaskan kaitan pelaku dengan bukti. Ketika saya tanya saksi-saksi yang melihat pelaku dibilang bukan itu pelakunya. Apalagi dalangnya? Sudah dibebaskan saja daripada mengada-ada.”
Entahlah, berangkali rasa kasihan jaksa terpanggil di tengah kejanggalan-kejanggalan “tidak sengaja” yang melingkupi kasus ini. Sungguh kasus yang lucu.
Sekarang Bintang Emon yang jelas-jelas menghibur itu dicari-cari kesalahannya. Dibilang dia pakai narkoba oleh akun-akun siluman yang pengikutnya sekian orang. Bahkan seandainya Bintang Emon benar seorang pemakai narkoba, tentu tidak menjadikan dia kehilangan hak berpolitik dengan gaya lawakannya. Bisakah melawak membentuk perlawanan?
Edukasi politik Indonesia lewat kanal twitter banyak diwarnai para komika dan komedian lewat sentilan-sentilan mereka dengan berbagai tema dan gaya. Perang meme bertebaran dan menebas nalar kita. Tidak penting apa pun wasilahnya, kita butuh dicerdaskan dengan gaya semudah mungkin. Seperti para politikus pun sering mengalihkan perhatian kita pada hal-hal yang tidak esensial dan melupakan persoalan utama yang sebenarnya.
Jangan biarkan buzzer politik memecah konsentrasi dari perjuangan politik yang lurus. Indonesia punya banyak PR yang sering dibiarkan terkubur sampai akhirnya menjadi misteri seumur hidup. Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Hitler pernah berkata, "Tebarkan terus kebohongan secara masif, akhirnya itu akan jadi 'kebenaran'."
Jangan sampai kita kebobolan nalar untuk kesekian kalinya. Kasus ini bermula bagaimana Novel Baswedan selaku orang dalam KPK berusaha menguak kasus korupsi kelas kakap di negeri ini. Sebelum beliau sempat menjalankan tugas-tugasnya, dua orang pengendara motor (yang hari ini dikenal sebagai terdakwa) menyiram beliau dengan air keras dan membutakan sebelah matanya.
Hampir 3 tahun kasus berlalu -bahkan sudah dijanjikan macam-macam oleh presiden-, namun kasus ini berakhir seperti ampas dan rasa janggal bagi banyak orang. Derivatnya adalah sang Bintang Emon yang hari ini dikriminalisasi entah oleh siapa. Syukurlah, sebelum fitnah itu merebak, netizen Indonesia tampil melakukan serangan balik (counter) di sosial media.
Sebesar apa kasus dan otak di belakang kasus ini sebenarnya? Mungkinkah permainan kotor korupsi kita telah menggurita sedemikian rupa? Biar saja terbongkar semuanya, daripada nalar kita yang dikorbankan. Sungguh lucu jadi orang Indonesia. Lawakan saja banyak yang curiga, sedangkan koruptor bebas berkeliaran di luar sana. Komedi ialah kejenakaan yang meresahkan nalar kita. Tinggal kita mau membawanya ke mana, menyuarakan keadilan ataukah mencampakkannya? Wallahu’alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google