Oleh: Vivin Indriani
Tayangan BBC Indonesia siang ini mengangkat topik soal Guru Menangis dari Jepang. Dalam kelas yang diselenggarakannya, dia mengajak orang-orang untuk belajar menerima emosi dan berdamai dengannya. Metode Rui-Katsu yang artinya mencari air mata adalah satu aktivitas yang jarang dilakukan masyarakat Jepang modern karena kurikulum pendidikan di Jepang banyak memberikan larangan untuk menangis.
Tujuan dari seminar ini adalah membuat orang terutama Japanese People lebih bisa mengungkapkan perasaannya secara lega lewat tangisan. Ada sekitar 50.000 orang yang telah berhasil 'menangis' dari keseluruhan siswa di kelas tersebut. Diantara mereka ada yang menyatakan bisa menemukan diri mereka sendiri dan menjadi lebih lega setelah menangis. Mereka juga lebih bersemangat setelah menangis dan merasa lebih mudah menemukan mood baru.
Dalam hati, saya gak habis pikir. Kenapa ada bangsa yang memiliki sebuah kondisi susah untuk menangis? Sementara kemajuan pengetahuan dan teknologi berada dalam genggaman. Apakah ini imbas dari jauhnya mereka dengan Tuhan? Yang saya tahu Jepang memang salah satu negara yang menjadikan agama sebatas formalitas belaka. Sehingga emosi yang dihadirkan oleh adanya Naluri Berketuhanan(Gharizah Tadayyun) melemah dengan sendirinya dan membuat ketergantungan kepada Zat yang maha kuat, lebih kuat dan lebih besar untuk kita bergantung, menjadi lemah dan menipis. Inikah juga yang menjadi salah satu sebab angka bunuh diri di sana sangat tinggi?
Lalu saya teringat satu bab di dalam kitab tentang nutrisi untuk jiwa dan sikap karangan seorang Mujtahid dan ulama besar Syeikh Taqiyyuddin An Nabhani, Min Muqowwimat Nafsiyah Islamiyyah. Pada bab VI dengan judul Menangis Karena Takut dan Ingat Pada Allah, ada beberapa dalil yang menggambarkan kehidupan Rasulullah dan para Sahabat. Dikisahkan di sana bahwa dari sekian lautan hikmah tentang keutamaan dan kegemilangan perjalanan hidup dan perjuangan mereka, kita dapati bahwa mereka adalah orang-orang yang mudah menangis.
Menangis di sini bukan menunjukkan kelemahan, bukan pula gambaran pribadi yang cengeng dan mudah menyerah pada kehidupan. Justru tangisan Rasulullah dan para Sahabat adalah tangisan kekuatan ruhiyah. Gambaran kesadaran dalam akal mereka, bahwa hidup ini sesuatu yang harus dijalani dengan sungguh-sungguh dan penuh rasa tanggung jawab. Dari tangisan mereka kita belajar, seberapa takutnya para sahabat ini akan pengadilan di akherat. Mereka tumbuh menjadi sosok yang kuat dalam menegakkan agama Allah. Pribadi yang tak gentar pada musuh Allah, seolah ketakutan mereka pada musuh dan kematian, amat kecil nilainya dibanding rasa takut pada kehidupan yang jauh dari keridhaan Allah SWT.
Kita dapati satu kisah yang diceritakan oleh Ibrahim, putra dari Abdurrahman bin Auf. Beliau adalah seorang sahabat yang Allah berikan padanya kunci-kunci perbendaharaan harta di dunia. Dalam kisahnya, sang Ayah yakni Abdurrahman bin Auf pernah menangis tersedu-sedu saat akan menikmati hidangan makanan di atas meja untuk berbuka puasa. Sang Ayah mengenang perjuangan Mush'ab yang terbunuh di jalan dakwah dan hanya membawa kain kafan yang tak cukup menutupi seluruh badannya di akhir usianya.
Lalu ada Hamzah yang telah syahid di jalan dakwah dengan luka dan tusukan yang cukup mengerikan dalam peperangan melawan kafir Qurays. Dalam perenungannya, Abdurrahman bin Auf menangisi kondisinya yang bergelimang harta dan merasa tak cukup amal-amalnya dibanding sahabat-sahabat Nabi yang telah mendahuluinya. Ibrahim menceritakan, Sang Ayah terus menangis sampai-sampai tak menghiraukan lagi hidangan berbuka yang ada di hadapannya.
Gambaran kegemilangan dan karya besar para Sahabat tentu saja tak bisa kita ragukan lagi kecemerlangannya. Namun di balik semuanya, mereka juga pribadi yang sangat lembut hati dan jiwanya. Menangisnya mereka karena takut pada Allah dan harapan kehidupan yang selamat di akherat kelak, tak lantas melemahkan perjuangan mereka. Justru sebaliknya. Islam bisa tegak menjadi institusi dan peradaban besar yang berjaya justru dari tangan-tangan dan buah karya mereka. Inilah gambaran menyatunya konsep hidup yang tidak memisahkan antara dunia dengan akherat. Dunia adalah ladang bagi akherat. Bekal di akherat, diambil dari perjuangan di dunia. Berhasil dan jaya di akherat kelak adalah cita-cita dan harapan yang mereka persiapkan di dunia ini dengan sungguh-sungguh.
Lalu bagaimana dengan kita?
Adakah kita hari ini telah sedemikian rupa mempersiapkannya? Atau kita sibuk seperti gambaran masyarakat Jepang yang lebih fokus mempersiapkan kesuksesan materi duniawi, sementara aspek penentu kesuksesan ukhrawi kita siapkan seadanya atau bahkan tak ada persiapan sama sekali. Jika demikian, kita perlu belajar dari Jepang dan masyarakatnya hari ini. Bahwa mengejar dunia itu sangat melelahkan. Sukses dunia tak menjamin kebahagiaan dan ketentraman hakiki. Bahkan kadang ada rasa kosong ketika semua pencapaian telah ada dalam genggaman. Bukankah dunia seperti air laut, yang makin diminum akan membuat kita makin haus?
Atau kita memilih seperti Rasulullah dan para Sahabat? Yang mengabdikan seluruh potensi yang dimiliki, untuk bekal kehidupan di akherat kelak. Sehingga dari sikap inilah, Allah anugerahkan untuk kita kesuksesan dunia, yang profitnya bisa tetap kita rasakan di akherat kelak. Sesuatu hal yang sangat mudah dituliskan dan diucapkan, namun pasti berat untuk dilaksanakan. Apalagi dalam kondisi lingkungan yang menuntut kita menghamba sepenuhnya pada tuntutan realitas duniawi.
Semoga kita bisa meniru para Sahabat, dan berhasil sepenuhnya dalam dua periode kehidupan yang digariskan Allah untuk kita, sukses dunia, sukses akherat. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google