Oleh: Lisia Faris, S.E.
Tanggal 1 Mei diperingati sebagai May day, hari buruh Internasional. Pada hari itu para buruh sepakat tidak bekerja seperti biasanya. Mereka menggelar hajatan akbar lain: demo. Dengan komando organisasi serikat pekerja yang menaunginya, mereka memobilisir para buruh di berbagai daerah dengan satu aspirasi sederhana, yakni peningkatan kesejahteraan buruh. Bisa dipastikan setiap tahun agendanya membaca tuntutan yang sama. Seputar kenaikan upah, kelayakan kondisi kerja, dan semacamnya. Mereka melakukannya dengan konsisten.
Tapi, meski sudah rajin demo, kondisi buruh tidak juga membaik. Padahal kali ini mereka tidak hanya demo di bulan Mei, tapi juga di bulan-bulan lain. Bulan Oktober kemarin misalnya, terjadi beberapa gelombang besar demonstrasi buruh di Indonesia. Di tengah pandemi covid-19 yang masih mengintai, mereka nekat demo. Menolak UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (UU Cilaka) yang disinyalir sangat merugikan buruh.
Anehnya, pergolakan panas yang digadang sebagian pihak mampu menggoyang rezim itu sekarang berhenti sama sekali. Menghilang secara misterius. Padahal demo berjilid itu sudah diberitakan oleh media asing sekelas New York Times. Headline-nya pun sengaja dipilih yang serem “Indonesia’s Parliament Approves Jobs Bill, Despite Labor and Environmental Fears”. Kabarnya saat ini malah muncul klaster baru penyebaran covid-19, hasil demo buruh waktu itu. Dinamai klaster demo.
Jika ditelusur, tradisi demo dan mogok kerja pertama kali terjadi di Amerika tahun 1806 oleh para pekerja di pabrik sepatu Cordwainer. Konon mereka dipaksa kerja 20 jam sehari dengan upah minim dan kondisi kerja yang tak layak. Ternyata, para buruh telah begitu konsisten memperjuangkan nasib mereka selama lebih dari 200 tahun. Mirisnya, meski sudah lebih dari dua abad berusaha, realitanya kesejahteraan buruh masih minim. Nyaris tanpa perubahan berarti.
Apa yang Salah dengan Demo Buruh?
“The fox knows many things, but the hedgehog knows one big thing “. Parabel dari Archilochus, penyair Yunani Kuno ini menggambarkan paradoks antara rubah (fox) dan landak (hedgehog). Rubah terkenal punya banyak ide acak untuk menyerang sedangkan landak hanya memiliki satu cara andalan untuk bertahan, yaitu menggulung tubuhnya yang dilindungi duri tajam. Apapun jenis ancaman yang datang, dia cukup menggulung tubuhnya. Strategi ini selalu berhasil. Konsisten sekali.
Menurut Jim Collins dalam buku Good to Great, untuk menjadi hebat, perusahaan perlu memiliki satu konsep sederhana yang terpadu. Konsep yang lahir dari filosofi perusahaan ini harus terus dilakukan secara konsisten, sehingga menjadi core competency yang menjadi kekuatan unggulannya (hedgehog). Sebaliknya, hindari perilaku acak dan inkonsisten di luar kompetensi intinya (fox).
Apakah tidak berubahnya nasib buruk buruh lebih dari dua ratus tahun itu karena secara tidak sadar mereka sudah mempraktikkan hedgehog concept dengan cara yang salah? Bisa jadi. Seharusnya, semua kondisi ini mampu membuat para buruh berhenti sejenak dan merefleksi diri. Apa yang salah dan bagian mana yang harus diperbaiki.
Setiap aturan dan kebijakan yang diterapkan di sebuah negara pasti merupakan derevasi, turunan dari satu konsep pemikiran induk, itulah ideologi. Tak terkecuali aturan sistem penggajian buruh. Standar gaji buruh saat ini dihitung berdasarkan total biaya kebutuhan hidup (living cost) terendah. Biasanya dihitung selama sebulan, tergantung wilayahnya.
Jadi, selama ini para buruh tidak menerima perhitungan gaji yang sesungguhnya, tapi hanya sekadar untuk mempertahankan hidup. Itupun pada level minimal. Inilah konsep khas ideologi kapitalisme dalam menggaji buruh. Dengan konsep ini, mungkinkan nasib buruh berubah sejahtera? Meski konsisten bekerja seumur hidup dan demo ratusan tahun?
Padahal, jika mereka mau sebentar saja mendengar dan memahami dengan seksama, ada solusi solutif untuk mengakhiri keterpurukan buruh. Inilah sistem ekonomi Islam, aturan yang tidak berasal dari akal manusia yang serba lemah dan terbatas. Tapi berasal dari Allah Maha Kaya Sang Pengatur Semesta. Sistem penggajian dalam Islam ditentukan oleh nilai atau manfaat jasa yang diberikan pekerja, bukan biaya hidup minimal. Pekerja dengan skill tinggi, yang mampu memberikan nilai jasa lebih besar, tidak akan disamakan gajinya dengan yang kurang kompeten. Maka, tidak akan terjadi ekspoitasi majikan (perusahaan) terhadap pekerja. Negara juga tidak perlu repot menentukan besaran upah minimum wilayah, baik itu UMR/UMP/UMK.
Selain itu, negara juga segera hadir jika terjadi kezaliman. Misalnya dalam kasus yang selama ini lazim terjadi, berupa perusahaan mengurangi hak buruh, ketidakadilan kontrak kerja, menunda-nunda pembayaran gaji, dll.
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezaliman (HR al-Bukhari dan Muslim).
Negara akan segera mengambil tindakan tegas, tidak akan takluk kepada para kapitalis. Seperti yang saat ini terjadi, penguasa justru berselingkuh dengan para pengusaha culas memuluskan berbagai aturan zalim yang merugikan rakyat. Para pekerja juga tak perlu membayar berbagai iuran asuransi yang memberatkan. Karena semua fasilitas publik standard sudah disediakan negara sebagai bentuk riayah kepada warganya. Itulah sistem ekonomi Islam yang merupakan salah satu pilar negara yang menerapkan Islam kaffah. Tidak rindukah kita pada institusi yang menerapkan sistem pemerintahan yang adil dan menyejahterakan ini? (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google