Oleh: Khamsiyatil Fajriyah
One Day One Book kali ini membahas buku best seller Ben Shapiro, seorang penulis muda, berjudul How to Destroy America in Three Easy Steps. Barangkali kita mengira buku ini berisi tips-tips untuk menghancurkan Amerika. Karena di lubuk hati yang paling dalam, siapa pun yang tahu akan sikap sok negara ini dalam segala hal, dari kehebatan hingga kebejatannya tentu berharap negara ini segera hancur.
Ternyata eh ternyata, Ben Shapiro menyuguhkan pembaca hal sebaliknya. Sebagai seorang pendukung partai Republik, dia menunjukkan bagaimana cara memperkuat Amerika yaitu dengan tiga pilar, yang harus dimiliki negara. Philosophy (ideologi atau cara pandangnya tentang kehidupan dengan segala aspeknya), Culture (kebiasaan hidup yang telah berakar kuat selama ratusan tahun sebagai sebuah bangsa), dan Historynya (sejarah, segala keberhasilan yang pernah diraih AS). Dan untuk menghancurkannya, lakukan yang sebaliknya.
Menurut Si Ben, penjagaan Philosophy ada di kubunya. Harap maklum, dia yang berdiri di sisi partai Republik, menganggap kubunya adalah kubu Unionist, kubu yang menyatukan bangsa, memperkuat bangsa. Masih menurutnya, kubu Republik lah yang selama ini menjaga filosofi Amerika, menjaga hak-hak asasi warga negara dan kesamaan warga negara di hadapan hukum. Dan Demokrat telah melakukan sebaliknya, menghancurkan hak asasi dan menganggapnya tidak ada dengan menjadikan negara sebagai institusi yang mewujudkan hak asasi.
Philosophy yang dijalankan dan menjadi culture Amerika, kedua partai besar ini masih juga berbeda. Meskipun demikian berbeda, sebenarnya keduanya masih sama. Sama-sama berpegang teguh pada sekularisme. Jadi, kita tidak perlu heran bila melihat Trump dan Biden sangat berbeda bahkan terjadi konfrontasi, tetapi tidak terjadi perubahan di negara mereka. Dan seperti sudah terpola, kemenangan dua partai besar ini bergiliran. Pemilu empat tahun yang lalu di kubu Republik, kali ini yang menang Demokrat, dan Republik pasti akan mendapat giliran selanjutnya.
Di bagian history, terbongkarlah apa yang menjadi sejarah perjalanan ideologi dan culture Amerika. Di buku An Economic Interpretation of the Constitution of the United States yang super best seller karena telah terjual 11 juta buku, karya Charles Austin Bears, para pendiri negara Amerika menyusun Piagam dan Undang-undang negara sebenarnya hanyalah untuk kepentingan dan keuntungan mereka. Tak heran bila Amerika yang baru keluar dari isolasi diri di perang dunia kedua, berdiri sebagai "wakil" negara kapitalis abad 20 yang selalu berambisi menjadi satu-satunya negara "pemegang" dunia.
Bahkan di buku karya Howard Zinn, People's History of the United States, sepanjang sejarah Amerika selalu melahirkan hirarki, antara penakluk dan yang ditaklukkan, tuan dan budaknya, pengusaha dan buruhnya. Dalam sejarahnya, demokrasi Amerika adalah oligarki. Tak salah bila sejak awal kelahirannya, demokrasi dibaca akan menjadi oligarki. Dan bagi negara-negara pengikutnya, konsekuensi berdemokrasi yang kemudian menjadi oligarki, menjadikan kapitalis semakin menguat dan rakyat semakin melarat.
Kemudian, bagaimana dengan Islam? Sebagai risalah yang sempurna yang diturunkan oleh Allah sebagai Rahmat bagi seluruh alam, Islam adalah sebuah sistem hidup. Aqidah Islam sebagai dasar pelaksanaan syariah, aturan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan, selalu mampu memecahkan seluruh masalah. Dalam penegakan syariah dalam sebuah institusi negara, manusia selalu merasakan hikmah, ketentraman hidup dan kebahagiaan.
Negara yang menegakkan syariah akan merealisasikan semua tujuan syariah(maqoshidussyara') yang membawa kemaslahatan bagi muslim dan non muslim. Terjaganya hidup manusia, akal manusia, keamanan, harta, kehormatan. Bila ditaklukkan suatu negeri agar tunduk pada hukum Islam, tendensinya adalah agar mereka juga merasakan fitrah sebagai hamba Allah. Bukan dalam rangka mengeruk kekayaan dan mencari keuntungan duniawi. Semua berjalan sepanjang sejarah penegakannya selama 13 abad lebih.
Bila kebenarannya sudah tidak bisa dibantah lagi dan dalam perjalanannya membawa kebaikan, maka menolak Islam untuk kembali diterapkan secara kaffah, jelas adalah kerugian. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google