Padahal kalau membaca kritis moderasi beragama di Indonesia maka akan terlihat hubungannya dengan proyek global Barat.
Oleh:
Rahmi Surainah, M.Pd || Alumni Pascasarjana Unlam
DUA tahun terakhir, moderasi kembali marak menjadi perbincangan. Terutama sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencanangkan tahun 2019 sebagai Tahun Moderasi.
Secara konseptual gagasan ini muncul sebagai respon masih maraknya kekerasan berkedok menjaga agama di satu sisi, dan menggampangkan agama di sisi lain. Sikap berlebih-lebihan (radikal) maupun mengurang-ngurangi (liberal) inilah yang menjadi dua kubu ekstrem yang berupaya dihindari melalui konsep moderasi; konsep jalan tengah.
Agama sesungguhnya sudah bersifat moderat sehingga tidak perlu moderasi yang perlu dimoderasi adalah cara beragama. Ini berarti bahwa keekstreman sesungguhnya bukan lahir dari agama, tetapi dari cara memahami dan mempraktikkan ajaran agama.
Dikatakan kasus terakhir ekstremisime agama di Indonesia adalah upaya pembunuhan Jend TNI (Purn) Wiranto yang ketika itu akhir tahun 2019 menjabat selaku Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam). (Tribunkaltim.co, 20/12/2020).
Moderasi agama memang menjadi program prioritas Kemenag periode 2020-2024. Dalam mewujudkan misi besar itu, Kemenag telah melakukan berbagai upaya. Seperti pembaruan buku-buku ajar, pembinaan penceramah berwawasan kebangsaan, sertifikasi dai, pembentukan Pokja Moderasi Beragama, penyusunan buku Moderasi Beragama, pendirian Rumah Moderasi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), dst yang berhubungan dengan aspek penguatan moderasi beragama melawan radikalisme dan terorisme.
Padahal kalau membaca kritis moderasi beragama di Indonesia maka akan terlihat hubungannya dengan proyek global Barat.
Paham moderasi agama akan terus dikampanyekan sebagai upaya menangkal paham ‘radikal’ yang sejatinya enggan berkompromi dengan nilai-nilai Barat. Gerakan politik Islam dan kesadaran umat Islam akan butuhnya syariat sebagai solusi kehidupan menjadi kewaspadaan tersendiri bagi Barat dan anteknya di Indonesia.
Pelabelan Islam moderat berupa pengkotakan Islam akan memecah belah Islam yang satu. Islam tradisional, moderat, dan radikal sebenarnya tidak ada dalam Islam tetapi pengkotakan yang disengaja untuk memetakan Islam mana kawan atau lawan dari Barat termasuk prorezim dan kritis terhadap kebijakan rezim.
Pengotak-ngotakan seperti ini sebenarnya murni merupakan bagian dari strategi Barat untuk menghancurkan Islam, sebagaimana dituangkan dalam dokumen Rand Corporation. Strategi penghancuran ini dibangun dengan dasar falsafah “devide et impera” atau politik pecah belah. Dengan demikian, penjajahan atas kaum muslim dapat tetap langgeng.
Umat Islam yang dianggap moderat tidak akan protes dan akan terus mendukung kebijakan/ berada di pihak rezim. Sehingga Islam pun berubah menjadi sekadar agama ruhiyah yang dihilangkan sisi politisnya sebagai solusi seluruh aspek kehidupan termasuk dalam mengatur rakyatnya.
Dengan cara halus moderasi beragama akan melanggengkan sistem kapitalisme sekulerisme. Selanjutnya akan memecah belah persatuan umat, memalingkan perjuangan kaum muslimin, dan menjauhkan penerapan Islam kaffah.
Allah Swt memerintahkan kita untuk mengamalkan Islam secara kaffah, ajaran Islam yang dicontohkan dan dibawa Rasulullah Muhammad Saw bukan Islam moderat.
Sebagaimana firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (TQS Al-Baqarah [2]: 208).
Islam tidak mengenal istilah moderasi beragama. Dalam surat Al Baqarah ayat 143 mengenai “ummatan wasatho” (umat pertengahan) yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah definisi moderat ala Barat yang dikampanyekan di Indonesia yakni Islam kompromis dan mengedepankan jalan tengah.
Para mufasir menafsirkan kata “wasath” dengan “al ‘adl” (adil) atau “al khiyar” (terbaik dan pilihan). Sikap wasath tidak lain adalah sikap adil, yaitu menempatkan segala sesuatu sesuai posisi dan ketentuannya menurut syariat. Sikap wasath juga mencakup sikap memilih yang benar dan sikap melaksanakan dan terikat dengan syariat Islam. (Muslimahnews.com, 15/2/2020).
Allah memerintahkan kita mengambil seluruh bagian Islam dalam Alquran, bukan malah terjebak dengan istilah moderat yang Barat ciptakan. Mencampuradukkan pemahaman Islam dengan pemikiran Barat justru bertentangan dengan Islam.
Barat atau musuh-musuh peradaban Islam akan terus menghalangi kebangkitan Islam salah satunya dengan propaganda moderasi beragama. Oleh karena itu jangan sampai umat Islam terjebak dan berhasil diadodomba, teruslah perjuangkan kebangkitan Islam, Allahu Akbar!**