Oleh: Ummu Naira Asfa
Kasus jilbab di SMKN 2 Padang masih menjadi polemik di masyarakat. Jeni Cahyani Hia, siswi kelas IX Jurusan Otomatisasi dan Tata Kelola Perkantoran menolak mengenakan jilbab di sekolah tersebut karena nonmuslim. Kasus ini mencuat setelah akun media sosial ayah Jeni Cahyani Hia, Elianu Hua, yang berisi percakapan antara wali murid dengan perwakilan SMKN 2 Padang menjadi viral.
Kepala SMKN 2 Padang, Rusmiadi, mengatakan tidak ada kewajiban bagi siswi nonmuslim untuk menggunakan kerudung, apalagi memaksa mereka. Bahkan dirinya menyatakan siap dipecat jika ditemukan adanya pelanggaran terkait peraturan penggunaan jilbab bagi siswa di sekolah (antaranews.com, 26/01/2021).
Merespons hal itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menegaskan, pemerintah tidak akan menoleransi guru dan kepala sekolah yang melakukan pelanggaran dalam bentuk intoleransi.
Menurut Nadiem, Kemendikbud telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait pemberian sanksi tegas atas pelanggaran disiplin bagi pihak yang terbukti terlibat. Nadiem menegaskan, pihak sekolah harus memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya terkait aturan mengenai pakaian seragam khas siswa. Ketentuan itu diatur pada Pasal 34 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kata Nadiem, aturan yang mewajibkan hijab bagi non-muslim merupakan bentuk intoleransi atas keberagaman. Selain itu, Nadiem menekankan, setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan ekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orangtua atau wali. Hal itu sesuai dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (nasional.kompas.com, 25/01/2021).
Perda Syariat Dianggap Melahirkan Banyak Problem, Benarkah?
Sejak awal, Kepala SMKN 2 Padang, Rusmiadi, sudah mengingatkan bawahannya untuk tidak memaksakan siswa nonmuslim berpakaian seperti layaknya siswa Muslim. Pihaknya tidak menyangka terjadi kesalahan insterpretasi oleh wakil kepala sekolah dan kemudian menjadi viral di media sosial. Sekali lagi Rusmiadi menyatakan bahwa pernyataan wakil kepala sekolah di video viral itu meminta agar siswa wajib mematuhi aturan sekolah, bukan menggunakan jilbab. Namun sayangnya, kasus ini dianggap sebagai bentuk intoleransi di sekolah.
Kabid Advokasi Perhimpunan untuk Pendidik dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri, mengatakan kasus seperti ini bukanlah hal baru. Dalam catatan P2G, pernah ada kasus seperti pelarangan jilbab di SMAN 1 Maumere 2017 dan di SD Inpres 22 Wosi Manokwari tahun 2019 (kasus di Manokwari ini terjadi pada masa kepemimpinan Mendikbud Nadiem Makarim). Jauh sebelumnya 2014 sempat terjadi pada sekolah-sekolah di Bali (antaranews, 26/01/2021).
Aturan daerah dan atau sekolah umum yang mewajibkan siswa nonmuslim memakai jilbab dan aturan larangan siswi Muslim menggunakan jilbab dianggap melanggar Pancasila, UUD dan UU. Menyalahi prinsip toleransi dan prinsip Binneka Tunggal Ika. Peraturan Daerah (Perda) yang bermuatan intoleransi dianggap sebagai pemicu utamanya. Peristiwa “pemaksaan” jilbab di SMKN 2 Padang merujuk pada Instruksi Walikota Padang Nomor 451.442/BINSOS-iii/2005. Aturan tersebut udah berjalan selama 15 tahun lebih. Kenapa baru sekarang dipermasalahkan?
Dunia pendidikan juga masih menyimpan banyak “pekerjaan rumah”. Mulai dari kualitas sarana fisik pendidikan, kualitas guru, kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan, relevansi pendidikan dengan kebutuhan, mahalnya biaya pendidikaan, dan lain-lain.
Problematika dunia pendidikan sebenarnya tidak melulu bersumber pada pemberlakuan perda syariat. Siswi nonmuslim berkerudung di SMKN 2 Padang juga tidak dipaksa oleh pihak sekolah dan ketika ditanya kepada para siswi nonmuslim yang berkerudung, mereka melakukannya secara sukarela. Sekali lagi tanpa paksaan dan untuk menyesuaikan diri dengan murid lain juga mengikuti tradisi di Kota Padang.
Salah satu poin dalam Instruksi Wali Kota Padang No.451.442/BINSOS-iii/2005 itu tertulis mewajibkan jilbab bagi siswi yang menempuh pendidikan di sekolah negeri Padang. Nomenklaturnya sebenarnya ditujukan kepada siswi Muslim. Mantan Wali Kota Padang, Fauzi Bahar, berkata aturan itu dibuat untuk menjaga perempuan dan mengembalikan budaya Minang sehingga tak perlu dicabut (bbc.com, 26/01/2021).
Islam Bukan Sekadar Ajaran Ritual
Klaim bahwa perda syariat seperti yang diberlakukan di Kota Padang adalah sumber masalah adalah bukti bagaimana sistem demokrasi tidak memberi ruang bagi pemberlakuan syariat sebagai aturan publik. Islam dikerdilkan menjadi ajaran ritual sebagaimana agama lain. Padahal, Islam sebagai sebuah pandangan hidup sangat berkompeten menyelesaikan berbagai permasalahan termasuk di dunia pendidikan.
Setiap solusi yang diberikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkaitan dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Negaralah yang harus mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah.
Rasulullah Saw. bersabda: “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Syariat Islam Sangat Relevan Digunakan untuk Kehidupan Publik
Kewajiban syariat Islam terhadap muslimah untuk menutup aurat mereka serta mengenakan jilbab dan kerudung tidak untuk menyusahkan perempuan. Dalam sejarahnya pun, syariat Islam menyelamatkan perempuan dari ketertindasan budaya jahiliyah. Dengan jilbab dan kerudung tersebut para perempuan sejatinya dimuliakan dan dilindungi kehormatannya, seperti dari pandangan liar orang-orang yang bukan mahramnya, dari perlakuan tidak sopan atau tindakan keji lain yang tidak diinginkan.
Dengan jilbab dan kerudung, para muslimah tetap dapat berkiprah dan berkarya untuk umat di dunia publik, asalkan batasan-batasan syar’i tetap diperhatikan seperti tidak berdua-duaan (khalwat) dan tidak bercampur-baur (ikhtilat) dengan laki-laki asing nonmahram tanpa ada kebutuhan mendesak yang dibolehkan oleh syariat. Contohnya kebutuhan muamalah dalam dunia perdagangan/ jual-beli, pendidikan (sekolah) dan kesehatan.
Kenyamanan dan keamanan yang didapatkan dari penerapan syariat di dunia publik adalah keniscayaan yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Hal tersebut dirasakan oleh kaum muslim maupun nonmuslim yang pernah hidup di bawah penerapan syariat Islam oleh institusi negara.
Bahkan dalam sejarah peradaban Islam, Will Durant –sejarawan Barat- mengatakan: Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad. (Will Durant – The Story of Civilization).
Jadi tak ada sejarahnya pemberlakuan syariat Islam itu untuk mencelakakan manusia. Kecuali tentu saja pembelokan sejarah yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk menjauhkan manusia dari melaksanakan aturan Ilahi ini. Wallahu a’lam bish-shawwab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google